Loading

Gedung Agung di Istana Kepresidenan Yogyakarta

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Bangunan Istana Kepresidenan Yogyakarta lebih dikenal dengan nama Gedung Agung. Penamaan ini berkaitan dengan salah satu fungsi gedung utamanya, yaitu sebagai tempat menerima tamu-tamu agung. Pada mulanya, gedung ini didirikan di lahan kediaman Residen Jogjakarta yang memperhitungkan keberadaan benteng militer di sebelah timur yang bernama Rustenburg. Setelah gempa bumi pada 1867, benteng ini dibangun kembali dan berganti nama menjadi Vredeburg. Pembangunan kediaman Residen Jogjakarta di dekat benteng militer didasari oleh faktor keamanan dan perlindungan bagi pejabat tinggi Belanda karena berkaitan dengan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825–1830. 

Pada area taman di sisi barat bangunan utama, terdapat Dwarapala berukuran lebar 130 cm, tebal 128 cm, tinggi 233 cm dan monumen andesit yang disebut dengan Dagaba yang memiliki ukuran lebar 170 cm, tebal 170 cm, diameter 169 cm, dan tinggi seluruhnya 417 cm. Gedung Agung Yogyakarta memiliki beberapa ruangan, dan ruangan-ruangan tersebut diberi nama khusus seperti Ruang Garuda, Ruang Soedirman, dan Ruang Diponegoro. Selain ketiga ruangan tersebut, terdapat empat kamar yang mengapit Ruang Garuda sampai dengan Ruangan Jamuan Makan. Ruangan-ruangan ini gunakan sebagai tempat istirahat presiden dan wakil presiden beserta keluarga.  

Setelah melewati serambi depan, sebelum memasuki ruangan utama, terdapat dua ruangan di sebelah kanan dan kiri. Ruang Soedirman di sebelah kiri (selatan) dan Ruang Diponegoro di sebelah kanan (utara). Ruang Soedirman memiliki tiga pintu yang menghadap ke serambi depan istana. Ruangan ini bersebelahan dengan ruangan istirahat Presiden Republik Indonesia dan terhubung dengan Ruangan Jamuan Makan melalui koridor sayap selatan yang berada di samping Ruang Garuda. Ruang Soedirman dibuat untuk mengenang perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam memimpin gerilya melawan Belanda. Pada tahun 1949, Gedung Agung menjadi lokasi Panglima Besar Jenderal Soedirman berpamitan kepada Presiden Sukarno untuk meninggalkan kota dalam rangka memimpin perang gerilya. 

Di sebelah kanan (utara) terdapat Ruang Diponegoro. Penamaan ruang ini didedikasikan untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Dalam ruang ini terdapat lukisan Pangeran Diponegoro sedang berkuda. Ruang ini terhubung dengan koridor sayap utara yang menghubungkan ruang ini dengan Ruang Garuda, area kamar, dan berujung ke ruang makan The Very Very Important Person (VVIP). 

Ruang Garuda merupakan ruangan besar yang terletak tepat di tengah-tengah gedung utama dan digunakan sebagai tempat resmi untuk menerima tamu. Di ruang ini presiden menerima tamu kenegaraan, mengadakan pertemuan, dan melakukan pembicaraan resmi. Ruang ini memiliki tinggi tujuh meter dan dihiasi dengan lampu kristal gantung bersusun empat, serta permadani sebagai penutup lantai. Di ruang ini terdapat foto Presiden dan Wakil Presiden saat ini. Selain foto, juga terdapat lukisan Presiden Republik Indonesia pertama sampai dengan Presiden Republik Indonesia ke-6, lukisan Raden Adjeng Kartini, dan lukisan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Di antara lukisan-lukisan tersebut, terdapat pula empat cermin besar. 

Dari Ruang Garuda ke arah barat, terdapat ruangan besar yang lain yaitu Ruang Jamuan Makan. Ruang ini dulunya merupakan beranda belakang dengan ruang terbuka dan pendopo terbuka yang sekarang difungsikan sebagai Ruang Kesenian. Pada awalnya, Ruang Kesenian merupakan bangunan terbuka tanpa dinding ditopang tiang-tiang kayu sebagai penyangga atap. Pada sisi utara dan selatan ruangan terdapat sebuah pintu yang diapit oleh dua jendela. Pintu sebelah selatan terhubung dengan Wisma Bumiretawu dan pintu di sebelah utara terhubung dengan koridor menuju Wisma Negara. Ruang kesenian ini terbagi dalam dua bagian, yaitu ruang penonton dan ruang panggung. Di belakang panggung terdapat ruang ganti dan gudang, serta pintu menuju beranda belakang. 

