Wilayah Desa Ngloro, Kecamatan Saptosari merupakan wilayah yang dikenal banyak memiliki peninggalan bangunan rumah tradisional joglo dan masih lestari hingga saat ini. Namun demikian berdasarkan keterangan dari Pemerintah Desa setempat, Jumlah joglo tersebut dari tahun ke tahun mengalami penyusutan. Faktor yang mempengaruhi penyusutan jumlah joglo, diantaranya persolahan warisan dan ekonomi keluarga. Berdasarkan catatan Daftar Rumah joglo yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Ngloro, Rumah Tradisional Mujono di Dusun Gebang, Desa Ngloro, Kecamatan Saptosari Gunungkidul merupakan satu dari 74 joglo yang masih tersisa.
Banyaknya joglo yang dijual dan berpindah tempat telah mengundang perhatian khusus dari Pemerintah. Salah satu tindakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah DIY yaitu dengan mencanangkan kegiatan penyelamatan rumah tradisional dengan cara memberikan penghargaan terhadap masyarakat yang masih memiliki rumah joglo. Pada tanggal 14 Juni 2011, Rumah Tradisional Mujono di Dusun Gebang merupakan salah satu dari beberapa Rumah joglo di Desa Ngloro yang mendapatkan penghargaan dari Pemerintah. Penghargaan tersebut diberikan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Bangunan Rumah Tradisional Mujono merupakan rumah tinggal yang masih dipergunakan untuk kegiatan hidup sehari-hari. Rumah terdiri dari bangunan dengan bentuk joglo, limasan, limasan, dan kampong, dengan orientasi bangunan menghadap ke arah selatan. Rumah joglo tersebut sekarang dihuni oleh 2 keluarga dengan jumlah 5 jiwa diantaranya suami, istri, anak, menantu dan cucu. Bapak Mujono (49thn) sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai tukang kayu, sementara istrinya yang benama Sutarmi (48thn) bekerja sebagai petani. Bapak Mujono dan Ibu Sutarmi memiliki anak tunggal yang bernama Noor Siti Qomariah (28thn) yang telah menikah dengan Agung Nugoho. Pasangan ini telah memiliki seorang anak perempuan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, saat ini Bangunan Rumah Tradisional Mujono dari depan ke belakang terdiri dari bangunan Joglo, Bagunan omah tengah berbentuk limasan, Bangunan omah mburi berbentuk limasan, serta bangunan berbentuk kampung sebagai gandok yang ada dapurnya di sisi timur.
1. Omah Joglo.
Bangunan joglo saat ini digunakan sebagai ruang menerima tamu dan warung kelontong. Pada saat tertentu, seperti saat musim KKN di desa Ngloro, bangunan joglo menjadi tempat menginap mahasiswa KKN. Pada bagian rumah ini secara khusus tidak memiliki pembagian ruangan permanen. Pembatas atau partisi yang dibuat dari lawang gebyok dengan sistem knockdown atau bongkar pasang. Pada saat musim panen, bangunan ruangan joglo juga berfungsi sebagai penyimpanan sementara hasil pertanian sebelum disimpan di lumbung yang berada di omah mburi dan gandok.
- Lantai
Lapisan lantai yang dipergunakan pada rumah joglo pada awalnya menggunakan batu putih dengan ukuran yang bervariasi, antara 30cm x 30cm s 35cm x 35cm. Pada tahun sekitar 2011-2012 rumah joglo Mujono mendapat penghargaan dari pemerintah, kemudian hasil dari penghargaan tersebut dipergunakan untuk mengganti lapisan lantai menggunakan material keramik motif berwarna coklat dengan ukuran 40cm x 40cm
- Saka dan dinding
Struktur bangunan terdiri dari 4 Saka guru joglo berukuran 17 Cm x 18 Cm, dengan tinggi 340 Cm. Seluruh tiang saka guru berdiri di atas umpak dari bahan kayu yang berukuran tinggi 35Cm. Umpak pada joglo tersebut tidak memiliki ragam hias. Saka penanggap atau saka pengarak berumlah 12 didirikan tanpa umpak. Dinding sekeliling joglo menggunakan lawang gebyok bermaterial kayu jati.
