Bangunan Stasiun Winongo menggunakan model limasan. Bangunan membujur utara selatan dan berukuran 1.400 cm x 390 cm. Ruangan stasiun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara berukuran 390 cm x 160 cm, bagian tengah 380 cm x 300 cm dan bagian selatan 390 cm x 940 cm. Di sebelah timur terdapat emperan berukuran 1.400 cm x 460 cm dan lebih tinggi 38 cm dari permukaan tanah. Lantai teras dari plesteran semen.
Pada dinding sisi barat terdapat dua pintu, dua jendela kayu, dan empat ventilasi berbentuk bundar dengan diameter 60 cm dan diberi teralis besi. Dua pintu tersebut terdiri atas satu pintu berdaun satu di sebelah selatan berukuran 80 cm x 200 cm dan satu pintu berdaun dua berukuran 108 cm x 196 cm. Adapun jendela berdaun dua berukuran 120 cm x 116 cm dicat warna kuning dan abu-abu.
Pada dinding atas sisi utara dan selatan terdapat lubang ventilasi berbentuk bundar diameter 60 cm dan diberi teralis besi. Plafon bangunan stasiun dari eternit setinggi 374 cm dan dicat warna putih. Struktur atap bangunan berbentuk limasan, ketinggian nok 6,20 cm sehingga membentuk kemiringan atap yang tajam. Bahan penutup atap berupa genteng.
Saat ini Stasiun Winongo dimanfaatkan oleh penduduk di sekitarnya untuk menyimpan kursi, ruang tengah untuk menyimpan kereta jenazah, dan utara digunakan untuk pertemuan warga.
Berdasarkan bekas dinding yang ditemukan, Stasiun Winongo dahulu juga dibagi menjadi tiga ruangan yang ukurannya berbeda dengan sekarang yaitu ruang bagian utara berukuran 360 cm x 400 cm, ruang tengah 360 cm x 400 cm dan ruang selatan 350 cm x 600 cm. Dinding penyekat antar ruang tersebut runtuh karena gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006.
Dulunya ruang utara digunakan sebagai ruang kepala stasiun, ruang tengah untuk penjualan tiket, dan ruang selatan sebagai tempat tunggu penumpang. Di antara ruang kepala stasiun dan penjualan tiket terdapat sebuah pintu kayu. Pintu tersebut sekarang dipasang di dinding sisi barat. Di ruang tengah juga terdapat brankas.
Bangunan ini telah mengalami perubahan arah hadap, dahulu menghadap ke arah barat, sekarang menghadap ke timur. Perubahan arah hadap dapat dibuktikan dari pemindahan dua buah pintu yang semula di dinding barat kemudian dipindahkan ke dinding timur.
Selain pintu, dua buah jendela yang semula berada di dinding timur juga dipindahkan ke dinding barat. Pada tahun 1974 dinding sebelah barat ditambah satu pintu baru yang dicat kuning. Sejak tahun tersebut stasiun tidak difungsikan lagi.
Ketika stasiun masih berfungsi, di sebelah barat stasiun terdapat tiga jalur rel. Tiga jalur tersebut antara lain: satu jalur rel untuk jalan kereta api dari Stasiun Yogyakarta ke Sewugalur, satu jalur rel untuk jalan kereta api dari Stasiun Yogyakarta ke PG Madukismo, dan satu jalur rel untuk langsir kereta api. Rel-rel tersebut sudah dibongkar, tetapi bekas emplasemen masih terlihat. Di sebelah barat laut stasiun ditemukan sumur berdiameter 190 cm yang berfungsi untuk pengisi ketel-ketel lokomotifDimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Fungsi Bangunan | : | Stasiun |
Komponen Pelengkap | : |
|
Deskripsi Pintu | : | Pada dinding sisi timur terdapat dua buah pintu kayu berdaun dua berukuran 200 cm x 122 cm dicat warna coklat. Di dinding atas |
Deskripsi Lantai | : | Lantai bagian dalam stasiun dari tegel warna coklat muda dan diberi plisir tegel warna merah ukuran 20 cm x 20 cm. Dinding bangunan dari bata berplester, tinggi 410 cm. Permukaan dinding luar ditempel kerikil setinggi 220 cm. |
Deskripsi Ventilasi | : | terdapat empat lubang ventilasi berbentuk bundar dengan diameter 60 cm dan diberi teralis besi. |
Fungsi Situs | : | Stasiun |
Fungsi | : | Stasiun |
