Loading

Rumah Singgah Gerilya Jenderal Sudirman

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Rumah Singgah Gerilya Jenderal Sudirman adalah rumah yang digunakan sebagai tempat singgah Jenderal Sudirman ketika perjuangan gerilya melawan penjajah Belanda tahun 1948. Rumah tersebut secara administratif berada di Dusun Grogol IX, Parangtritis, Kretek, Bantul. Bangunan menghadap ke arah selatan. Rumah terdiri atas pendopo, longkangan, dalem, dan pekiwan.  

Pendopo 

Bangunan pendopo menggunakan bangunan tipe joglo yang terbuka, tanpa dilengkapi dengan dinding maupun pagar. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, berukuran 11,4 m x 9,8 m. Lantai pendopo lebih tinggi 105 cm dari permukaan tanah pada halaman depan. Pondasi pendopo dibuat dari pasangan batu andesit belah. 

Terdapat undakan dari plesteran semen di sisi utara dan selatan pendopo. Undakan sisi utara berjumlah dua buah, berukuran Panjang 121 cm. Ketinggian undakan tangga 29-32 cm. Undakan sisi selatan berjumlah tiga buah, terbagi menjadi tiga sisi, yakni sisi kanan, tengah, dan kiri. Undakan pada sisi kanan dan kiri berukuran panjang 64 cm, sedangkan undakan sisi tengah 54 cm. Masing-masing undakan tingginya 30-39 cm. Lantai dan undakan menggunakan tegel abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm. 

Sokoguru terbuat dari kayu jati dicat warna putih berjumlah empat batang berukuran 23 cm x 23 cm, tinggi 289 cm. Sokoguru ditopang oleh umpak dari pasangan bata berplester. Umpak berukuran 42 cm x 42 cm pada bagian bawah, 25 cm x 25 cm pada bagian atas, serta tinggi 36 cm.  

Di bagian atas sokoguru terdapat dua batang kili dan dua batang sunduk, yang menghubungkan dua sokoguru menggunakan teknik sambungan purus. Kili dan sunduk dilapisi dengan tripleks warna putih, yang diperkirakan digunakan untuk lubang-lubang kayu yang terbentuk akibat keropos. Kili atau sunduk panyelak adalah blandar yang ukurannya pendek, berfungsi sebagai stabilisator konstruksi ruang. Sunduk atau sunduk pamanjang adalah blandar yang ukurannya panjang, berfungsi sebagai pengaku sokoguru agar dapat berdiri tegak. Kili dan sunduk merupakan blandar yang selalu dipasang miring, artinya lebar kayu pada sisi bawah, untuk memaksimalkan kekuatan kayu.  

Di atas kili dan sunduk adalah blandar pamidhangan terdiri dari dua batang blandar pamidhangan panyelak atau blandar pamidhangan yang ukurannya pendek, dan dua batang blandar pamidhangan pamanjang atau blandar pamidhangan yang ukurannya panjang. Di antara sunduk dan blandar pamidhangan pamanjang terdapat saka santen. Di atas blandar pamidhangan, terdapat blandar lar-laran di bagian pamanjang dan panyelak masing-masing terdiri dari tiga batang bersusun tumpangsari membentuk piramida terbalik. Pertemuan blandar antara bagian pamanjang dan panyelak di bagian sudut menyisakan bagian gimbal. Gimbal ini tidak dibuat pada blandar lar-laran paling atas karena bagian sudut pertemuan antara blandar lar-laran panyelak dan blandar lar-laran pamanjang bersambungan dengan dudur pananggap di keempat sudut. 

Pengunci emprit gantil berada di keempat sudut blandar lar-laran, digunakan untuk mengunci dua blandar lar-laran paling atas dengan dudur brunjung. Emprit gantil sekaligus berfungsi sebagai ornamen pada bagian tumpangsari. Di bagian tengah pamidhangan terdapat dhadha peksi yaitu pangeret atau balok melintang pada bagian panyelak pamidhangan yang berupa kayu berornamen ukiran. Dhadha peksi berfungsi teknis memperkuat sambungan blandar pamidhangan di bagian tengah dan sebagai elemen penghias bagian tengah uleng, yaitu rongga yang terbentuk oleh pamidhangan.  