- Atap
Struktur atap joglo merupakan struktur penyangga atap berbentuk brunjung. Struktur tersebut terdiri dari sunduk, sunduk kili, blandar, dhadha peksi, tumpangsari, uleng, jurai dan nok atau molo. Sebagai pengikat dan pengaku keempat saka guru tersebut yaitu sunduk dan sunduk kili. Tumpangsari dan uleng memiliki jumlah 5 tingkat. Pada bagian ujung balok tumpangsari paling atas terdapat 4 pola hias berbentuk buah keben atau kebenan yang berfungsi sebagai pengunci.
Kayu pada bagian uleng, midhangan dan dhadha peksi berwarna asli kayu atau polos tanpa cat. Midhangan ditutup oleh papan kayu tanpa ornamen. Pada balok dhadha peksi terdapat ukiran berpola hias daun atau patra, bunga, dan lung-lungan atau tumbuhan menjalar.
Usuk joglo berbentuk rigereh. Atap penutup Joglo menggunakan genteng press. Bubungan atau wuwung penutup dudur dan molo ditutup dengan wuwung seng berpola bongkak pada ujungnya. Wuwung paling atas yang menutup molo, di beri hiasan Gunungan wayang.
2. Omah Tengah.
Omah Tengah merupakan bangunan dengan bentuk limasan dan merupakan bangunan warisan dari orang tua Pak Mujono yang bernama Wiryosentono. Fungsi Omah tegah sekarang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga pasangan Agung Nugroho dan Ibu Noor Siti Qomariah. Untuk menambah kebutuhan ruang maka di dalam ruangan tersebut disekat dengan menggunakan lawang gebyok.
- Lantai
Sama dengan bangunan Joglo, permukaan lantai omah tengah berupa keramik bermotif dan berwarna coklat muda. Ukuran lantai keramik tersebut 40Cm x 40Cm. Lantai keramik ini dibuat tahun 2011-2012, sesaat setelah Bapak Mujono mendapatkan Penghargaan dari Pemerintah. Permukaan lantai omah tengah dan joglo memiliki ketinggian yang sama.
- Saka dan dinding
4 saka guru omah tengah berukuran 18Cm x 18Cm, tinggi 350Cm. 8 Buah saka penyangga atap yang berbentuk limasan didirikan tanpa umpak. Dinding omah tengah sebagian berupa lawang gebyok, sebagian tembok. Dinding pada sisi timur dan utara berupa dinding tembok, sementara dinding sisi barat dan selatan masih berupa lawang gebyok.
- Atap
Struktur atap omah tengah berbentuk limasan yang terdiri dari sunduk, sunduk kili, blandar, geganja, ander, jurai dan nok atau molo. Sebagai pengikat dan pengaku keempat saka guru tersebut yaitu sunduk dan sunduk kili.
Usuk omah tengah berbentuk rigereh. Atap penutup joglo menggunakan genteng press. Bubungan atau wuwung penutup bagian dudur dan molo ditutup dengan wuwung dari bahan seng berpola bongkak pada ujungnya. Wuwung paling atas yang menutup molo, di beri hiasan burung Garuda dengan bintang.
3. Omah Mburi.
Omah mburi adalah bangunan berbentuk atap limasan yang merupakan bangunan hasil jual beli (tukar tambah) pada tahun 2017. Bangunan omah mburi difungsikan sebagai kamar tidur Bapak Mujono dan Istrinya. Ruang pada sisi tengah digunakan sebagai tempat tidur, sementara ruangan pada sisi utara dan timur digunakan untuk lumbung. Penyekat antar ruangan menggunakan lawang gebyok.
