Loading

Deskripsi Singkat

Pemilihan bentuk bangunan rumah tinggal yaitu Joglo ini menunjukkan masih kuatnya nilai filosofi Jawa yang dianut dan dipercaya oleh pemiliknya pada saat rumah ini dibangun, sekaligus menunjukkan kepercayaan masyarakat pada umumnya saat itu. Mengacu pada bentuk atap yang mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada awalnya filosofis bentuk gunung tersebut diberi nama atap tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap joglo/juglo (tajug loro = dua tajug ~ penggabungan dua tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa, gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.Elemen bangunan joglo ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:

1. Kaki: terdiri atas pondasi, lantai dan umpak

2. Badan: terdiri atas saka guru, tiang, dinding, pintu, jendela dan ventilasi

3. Kepala: terdiri atas rangka atap, penutup atap dan langit-langit

Berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuansa Budaya Daerah, rumah tradisional Peniyung merupakan rumah tradisional Jawa bergaya Mataram Islam Kerakyatan yang masih asli. Keseluruhan bangunan rumah ini terdiri dari bangunan berbentuk kampung, joglo dan limasan.

Rumah Tradisional Kismo Sudarmo menghadap ke selatan. Rumah ini memiliki keunikan atau ciri khas yang berbeda dengan rumah-rumah tradisional pada umumnya yang ada di daerah Gunungkidul. Keunikan dari rumah tradisional ini adalah memiliki usuk yang dipasang miring dan memusat ke molo, sehingga terlihat mirip seperti jarijari/jeruji kerangka payung, karena bentuknya mirip dengan kerangka payung inilah, maka sering juga disebut sebagai Joglo Peniyung.

Bangunan rumah tradisional Joglo dengan bentuk Peniyung biasanya dibangun dilingkungan Kraton, dan jarang sekali masyarakat umum yang memiliki bentuk rumah seperti ini. Rumah tradisional Kismo Sudarmo merupakan Rumah Tradisional Jawa jenis Rumah Joglo Lambang Sari yang memiliki ciri:

1. Rumah berbentuk denah persegi panjang.

2. Memakai pondasi bebatur, yakni tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah di sekelilingnya.

3. Memiliki 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung dan masing-masing saka ditopang oleh umpak yang menggunakan sistem purus.

4. Menggunakan blandar, pengeret, sunduk dan kili.

5. Memakai tumpang berjumlah 5 tingkat (tumpangsari dan uleng).

Rumah tradisional Kismo Sudarmo terbagi menjadi 4 

bagian rumah, yakni:

1. Bangunan Lintring

2. Bangunan Utama/Bangunan Joglo yang termasuk didalamnya termasuk emperan yang menyatu dengan bangunan induk/Joglo

3. Bangunan Kandang/Omah Gedhogan, dan

4. Bangunan Pawon (bangunan tambahan)

A. Bangunan Lintring

Bangunan Lintring merupakan istilah yang umum dipakai di daerah Gunungkidul untuk menyebut bangunan berbentuk limasan ini sebelum memasuki bangunan utama/bangunan Joglo. Bangunan Lintring ini berbentuk persegi panjang dan memiliki ukuran 11,60 x 5,24 m yang ditopang 8 tiang saka berukuran 10 cm x 10 cm, lantai dari bangunan Lintring ini menggunakan batu putih yang kondisinya sudah retak/pecah.Di atas tiang penyangga pada bagian lintring diberi bahu danyang/konstruksi penyiku yang terbuat dari kayu, dan juga terdapat ornamen rete-rete yang terbuat dari seng berbentuk hati atau ornamen banyu tetes/motif air yang menetes. Bagian Lintring merupakan bangunan terbuka tanpa menggunakan dinding di sekelilingnya, akan tetapi menurut Bapak Susanto (putra ke-2 dari Bapak Kismo Sudarmo), pada bagian depan lintring ini sebelumnya menggunakan dinding tidak permanen yang terbuat dari kayu dan dapat dicopot atau digeser, dan tingginya hanya separuh (dinding model kotangan), karena sering terkena air hujan menyebabkan dinding kayu tersebut menjadi lapuk dan kropos, sehingga akhirnya dinding dari kayu ini dicopot dan sampai sekarang bangunan Lintring dibiarkan terbuka.