Peristiwa Sejarah | : | Pembangunan jalan kereta api di Hindia Belanda dirintis oleh perusahaan kereta api swasta N. V. NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij). Pembangunan jalur kereta api diawali dengan pengajuan konsesi untuk pemasangan dan pengusahaan jalur rel dari Semarang ke Vorstenlanden. Konsesi adalah suatu izin dari pemerintah dalam mengusahakan suatu keaktifan perekonomian yang pada umumnya disertai dengan syarat-syarat dan batas waktu yang telah ditentukan. Pemerintah menyerahkan tanah dan menyetujui konsesi yang diajukan oleh pihak swasta. Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan, swasta memiliki modal yang lebih besar daripada pemerintah. Stasiun Lempuyangan merupakan stasiun pertama di Yogyakarta yang dibangun oleh NISM. Stasiun ini dikenal dengan sebutan Stationsgebouw Semarang-Vorstenlanden. Sebutan ini diambil dari jalur kereta api yang dieksploitasi yakni Stasiun Semarang ke Yogyakarta (Lempuyangan) melalui Solo. Pembangunan Stasiun Lempuyangan merupakan bagian ke-3 dari rangkaian projek pembangunan jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden, sepanjang 57,6 km dibangun dari Solo sampai ke Yogyakarta. Perluasan jalur NISM di Yogyakarta mulai dikerjakan pada tahun 1887. Jalur rel dari Stasiun Lempuyangan diperpanjang sejauh 1 km ke barat sampai ke Stasiun Tugu. Stasiun Tugu ialah stasiun kereta api yang dibangun oleh perusahaan kereta api milik pemerintah Staatsspoorweg (SS). Dari Stasiun Tugu, NISM memperluas jalur ke selatan menuju Brosot. Jalur kereta api Yogyakarta-Brosot merupakan jalur trem NISM dari jalur utama Semarang-Vorstenlanden. Lebar rel yang digunakan berukuran 1.435 mm, menyesuaikan lebar rel pada jalur utama Semarang-Vorstenlanden. Pembangunan jalur ini berdasarkan GB No. 9 tahun 1893 tanggal 20 April 1893 untuk pengajuan konsesi selama 50 tahun. Pembangunan jalur trem Yogyakarta-Brosot terbagi menjadi dua bagian pembangunan. Bagian pertama dibangun dari Yogyakarta (Tugu) ke Srandakan sepanjang 23 km, dan mulai beroperasi pada 21 Mei 1895. Sepanjang jalur ini didirikan stasiun-stasiun kecil di Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Bantul, Palbapang, dan Srandakan. Bagian ke-2 dari Srandakan ke Brosot-Sewugalur sepanjang 2 km, mulai beroperasi pada 1 April 1915. |
Nilai Sejarah | : | Sejarah munculnya sarana dan prasarana kereta api di Hindia Belanda (Indonesia) diawali pada tahun 1870. Pembangunan sarana transportasi berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Pada periode tersebut berkembang perkebunan-perkebunan milik pengusaha swasta sebagai dampak dari diberlakukannya Politik Pintu Terbuka oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pembangunan jalur kereta api di wilayah Kabupaten Bantul tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pada perkebunan dan pabrik gula di wilayah tersebut. Data sejarah menunjukkan bahwa hingga tahun 1912 di Yogyakarta telah berdiri 17 pabrik gula, yakni 16 pabrik di wilayah afdeeling Mataram dan satu pabrik di wilayah afdeeling Kulon Progo. Stasiun Winongo juga berfungsi sebagai sarana transportasi untuk pengangkutan barang dan penumpang sehingga menjadi salah satu titik pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Merupakan bukti arkeologis arsitektur gaya campuran Jawa dan Eropa. Ciri gaya arsitektur campuran Jawa dan Eropa pada bangunan Stasiun Winongo: Struktur bangunan bagian bawah dihias dengan ornamen kerikil tempel pada dinding luar bangunan dan ornamen lis plesteran di atasnya.Pintu dan jendela menggunakan model kupu tarung dan ventilasi berbentuk lingkaran.Lantai menggunakan tegel abu-abu, dan posisi plafon dibuat tinggi.Ciri arsitektur Jawa dapat dilihat dari bentuk atap limasan menggunakan genteng dan plesteran menggunakan bligon. Konstruksi atap terbuat dari bahan kayu dengan menggunakan sistem kuda-kuda, nok, gording, usuk, dan reng. Sistem sambungan pada komponen konstruksi atap tersebut menggunakan paku, mur, dan baut. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kraton Yogyakarta (Sultan Ground/tanah Kasultanan) |
Nama Pengelola | : | PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 6 Yogyakarta |
Catatan Khusus | : | Stasiun Winongo merupakan peninggalan masa Kolonial sebagai bagian dari sejarah transportasi di wilayah Kabupaten Bantul khusunya jalur trem/kereta api Yogyakarta-Srandakan-Brosot. Sepanjang jalur trem Yogyakarta-Srandakan-Brosot dibangun beberapa stasiun kecil sebagai tempat untuk mempermudah masyarakat menggunakan jasa transportasi kereta api. |