- Lantai
Lantai omah mburi dibuat dari lantai batu putih dengan ukuran bervariasi antara 30Cm x 30Cm – 35Cm x 35Cm. Permukaan lantai omah mburi lebih tinggi 10Cm dari omah tengah.
- Saka dan dinding
4 Saka Guru omah mburi berukuran 16Cm x 16Cm, Tinggi 350Cm. 8 Buah Saka penyangga atap yang berbentuk Limasan didirikan tanpa umpak. Dinding Omah seluruhnya berupa dinding tembok, sementara penyekat antar ruangan menggunakan lawang gebyok.
- Atap
Struktur bangunan omah mburi sama dengan bangunan omah tengah. Atap omah mburi merupakan struktur penyangga atap berbentuk Limasan. Struktur tersebut terdiri dari sunduk, sunduk kili, Blandar, geganja, ander, jurai dan nok atau molo. Sebagai pengikat dan pengaku keempat saka guru tersebut yaitu sunduk dan sunduk kili.
Usuk omah tengah berbentuk rigereh. Atap penutup limasan menggunakan genteng press. Bubungan atau wuwung pada bagian dudur dan molo ditutup dengan wuwung seng berpola bongkak pada ujungnya. Wuwung paling atas yang menutup molo, di beri hiasan burung Garuda dengan bintang.
4. Omah Kampung atau Gandok
Omah kampung atau gandok pada sisi timur dari Rumah Tradisional Bapak Mujono merupakan bangunan yang berfungsi sebagai pawon atau dapur dan ruang serbaguna. Bangunan tersebut terbuat dari kayu yang memiliki usia sama dengan bangunan Joglo. Sehari-hari ruangan dapur digunakan untuk memasak. Pada sisi utara terdapat ruang serbaguna yang digunakan untuk menyimpan kayu bakar, hasil pertanian, dan garasi motor. Kedua ruang terpisah oleh dinding tembok dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Sebuah pintu yang lain pada sisi selatan berfungsi sebagai pintu keluar masuk menuju ke depan rumah.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Jenis Struktur | : | Tradisional |
Jenis Bangunan | : | Tradisional |
Fungsi Bangunan | : | Rumah/Permukiman |
Komponen Pelengkap | : |
|
Deskripsi Fasad | : | Material kayu sangat kentalterlihat menguatkanbangunan tersebut terletak diwilayah tropis dimanaarsitektur jawa sebagai temarumah tersebut |
Deskripsi Konsol | : | Konsol besi dengan motifsuluran menjadi pilihanpemilik rumah kala itumenunjukan bangunan ini dibangun pada periode yanglebih muda |
Deskripsi Jendela | : | Jendela model swing denganbahan kayu dengan teralisbesi sebagai pengaman yangmenarik adalah proporsijendela memanjanghorisontal berbeda denganumumnya yang memanjang vertikal |
Deskripsi Pintu | : | Pintu kupu tarung dobeldengan perbedaan ketinggiantang di buat dengan bahankayu yang bisa di bukakedalam dan keluar |
Deskripsi Atap | : | Pendopo beratapkan joglodengan genteng tanah liatyang menutupinyasedangkan bangunan rumahyang di tempatimenggunakan atap kampung |
Deskripsi Lantai | : | Lantai menggunakan tegelkunci yang masih asli |
Desain | : | Bangunan joglo ini merupakan bagian dari bangunan utama yang berada di utara joglo. Pendopo joglo milik Bapak Mujono, sedangkan bangunan utama milik a |
Fungsi Situs | : | Rumah/Permukiman |
Fungsi | : | Rumah/Permukiman |