Sebelum memasuki bangunan Joglo terdapat 3 buah pintu di bagian kanan, tengah dan kiri yang semuanya memiliki 2 daun pintu pada sisi kanan dan kiri, pintu seperti ini juga dapat disebut pintu inep loro/kupu tarung. Bagian pintu tengah terutama pada bagian atas dihias dengan ornamen hias lung-lungan atau sejenis tumbuhan merambat, yang penggambarannya berbentuk daun, bunga dan akar ang merambat, pola hiasan ornamen ini mirip dengan pola motif batik. Beda tinggi lantai bangunan lintring dengan bangunan utama/emperan Joglo adalah naik sekitar 6 cm. Fungsi dari bangunan Lintring ini adalah tempat bersantai, tetapi juga digunakan untuk menerima tamu atau orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang tidak terlalu dekat dengan pemilik rumah 

Bagian emperan ini ditopang oleh 20 saka penitih dengan ukuran kayu 10 cm x 10 cm dan 12 saka penanggap dengan ukuran kayu 12 cm x 12 cm. Pada bagian atas saka penanggap terdapat geganjasebagai hiasan tiang yang menopang pada bagian atas dari emperan Joglo. Beda tinggi lantai dengan bangunan Joglo adalah naik sekitar 7 cm. Emperan depan sebelah kanan kiri saat ini digunakan sebagai gudang dan dibatasi dengan penutup kayu/gebyog. Untuk emperan belakang sebelah kiri sudah mengalami perubhan dalam hal bahan bangunan,karena dinding kayu sudah diganti dengan dinding tembok yang tebuat dari semen batu bata, dan saat ini digunakan untuk kamar mandi, sedangkan emperan belakang sebelah kanan digunakan sebagai kamar tidur. Lantai pada bagian emperan menggunakan lantai yang terbuat dari batu putih dengan ukuran yang bervariatif antara : 34 cm x 34 cm; 36 cm x 36 cm; dan 38 cm x 32 cm.

B. Bangunan Joglo

Bangunan Joglo merupakan bangunan utama yang berfungsi sebagai tempat berkumpul anggota keluarga yang memiliki hubungan kekrabatan yang dekat dengan pemilik rumah. Bangunan Joglo Kismo Sudarmo berbentuk persegi panjang berukuran 10,68x 11,75 m, dengan disokong 4 tiang penyangga/saka guru dengan ukuran kayu 20 cm x 20 cm yang diletakkan di atas umpak segiempat yang terbuat dri kayu yang menggunakan sistem purus dibuat rongga/lubang pada umpak. Tinggi umpak kayu sekitar 26 cm, keempat tiang saka/penyangga tidak berhias ornamen/polosan.Rangka atap terbuat dari kayu jati. Rangka atap bangunan Joglo adalah brunjung berbentuk piramida yang terletak di atas ke empat saka guru. Bagian-bagian dari brunjung rumah joglo ini adalah:

- Uleng yang balok-balok kayunya disusun semakin ke atas ke arah dalam semakin menyempit sehingga menyerupai bentuk piramida. Papan kayu diantara uleng yang disebut langit-langit (pyan).

- Dada paesi yaitu balok melintang yang ada di tengah pamidhangan diukir dengan motif sederhana.

- Tumpang Sari yaitu susunan balok yang disusun kearah luar menyrupai piramida terdiri atas 5 (lima) susun. Secara struktural berfungsi sebagai penopang atap joglo, sedangkan fungsi arsitektural merupakan bagian dari langit-langit utama struktur rongrongan (umpak-saka gurusunduk-blandar). Tumpangsari ditopang langsung oleh balok blandar dan pengeret.

Bagian atap genteng di bagian pendhapa sebagian besar diubah menjadi genteng baru, tapi bagian lintring gentingnya masih asli genting flam/keripik.

Seperti rumah tradisional Jawa Pada umumnya, keseluruhan bangunan ini tidak memiliki plafon. Kedua penutup brunjung tersebut hanya satu yang masih dapat diamati, sedangkan satu penutup atap lain sudah rapuh. Ragam hias anak panah ini berjumlah 4 buah yang tergambar dari sudut bidang persegi menuju ke suatu titik yang berada di tengah. Menarik diamati sebab penggunaan ragam hias bergambar anak panah biasanya ditempatkan pada atas pintu/lubang ventilasi, pada pintu dan sebagainya adakalanya anak panah dibuat lebih dari satu atau bahkan sampai delapan anak panah dan konsentrasinya tertuju pada suatu titik. Penggunanan 4 anak panah pada bidang persegi panjang ini memiliki arti menggambarkan 4 arah mata angin (Tenggara/Ganeya; Barat Daya/Nurwitri; Barat Laut/Byabya; dan Timur Laut/Narasuya). Fungsi dari 4 mata angin tersebut adalah sebagai penolak bala serta untuk melindungi penghuni rumah, penggambaran anak panah pada penutup atap brunjung tumpangsari Joglo Kismo Sudarmo dibuat dengan cara diukir langsung pada media kayu, sehingga terlihat berbentuk seperti relief, dengan memadukan warna merah, hitam dan kuning keemasan.