Bangunan lain yang juga masih berada dalam satu kompleks dengan Gedung Agung adalah Wisma Negara yang dibangun pada 1983. Wisma ini diperuntukkan bagi para menteri dan rombongan tamu negara. Bangunan ini bertingkat dua dan mempunyai 15 kamar. Setiap kamar dihiasi lukisan serta benda seni lain. 

Selain Wisma Negara, terdapat Wisma Indraprastha. Wisma ini aslinya adalah kantor Asisten Residen Belanda, penggagas bangunan yang kini menjadi Gedung Agung. 

Di kiri dan kanan belakang bangunan utama, di dekat Ruang Kesenian, adalah Wisma Sawojajar dan Wisma Bumiretawu. Wisma Sawojajar, di sebelah utara, disediakan bagi petugas, rombongan staf Presiden atau tamu negara. Sedangkan Wisma Bumiretawu disediakan bagi ajudan serta dokter pribadi Presiden atau tamu negara. Wisma Saptapratala terletak di sebelah selatan, berseberangan dengan Wisma Bumiretawu. Wisma ini disediakan bagi petugas dan anggota rombongan presiden atau tamu negara. 

Di sisi utara, di luar Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, terdapat Gedung Markas Komando Resort Militer 072 Pamungkas. Bangunan ini dulunya merupakan Kantor Asisten Residen Yogyakarta yang didirikan sekitar tahun 1909 atas prakarsa Residen Pieter Hugo van Andel. Pada zaman pendudukan Jepang, gedung ini digunakan sebagai tempat tinggal Sumobuco atau Kepala Urusan Umum. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 11 Januari 1946, bangunan ini difungsikan sebagai tempat tinggal Wakil Presiden I Moh. Hatta.  

Pada tanggal 19 Desember 1948, ketika Belanda kembali menduduki Kota Yogyakarta, gedung ini kembali dipakai untuk kepentingan Belanda. Pada tahun 1952-1967, bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal Walikota Kota Yogyakarta, dan pada tahun 1969 digunakan sebagai kantor Walikota. Selanjutnya sekitar tahun 1970 gedung ini digunakan sebagai Kantor Komando Wilayah Pertahanan II, dan kemudian berubah fungsi menjadi Markas Komando Resort Militer 072 Pamungkas, Kodam Diponegara sampai sekarang. 

Bangunan ini menghadap ke selatan dengan denah berbentuk salib yang terdiri atas teras dengan dua kamar di kanan kiri ruang induk dan fasilitas pelayanan di bagian belakang. Bentuk bangunan menunjukkan gaya campuran arsitektur kolonial dan tradisional. Ciri bangunan kolonial tampak pada fasad yang simetris, pintu utama di tengah berupa kanopi, dinding yang kokoh dengan pondasi serta kedudukan lantai tinggi lengkap dengan tangga. Pintu dan jendela dari krepyak berukuran besar dan plafon tinggi. Di sisi lain, ciri tradisional tropis juga tampak pada bentuk gebyok di antara tiang pada teras, pintu dan jendela dilindungi tritisan kayu dan disangga balok beton. Selain itu, pada tebeng pintu dihias motif mata panah, plafon dari papan kayu serta beratap limasan. Adaptasi ruang dilakukan sebagai bagian proses alih fungsi bangunan. 

Status : Bangunan Cagar Budaya
Periodesasi : Kolonial (Belanda/Cina)
Tahun : 1823
Kawasan : Kawasan Cagar Budaya Kraton
Alamat : Jalan Margomulyo, Nomor 3 , Ngupasan, Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.8° S, 110.363611° E