Peristiwa Sejarah | : | A. Sejarah Umum Joglo Ngloro Berdasar penuturan Bapak Supardiwiyono (69Thn) – Bapak dari Ibu Sutarmi, kebanyakan penduduk daerah Ngloro berasal dari daerah Paliyan yang mulai datang ke wilayah tersebut pada masa penjajahan Belanda. Para pendatang dari Paliyan tersebut (termasuk leluhur Supardiwiyono) kemudian bermukim secara permanen dan umumnya bekerja sebagai bertani. Pada masa pra kemerdekaan, wilayah Ngloro memiliki hutan yang masih lebat dan dipenuhi oleh hutan jati yang berusia tua. Pada masa kolonial, pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk merehabilitasi kondisi hutan jati di Gunungkidul yang sempat mengalami deforestasi pasca era Raffles yang terus berlanjut hingga awal abad ke-20. Usaha ini dapat dilaksanakan setelah diterbitkan ordonansi pengelolaan Jati Jawa-Madura dan ditemukannya teknik pengelolaan hutan modern. Cara yang ditempuh diantaranya adalah dengan membatasi eksploitasi, dan memperketat pengawasan supaya tidak terjadi pembalakan liar. Hal ini juga terjadi di Gunungkidul. Informasi Bapak Supardiwiyono yang menjelaskan bahwa berdasarkan penuturan dari orang tua terdahulu, pada masa penjajahan Belanda terdapat larangan untuk menebang pohon Jati di Ngloro. Masyarakat Ngloro pada masa itu sangat mematuhi peraturan tersebut, dan oleh karenanya jati berkembang baik di wilayah ini. Pada era pendudukan Jepang terjadi perubahan besar dengan mulai dilakukannya eksploitasi besar-besaran terhadap hutan Jati di Ngloro. Pada masa itu, pemerintah penjajah Jepang melalui aparat desa Ngloro memberikan perintah untuk membuat barikade kayu untuk membuat pertahanan di tepi pantai. Barikade tersebut berupa kayu jati yang ditebang dan didirikan di sepanjang tepi pantai di selatan wilayah Gunungkidul (Pantai Baron dan sekitarnya). Kesempatan tersebut rupanya digunakan warga Ngloro untuk menyimpan kayu jati yang ditebang untuk selanjutnya digunakan untuk mendirikan bangunan Rumah Joglo. Menurut penjelasan Bapak Supardiwiyono, kualitas kayu Jati yang ditebang pada saat itu merupakan Pohon Jati tua dengan kualitas istimewa. Jenisnya adalah kayu Jati Sungu. Kayu Jati Sungu memiliki ciri khas warna coklat tua (merah kehitaman) dan sangat berminyak, sehingga jika digosok sedikit saja akan mengkilap dengan sendirinya tanpa dipoles. Kayu Jati jenis tersebut sudah tidak diketemukan lagi di daerah Gunungkidul saat ini. Bapak Supardiwiyono sendiri saat ini memiliki 2 buah joglo warisan dari kakeknya yang memiliki material kayu jati sungu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan rumah-rumah joglo di Ngloro tidak lepas dari ketersediaan material berupa kayu jati yang banyak dijumpai di wilayah ini.B. Sejarah kepemilikanSecara turun temurun Rumah Tradisional Mujono memiliki riwayat sebagai berikut : Martowiyono (lahir sekitar tahun 1929)  Supardiwiyono (lahir tahun 1950)  Sutarmi (lahir tahun 1971) + Mujono  Nur Siti Qomariah (lahir tahun 1991) + Agung Nugroho. Tanah merupakan warisan dari Supardiwiyono. Sesaat setelah Mujono dan Sutarmi menikah di sekitar tahun 1990, Supardiwiyono memberikan sepetak lahan berupa tanah kepada keluarga baru tersebut yang kemudian didirikan bangunan di atasnya. Bangunan yang didirikan adalah joglo, omah tengah, omah mburi, dan omah kampung. Bangunan joglo merupakan bangunan lama warisan dari Martowiyono, sementara bangunan omah mburi dan bangunan kampung merupakan bangunan baru yang didirikan pada tahun 1990 tersebut. Kemudian omah tengah merupakan bangunan lama yang didirikan di tanah tersebut