Di tengah uleng terdapat balok bersusun piramida yang disebut blandar singup. Blandar singup terdiri dari dua batang kayu balok pada keempat sisi. Di bagian atas ditutup dengan plafon pamidhangan dari bahan tripleks dicat putih.

Saka pananggap berjumlah 8 batang, bahan dari kayu jati berukuran 15 cm x 15 cm, tinggi 227 cm. Saka penanggap ditopang oleh umpak yang terbuat dari plesteran semen, berukuran 26 cm x 26 cm pada bagian bawah, 17 cm x 17 cm pada bagian atas, serta tinggi 20 cm. Di bagian sudut ditopang dengan tiang pada pasangan bata berplester, berukuran 42 cm x 42 cm, tinggi 227 cm. 

Di atas saka pananggap terdapat geganja dengan ornamen berprofil. Geganja adalah balok tambahan yang berfungsi sebagai landasan pertemuan antara saka dengan blandar pananggap, dan sebagai ornamen di atas saka.  

Blandar pananggap, yaitu kayu balok panjang yang disangga oleh saka, dari kayu jati. Usuk di bagian pananggap dipasang menggunakan model ri gereh. Ujung usuk pada bagian pananggap menumpu pada blandar lar-laran yang paling atas. Bagian pangkal usuk ditutup dengan lisplang dari papan kayu dicat warna putih. Atap pendopo ditutup menggunakan genteng dan bubungan tanah liat jenis genteng kripik atau genteng vlaam.  

Longkangan 

Longkangan merupakan ruang terbuka yang berada di antara pendopo dan dalem, berukuran 5, 7 m x 11, 4 m. Lantai longkangan berupa tanah dan ditumbuhi rumput. Sisi kanan dan kiri longkangan terdapat tembok rendah dengan bagian tengah terbuka. Tembok rendah tersebut berukuran 213 cm x 28 cm x 90 cm. Pada sisi kanan longkangan terdapat undakan berjumlah tiga buah. Undakan panjangnya 134 cm, ketinggiannya 15-22 cm. Undakan tersebut berfungsi sebagai jalan yang dipergunakan untuk menuju ke bangunan kamar mandi yang terletak di sebelah kanan dalem. Sisi kiri longkangan terdapat bangunan gandok kiwa. 

Dalem  

Dalem merupakan bangunan tipe joglo yang berada di sebelah utara pendopo. Denah bangunan berbentuk persegi panjang berukuran 11,4 m x 9,5 m. Tinggi pondasi bangunan 105 cm, terbuat dari pasangan batu andesit berplester. Dinding dalem terbuat dari pasangan bata berplester ukuran tebal 30 cm dan tinggi 2,87 m. Dalem difungsikan sebagai ruang keluarga, tempat tidur, dan tempat menyimpan perkakas.  

Bagian dalam dalem terbagi menjadi dua kamar tidur dan ruang tengah. Lantai dalem berupa keramik putih ukuran 30 cm x 30 cm. Pada bagian pananggap tidak terdapat saka, tetapi berupa dinding tembok batu bata berplester yang dicat warna putih. Tiga pintu utama berada pada dinding sisi selatan bagian tengah. Ambang pintu berukuran 138 cm x 207 cm. Daun pintu berukuran 60 cm x 200 cm. Di atas pintu terdapat ventilasi berupa lubang-lubang berbentuk persegi. 

Di dalam dalem terdapat dua ruang kamar yang terletak di sisi kanan ruangan. Kamar di sisi selatan berukuran 1,98 m x 3,30 m. Kamar di sisi utara berukuran 2,94 m x 3,30 m. Pada kedua kamar terdapat jendela masing-masing satu buah. Ambang jendela berukuran 94 cm x 133 cm. Daun jendela berukuran 40 cm x 117 cm. Pada dinding sisi timur terdapat dua buah pintu dan dua buah jendela. Ambang pintu berukuran 127 cm x 205 cm. Daun pintu berukuran 125 cm x 57 cm. Ambang jendela berukuran 88 cm x 132 cm. Daun jendela berukuran 40 cm x 117 cm. 