SK Menteri : SK Mendikbudristek 53/M/2023


Lokasi Gedung Agung di Istana Kepresidenan Yogyakarta di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Jenis Struktur : Kolonial
Dimensi Struktur
Jenis Bangunan : Kolonial
Fungsi Bangunan : Rumah/Permukiman
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Deskripsi Fasad : Istana KepresidenanBangunan ini menggunakan gaya indis, atau bisa dikatakan gaya arsitektur eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis, terlihat dai banyaknya pintu dan jendela.Gedung SenisonoBangunan ini menggunakan gaya arsitektur Indis, terlihat dari bentuk pintu dan jendela serta ventilasi (boven licht).Gedung PeneranganBangunan ini menggunakan gaya arsitektur Indis, terlihat dari bentuk pintu dan jendela serta ventilasi (boven licht).
Deskripsi Konsol : Istana KepresidenanKonsol di bagian depan terbuat dari Besi yang dicat warna emas dengan motif floral.Konsol di bagian samping terbuat dari Besi yang dicat warna putih dengan motif floral.Gedung SenisonoKonsol pada bangunan terbuat dari besi dengan motif floral dicat berwarna putih tulangGedung Penerangan -
Deskripsi Jendela : Istana KepresidenanJendela dengan model swing terbuat dari kaca dengan lis kayu yang dicat warna putih.Gedung SenisonoJendela bangunan terbuat dari kayu dengan panel kaca, berbentuk persegi dicat warna putih tulangGedung  PeneranganJendela bagian depan bangunan terbuat dari kayu dengan panel kaca, berbentuk persegi dicat warna putih tulang Jendela bagian kamar terbuat dari kayu, berwarna hijau, daun jendela terdiri dari 4 panel dengan model kupu tarung, di bagian dalam diberi tambahan teralis besi berwarna perunggu
Deskripsi Pintu : Istana KepresidenanPintu depan dengan model kupu tarung terbuat dari kayu yang dicat putih dengan lis bermotif floral yang dicat warna emas. Pintu samping dengan model kupu tarung terbuat dari kayu dicat warna putih dan berpanil kaca.Gedung SenisonoPintu bangun terbuat dari kayu dengan model kupu tarung, dengan list ragam hias berwarna emas terdiri dari 2 daun pintu, dicat putih tulangGedung Penerangan Pintu bangun terbuat dari kayu dengan model kupu tarung, terdiri dari 2 daun pintu, dicat putih tulang
Deskripsi Atap : Istana KepresidenanBentuk atap berupa limasanGedung SenisonoBentuk atap kampungGedung Penerangan Atap bangunan berbentuk limasan
Deskripsi Lantai : Istana KepresidenanLantai depan berupa marmer berwarna kelabu. Lantai bagian samping berupa marmer berwarna krem dengan lis marmer berwarna coklat.Gedung SenisonoLantai sudah terbilang baru, berupa keramik berukuran 30x30 cm, berwarna kuning dengan lis cokelatGedung Penerangan Lantai sudah terbilang baru, berupa keramik berukuran 30x30 cm, berwarna abu-abu
Deskripsi Kolom/Tiang : Istana KepresidenanKolom utama depan berbentuk silinder bertekstur terbuat dari beton yang dicat warna putihKolom penyangga depan berbentuk silinder bertekstur terbuat dari beton yang dicat warna putih dan terdapat ragam hias floral berwarna emas. Kolom bagian samping berbentuk silinder bertekstur, di bagian bawah berbentuk persegi terbuat dari beton yang dicat warna putih.Gedung SenisonoKolom/tiang terbuat dari beton dengan motif garis dan lingkaranpada bagian bawah kolom dicat putih tulangGedung Penerangan Kolom/tiang terbuat dari beton dngan motif garis pada bagian bawah kolom dicat putih tulang
Deskripsi Ventilasi : Istana KepresidenanBoven licht berada di bagian atas pintu samping terbuat dari besi dengan motif floral yang dicat warna putih.Gedung SenisonoVentilasi bagian depan bangunan terbuat dari kayu dengan panel kaca dicat warna creamGedung Penerangan Ventilasi bagian depan bangunan berupa roster dengan beton tanpa motif dan tanpa panel kaca dicat warna putihVentilasi bagian samping bangunan penunjang berupa ventilasi kaca dari beton berbentuk persegidengan motif garis tanpa panel kaca dicat putih tulang
Deskripsi Plafon : Istana KepresidenanPlafon depan terbuat dari gypsum berwarna putih. Plafon samping terbuat dari kayu dicat warna putih.Gedung SenisonoPlafon berupa eternit dicat warna putihGedung PeneranganPlafon berupa eternit dicat warna putih
Jenis Ragam Hias : Istana KepresidenanRagam hias yang terdapat pada beberapa bagian dari gedung ini menggunakan motif floral.Gedung SenisonoRagam hias pada bagian depan bangunan terdapat ventilasi denganpanel kaca bermotif floral berwarna merah, kuning biru. List pada dinding bangunan dengan motif gsris dan floral terbuat dari beton dan dicat putih tulangGedung Penerangan -
