Situs
Situs Gunung Wingko terletak 30 km sebelah selatan Kota Yogyakarta. Menurut informasi dari masyarakat, Gunung Wingko dulunya merupakan nama kelurahan (kring) yang mencakup empat dukuh, yakni: Dukuh Ngepet, Dukuh Tegalrejo-Tegalsari, Dukuh Soge Sanden, dan Dukuh Baran Cetan. Saat ini nama Gunung Wingko digunakan untuk menyebut nama salah satu bukit (gumuk) pasir yang membentang dengan orientasi bukit barat-timur dan dipisahkan oleh jalan raya menuju Pantai Samas. Bukit pasir di bagian barat jalan termasuk wilayah Dukuh Ngepet, sedangkan bagian timur jalan termasuk wilayah Dukuh Tegalrejo, Srigading.
Lokasi Situs | : | Kel. Srigading Kec. Sanden Kab. Bantul Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta |
Koordinat Penemuan | : | ; |
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Jumlah WBCB | : | - |
Peristiwa Sejarah | : | Situs Gunung Wingko telah diteliti secara intensif oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (Balar) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1972 hingga 1998. Penelitian berupa survei dan ekskavasi. Dalam kurun waktu tersebut, telah dibuat 51 kotak ekskavasi yang menghasilkan empat tahapan permukiman yang masing-masing memiliki lapisan budaya tersendiri. Peninggalan tersebut didominasi temuan berupa fragmen gerabah polos dan gerabah bermotif. Selain itu ditemukan pula sisa-sisa fauna bovidae (kambing), suidae (babi), dan cervidae (rusa), rangka manusia, benda-benda bekal kubur, fragmen keramik, dan logam. Temuan-temuan arkeologis di wilayah tersebut mendukung identifikasi tempat aktivitas hunian manusia yang berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap permukiman pertama terjadi di atas beting gisik karena gumuk pasir belum terbentuk. Kehidupan di atas beting gisik ini tersebar dari barat hingga di bagian timur bukit dan bentuk permukimannya berkelompok. Lapisan kebudayaan pada tahap ini disebut budaya beting gisisk atau Beachridge Culture. Pada tahap ini, ditemukan gerabah yang dibuat dengan tangan serta gerabah yang dibuat dengan teknik roda putar lambat. Belum diketahui apakah gerabah dibuat di tempat hunian atau didatangkan dari daerah lain. Pada tahap pertama juga ditemukan tulang-tulang binatang yang diperkirakan telah didomestikasi (diternakkan) seperti kerbau, babi, dan sapi. Bentang lahan di sekitar Gunung Wingko yang berupa sungai, rawa, dan laut mengindikasikan bahwa selain beternak, masyarakat juga bercocok tanam dan menangkap ikan sebagai mata pencaharian. Lapisan kebudayaan tahap ini disebut Kebudayaan Aeolian Bawah atau Low Aeolian Culture. Motif hias yang ditemukan ialah hias tera anyaman, hias tera motif tikar, dan motif campuran kepang-kepang kecil. Permukiman tahap kedua gumuk pasir terjadi di atas gumuk pasir yang telah terbentuk. Pada tahap ini religi telah berkembang dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada kemunculan motif hias gores garis sejajar pada gerabah yang diyakini sebagai simbol hujan yang dihubungkan dengan kegiatan pertanian. Gerabah yang dihasilkan kebudayaan lapisan ini warnanya lebih cerah dan patinasi lebih tipis. Selain motif hias gores, motif lain yang ditemukan ialah hias tera anyaman motif kepang dan motif hias kain. Permukiman tahap ketiga menunjukkan adanya pertambahan penduduk. Hal ini diketahui dari adanya perluasan wilayah permukiman yang mencapai lapisan tengah gumuk pasir. Ditemukannya pecahan tulang cervus (rusa) menunjukkan bahwa selain bercocok tanam dan beternak masyarakat juga mulai berburu. Pada tahap ini muncul metode pembuatan gerabah dengan menggunakan roda putar cepat yang menandakan lapisan Kebudayaan Aeolian Tengah atau Middle Aeolian Culture. Kebudayaan Aeolian Tengah ditandai dengan semakin banyaknya gerabah yang dibuat dengan roda putar cepat. Gerabah diberi pelapisan (coating) sebelum dibakar sehingga menghasilkan warna merah kekuningan dan merah kecoklatan. Motif hias yang populer ialah motif hias gores dan motif hias tera tatap berukir dengan pola duri ikan dan daun nyiur. Permukiman tahap keempat mencakup lini masa hingga masa kolonial Belanda. Pada tahun 1778 masyarakat dilarang untuk membuat garam. Lapisan kebudayaan ini disebut Kebudayaan Aeolian Atas atau Upper Aeolian Culture. Lapisan kebudayaan ini ditandai dengan tidak adanya lagi pembuatan gerabah dengan roda putar lambat. Gerabah dibuat dengan roda putar cepat dan dilapisi dengan warna merah cokelat yang mudah luntur. Selain itu motif hias yang populer ialah tera anyaman. |
Nilai Sejarah | : | Memberikan informasi mengenai aktivitas permukiman di pantai selatan Jawa di permulaan abad Masehi hingga akhir abad ke-19 Masehi.Memberikan informasi mengenai pemanfaatan bentang lahan pantai sebagai hunian awal.Pernah menjadi tempat pembuatan garam, sebelum aktivitas tersebut dilarang oleh pemerintah Jepang menjelang Perang Dunia II |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Dapat memberikan informasi mengenai jenis fauna yang dimanfaatkan oleh penghuni situs Gunung Wingko.Menunjukkan empat lapisan kebudayaan pemukiman di Situs Gunung Wingko, yakni: Kebudayaan Betinggisik (Beachridge Culture), Kebudayaan Aeolian Bawah (Low Aeolian Culture), Kebudayaan Aeolian Tengah (Middle Aeolian Culture), dan Kebudayaan Atas (Upper Aeolian Culture).Dapat menunjukkan pemilihan bahan dan teknologi yang digunakan untuk membuat gerabah bermotif.Merupakan objek konservasi situs kuno. |
Nilai Pendidikan | : | Sebagai pembelajaran masyarakat umum dan peserta didik tentang keberadaan situs hunian manusia di awal Masehi. |
Nilai Budaya | : | Situs Gunung Wingko dapat menunjukkan bukti telah dikenalnya teknologi gerabah bermotif tera (anyaman). Penggunaan motif tera merupakan kearifan lokal yang diduga terinspirasi dari permukiman pantai. |
Nama Pemilik Terakhir | : | - |
Nama Pengelola | : | - |
Catatan Khusus | : | Gunung Wingko merupakan bukti pemanfaatan bentang lahan pesisir untuk kepentingan permukiman yang bertahan sejak zaman prasejarah hingga saat ini. |