Sokoguru di bagian dalem terdiri dari empat batang kayu jati berukuran 16 cm x 16 cm, tinggi 355 cm. Sokoguru ditopang umpak dari pasangan bata berplester.  

Di bagian atas sokoguru terdapat dua batang kili dan dua batang sunduk. Di atas kili dan sunduk adalah blandar pamidhangan terdiri dari dua batang blandar pamidhangan panyelak dan dua batang blandar pamidhangan pamanjang. Di atas blandar pamidhangan, terdapat blandar lar-laran di bagian pamanjang dan panyelak masing-masing terdiri dari tiga batang bersusun tumpangsari yang membentuk piramida terbalik. 

Pertemuan blandar antara bagian pamanjang dan panyelak di bagian sudut menyisakan bagian gimbal. Gimbal ini tidak dibuat pada blandar lar-laran paling atas karena bagian sudut pertemuan antara blandar lar-laran panyelak dan blandar lar-laran pamanjang bersambungan dengan dudur pananggap di keempat sudut. Pengunci emprit gantil berada di keempat sudut blandar lar-laran. Di bagian tengah pamidhangan terdapat dhadha peksi berupa kayu berornamen ukiran. Di tengah pamidhangan ditutup dengan plafon dari bahan tripleks dicat putih.  

Usuk di bagian pananggap dipasang menggunakan model ri gereh. Ujung usuk pada bagian pananggap menumpu pada blandar lar-laran yang paling atas. Bagian pangkal usuk ditutup dengan lisplang dari papan kayu. Atap pendopo ditutup menggunakan genteng dan bubungan tanah liat jenis genteng cetak.  

Gandok 

Gandok merupakan bangunan di sisi kiri dalem (timur) yang memanjang dari utara-selatan. Denah bangunan berbentuk persegi panjang berukuran 8,76 m x 9, 72 m. 

Bangunan gandok menggunakan bangunan bertipe kampung gajah ngombe, yaitu bangunan bertipe kampung yang diberi emper pada salah satu sisi saja. Gandok dibagi menjadi beberapa kamar atau ruang dan dapur. Lantai berupa plesteran semen. Bangunan gandok menggunakan dinding tembok. Penutup atap menggunakan genteng kripik dan krepus dari tanah liat yang dicetak kemudian dibakar. 

Di antara gandok dan dalem terdapat longkangan yang telah ditambah dengan kamar mandi dan kolam. Kamar mandi berukuran 240 cm x 329 cm. Kolam berukuran 86 cm x 60 cm x 144 cm. Di antara kamar mandi dan kolam terdapat jalan selebar 62 cm. Sumur berdiameter 84 cm. 

Gandok dan pendapa diberi pintu pemisah untuk membedakan ruang depan (pendapa) dengan bangunan inti (dalem/rumah induk) yang disebut lawang seketheng. 

Status : Bangunan Cagar Budaya
Alamat : RT 01 Dusun Grogol IX, Parangtritis, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
8.0111572393099° S, 110.32151638242° E