Desain : Bangunan ini menghadap ke selatan dengan denah berbentuk salib yang terdiri atas teras dengan dua kamar di kanan kiri ruang induk dan fasilitas pelaya
Fungsi Situs : Rumah/Permukiman
Fungsi : Rumah/Permukiman
Peristiwa Sejarah : Istana Kepresidenan Yogyakarta berlokasi di lahan bangunan eks rumah residen yang dibangun pada tahun 1722. Berdasarkan surat dari Residen Antonie Hendrik Smissaert, nomor 6 tanggal 2 Mei 1823 kepada Sekretaris Negeri Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, dapat diketahui bahwa bangunan dahulu disebut "Loji Kebon" (Tuin Logie) terletak di sebelah barat Benteng Vredeburg. Namun, bangunan tua ini diperbaiki secara bertahap dalam jangka waktu 30 tahun, dimulai pada 1824 dengan biaya 70.000 Gulden dan selesai pada tahun 1832 pada masa pemerintahan Residen Anthonie Hendriks Smissaert. Arsitek gedung keresidenan ini adalah Antoine Auguste Joseph Payen yang juga pernah menjadi guru maestro Seni Lukis Modern Indonesia Raden Saleh. Pembangunan sempat berhenti ketika terjadi Perang Jawa (1825–1830). Setelah selesai bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal Residen Jogjakarta. Pada 10 Juni 1867 gempa melanda wilayah Yogyakarta, dan membuat Karesidenan Jogjakarta rusak. Oleh sebab itu, didirikan bangunan baru bergaya arsitektur Eropa yang menyesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan baru ini selesai dibangun pada tahun 1869. Pada 19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai Keresidenan ditingkatkan menjadi Provinsi. Dengan demikian, Gedung Agung menjadi kediaman para Gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya pendudukan Jepang. Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung ini adalah J.E. Jasper (1926-1927), P.R.W. van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M.de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-940), serta L. Adam (1940-1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu  Koochi Zimmukyoku Tyookan. Setelah Indonesia merdeka, Gedung Agung pernah menjadi pusat kekuasaan pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1946–1949. Pada 29 Oktober 1945 gedung tersebut digunakan untuk Kantor Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi DIY. Pada 6 Januari 1946, ketika itu rombongan presiden dan kabinet pindah dari Jakarta menuju Yogyakarta. Pindahnya pusat pemerintahan ini disebabkan adanya gangguan dari tentara NICA (Netherlands-Indies Civil Administration). Hal tersebut membuat para pejabat negara tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Beberapa pejabat negara bahkan hampir terbunuh oleh tentara Belanda. Yogyakarta dipilih menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia sementara waktu karena mendapatkan izin dan dukungan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Digunakannya Gedung Agung oleh presiden membuat gedung ini mendapat julukan Presidenan. Sejak saat itu Gedung Agung menjadi pusat berbagai kegiatan dan menerima tamu kenegaraan. Di gedung ini pernah diselenggarakan Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI  (3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (3 Juli 1947), serta  lima Kabinet  Republik Indonesia, dengan fungsi tersebut gedung ini dikenal dengan nama Gedung Agung. Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 dan pemerintah kembali ke Jakarta, Gedung Agung berfungsi menjadi Gedung Negara. Pada tahun 1961, presiden Sukarno pernah berpidato di Gedung Agung. Pidato ini dikenal dengan Pidato Trikora yang menjadi awal perebutan Irian Barat dari tangan Belanda. Pada tahun 1972 Gedung Agung secara resmi dijadikan Istana Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu presiden dan tamu negara yang berkunjung ke Yogyakarta akan ditempatkan di Gedung Agung. Di tahun yang sama, Gedung Agung direnovasi agar layak menjadi tempat singgah presiden, kepala pemerintahan, dan tamu negara. 
Nilai Budaya : Wujud kesatuan dan persatuan bangsa, karena merupakan Istana Kepresidenan yang pertama dan menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 – 1949.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Negara
Pengelolaan
Nama Pengelola : Kementerian Sekretariat Negara
Persepsi Masyarakat : -
Catatan Khusus : Koordinat pada SK: 7º48’00” LS - 110º21’49” BT