sebagai warisan orang tua dari Mujono.Pada tahun 2017 bangunan omah mburi berpindah tangan dalam sebuah proses jual beli antara Supardiwiyono dengan adiknya. omah mburi yang berbentuk limasan yang berdiri sekarang sesungguhnya merupakan warisan dari Martowiyono yang di tukar tambah dengan bangunan omah mburi yang dibuat oleh Supardiwiyono.C. Sejarah Rumah Tradisional MujonoSekitar tahun 1990 Keluarga Sutarmi dan Mujono di-dhewekke (istilah masyarakat Ngloro untuk keluarga yang membangun rumah tangga baru, berpisah dari orang tua) oleh orang tua Sutarmi yang bernama Supardiwiyono. Keluarga Sutarmi Mujono mendapatkan sebidang tanah dan rumah dari Supardiwiyono. Menurut penjelasan Supardiwiyono, Rumah Tradisional Mujono memiliki riwayat sebagai berikut :- Tanah pekarangan Mujono semula adalah tanah yang dibeli oleh Martowiyono pada masa kesulitan pangan atau gaber (gagal beras) sekitar tahun 1960-1965. Saat itu tanah di jual (ditukar) dengan bahan makanan. Lahan tersebut kemudian diwariskan kepada Supardiwiyono.- Pada tahun 1990, Supardiwiyono menyiapkan lahan dan bangunan untuk keluarga pasangan Sutarmi (anaknya) dan Mujono (menantu). Lahan dan bangunan tersebut yang- Bangunan Joglo, Omah Mburi dan Omah Kampung merupakan asli warisan (pemberian) dari Bapak Supardiwiyono. - Bangunan Omah Tengah merupakan warisan dari Wiryosentono, orang tua Bapak Mujono. Diduga bangunan Limasan tersebut merupakan warisan dari Joyontanu (kakek dari Mujono).- Omah Joglo dan Omah Mburi merupakan bangunan Warisan dari Martowiyono, orang tua Supardiwiyono (Kakek Sutarmi). Semula bangunan Joglo dan Omah Mburi yang berbentuk Limasan berada di dusun Pringsurat. Sebagai bangunan warisan, diduga bangunan tersebut telah didirikan di daerah Pringsurat sebelum tahun 1950, sebelum didirkan kembali di lahan Mujono di dusun Gebang hingga saat ini. - Bangunan Omah Kampung yang didirikan untuk dapur merupakan pemberian Supardiwiyono. |
Konteks | : | Bangunan ini berada di toponim kampungalun – alun yang kemungkinan dahulusekitar lokasi ini digunakan sebagai alun –alun Kraton Kotagede. |
Riwayat Rehabilitasi | : | ? riwayat pelestariannya termasuk sejarah pelestarian yang pernah dilakukan (cek ke pemilik ataupun dinas terkait) ? beberapa bangunan pernah direhab ketika jaman Belanda, perlu dicek lagi |
Nama Pemilik Terakhir | : | Bapak Mujono |
Alamat Pemilik | : | Alun-alun, KG III / 773, RT 37/RW 09, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Bapak Diwo (anak) |
Alamat Pengelola | : | Alun-alun, KG III / 773 RT 37/RW 09, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta |
Nomer Kontak | : | 081285320652 |
Persepsi Masyarakat | : | Wawancara dengan masyarakat sekitar mengenai keberadaan benda cagar budaya |
Catatan Khusus | : | Awalnya bangunan utama dan pendopo merupakan milik orang tua Bapak Mujono, namun diwariskan kepada anak-anaknya. Bapak Mujono mendapatkan sebelah selatan jalan kecil, sedangkan adik Bapak Mujono mendapat bangunan utama. Saat ini bangunan utama sudah tidak digunakan lagi, dan kunci dibawa pemilik rumah.Rekomendasi :Bangunan dengan kondisi terawat namun perlu adanya pemantauan berkala dan pemberian arahan kepada pemilik rumah terkait pemeliharan dan perawatan bangunan cagar budaya dan warisan budaya |