SK Walikota/Bupati : SK Bupati Bantul No 538 Tahun 2019


Lokasi Rumah Singgah Gerilya Jenderal Sudirman di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Jenderal Sudirman
Peristiwa Sejarah : Rumah milik mantan lurah Parangtritis Kapten Hadi Darsono, dahulu digunakan sebagai rumah tinggal sekaligus Kantor Kelurahan Parangtritis. Rumah ini merupakan salah satu rumah yang pernah disinggahi Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam rute gerilyanya.  Rumah ini dibangun sekitar tahun 1930–an oleh orangtua Kapten Hadi Darsono, yang bernama Jiwareja III yang menjabat sebagai Ulu-Ulu. Hadi Darsono (Mulyono) adalah bekas tentara PETA berpangkat Kapten, yang kemudian menjadi lurah Parangtritis yang pertama. Di depan rumah induk telah dilengkapi prasasti untuk mengenang perjalanan rute gerilya Jenderal Sudirman. Prasasti tersebut isinya sebagai berikut: Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda menyerbu Yogyakarta. Jenderal Sudirman dan pasukannya memutuskan meneruskan perjuangan dengan cara gerilya. Salah satu tempat yang dipakai untuk bermalam Jenderal Sudirman beserta rombongan sewaktu mengadakan perang gerilya adalah rumah Lurah Hadi Darsono di Desa Parangtritis. Di Parangtritis Jenderal Sudirman mengutus Kapten Suparjo dan Mayor Utoyo Kolopaking untuk mendahuluinya ke Wonosari untuk menemui Kolonel Gatot Subroto, tanggal 20 Desember 1948, dengan ditandu Jenderal Sudirman meninggalkan Parangtritis menuju Panggang. 
Nilai Sejarah : Rumah milik mantan lurah Parangtritis Hadi Darsono merupakan salah satu rumah yang pernah disinggahi Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam rute gerilyanya.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Menggunakan model arsitektur tradisional Jawa yang tampak dari tipe bangunan joglo dan kampung. Masing-masing tipe memiliki teknologi khusus dapat proses pembangunannya.Kayu jati digunakan sebagai bahan utama baik sebagai komponen struktur bangunan maupun elemen arsitektural. Konstruksi menggunakan teknik bongkar pasang (knock-down) dengan teknik sambungan purus dan pasak tanpa paku.Arah hadap bangunan ke selatan mengikuti kepercayaan tertentu. Pola tata letak bangunan tersusun simetris mengikuti prinsip tata letak sesuai sumbu utara selatan dan memiliki nilai kesakralan yang semakin meningkat ke arah belakang.
Nilai Pendidikan : Tempat kunjungan edukatif untuk taruna akademi militer.Memberikan informasi tentang nilai kepahlawanan/patriotisme Jenderal Sudirman.Sebagai pembelajaran masyarakat umum dan peserta didik tentang filosofi yang terdapat pada bangunan tradisional Jawa. Pada akhirnya hal itu dapat memberikan inspirasi bagi pendidikan lokal sebagai landasan bagi penguatan karakter bangsa.
Nilai Budaya : Menunjukkan bahwa leluhur kita telah memiliki kemampuan tinggi untuk membangun rumah tradisional yang khas. Rumah merupakan suatu susunan yang terdiri atas beberapa bangunan dan halaman (ruang terbuka). Selain memperhatikan fungsinya, rumah tradisional Jawa juga memperhatikan hubungannya dengan alam, seperti matahari, arah angin, hujan, aliran air di bawah tanah, dan kondisi tanah. Rumah tradisional Jawa memiliki komposisi dan proporsi yang khas menunjukkan karakteristik arsitektur Jawa, yang tercermin pada pembagian area publik dan pribadi, penyusunan pola tata letak bangunan secara simetris sesuai sumbu utara selatan untuk menunjukkan tingkat kesakralan, pembagian elemen bangunan sebagai manifestasi gambaran manusia (bangunan terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan kepala), penggunaan kayu jati yang merupakan kayu terbaik sebagai material konstruksi maupun non konstruksi, mengenal ragam hias yang kaya simbol, serta berbagai ritual yang berhubungan dengan pendirian rumah.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Ibu Muryatinah
Pengelolaan
Nama Pengelola : Paman Ibu Muryatinah yang bernama Bapak Bambang
Catatan Khusus : Rumah milik mantan Lurah Parangtritis Hadi Darsono merupakan salah satu bangunan berlanggam Jawa di Dusun Grogol IX yang pernah disinggahi Jenderal Sudirman dalam rute gerilyanya.  Dan juga digunakan sebagai POS Napak Tilas rute Gerilya oleh Taruna TNI Setahun 2 kali