Tumpang sari Joglo Kismo Sudarmo tersusun dengan sistem cathokan dengan memakai pengunci/emprit ganthil, dimana antara kayu satu tersusun menumpuk dari bawah ke atas secara vertikal berjumlah 5 tingkat, yang ditopang oleh kayu pengeret sebagai stabilisator dari ujung-ujung tiang dan blandar/tutup kepuh. Letak kayu pengeret ini sejajar diatas kili, sedangkan blandar/tutup kepuh terletak sejajar diatas kayu sunduk yang dipasang membujur. Kayu pengeret dan kayu kili memiliki ciri lebih pendek dari kayu blandar dan sunduk. Balok molo sebagai tumpang/pengunci dari tumpang sari yang terakhir berada di paling atas dibuat sebagai tumpuan pada kayu usuk, uniknya kayu usuk yang dipasang tidak menumpang pada molo, akan tetapi dimasukkan ke dalam lubang molo dan dikunci dengan pasak kayu.

Blandar dan pengeret terpasang melintang dan menopang pada purus pathok yang menghadap ke atas/horisontal pada ujung tiang saka guru. Purus pathok merupakan purus dari tiang saka guruyang berfungsi sebagai penjaga blandar pengeret dan pengunci cathokan. Di bawah atap tumpangsari terdapat kayu kili dan kayu sunduk yang dipasang dengan sistem knockdown/sistem saling keterkaitan dan saling mengunci antara kayu satu dengan kayu yang lain, pada kayu kili ini mempunyai tonjolan (purus lanang), sedangkan pada kayu sunduk mempunyai lubang (purus wedokan), kedua kayu ini terhubung pada kayu/tiang saka guru yang berlubang. Kili berfungsi sebagai stabilisator dan pengunci (purus lanang) dari sunduk (purus wedokan) dan tiang saka guru, sedangkan sunduk berfungsi untuk menahan goyangan dan guncangan yang terangkai dengan purus lanang pada kayu kili dengan tiang saka guru.

C. Kandhang/Omah Gedhongan

Istilah kandhang dalam bahasa Jawa adalah bangunan sederana yang digunakan untuk memelihara hewan dari pemilik rumah, baik hewan besar maupun hewan kecil seperti kerbau, sapi, kuda, kambing, ayam, itik dan sebagainya. Sarong untuk kandhangayam, kombong untuk kandang itik/unggas, dan untuk kandhangkuda biasa disebut sebagai omah gedhongan. Bangunan kandhang/omah gedhongan ini terletak terpisah dari bangunan utama/ Joglo, berada di sisi sebelah timur atau tepatnya terletak di samping kanan dari bangunan tambahan/dapur dengan berkonstruksi kayu, beratap dan berlantai tanah. Kandhang/omah gedhongan memiliki bentuk persegi panjang dan menghadap ke selatan dengan ukuran 298 cm x 232 cm dan tinggi 230 cm. Bangunan ini memiliki 6 bobok/tiang kayu berukuran 17 cm x 17 cm yang dipasang secara vertikal dan beberapa kayu palon yang dipasang secara horisontal atau melintang masuk ke dalam kayu bobok sebanyak 4 baris, tiang kayu bobok di sebelah utara ditatah ragam hias seperti daun waru, sedangkan tiang bobok di sebelahbarat dan timur ditatah ragam hias kebenan yaitu ragam hias yang berbentuk meruncing seperti mahkota. Kandhang/omah gedhonganini memiliki emper/amplok pada bagian depan/sisi selatan. Fungsi emper/amplok ini digunakan untuk menaruh pakan/makanan kuda. Sangat jarang ditemui khususnya di daerah Gunungkidul, susunan rumah tradisional Jawa yang dilengkapi dengan kandhang/omah gedhongan yang masih utuh sampai sekarang.

Kuda pada masa lalu selain digunakan sebagai alat transportasi utama, juga digunakan sebagai alat angkut barang dagangan dan adakalanya kuda juga digunakan untuk olahraga pacuan kuda (balap kuda). Maka dari itu rumah Joglo yang memiliki omah gedhongan biasanya merupakan orang kaya atau orang dari kalangan atas pada jamannya yang paling tidak memiliki satu ekor kuda. Menurut penuturan Bapak Sugiarto dan Bapak Wahyu Mulyono yang merupakan putra ke-5 dan putra ke-6 dari Bapak Kismo Sudarmo, dahulu kuda milik ayahnya ini sering ikut balapan pacuan kuda di alun-alun Wonosari (sekarang kantor pemerintah daerah Gunungkidul). Setiap pacuan kuda dilakukan, kuda milik Bapak Kismo Sudarmo ini tidak pernah menang melawan kuda dari Keraton Yogyakarta yang diberi nama klinching, joki kuda pada saat itu Bapak Joko Sukarso.

D. Bangunan Tambahan (Pawon)

Bangunan pawon merupakan bangunan tambahan yang terletak di sisi sebelah utara dari bangunan Joglo. Diruangan dapur juga dipergunakan sebagai tempat untuk mempersiapkan bahan yang akan dimasak (racik-racik) dan juga digunakan sebagai tempat untuk mencuci peralatan dapur.Pada bagian dinding dapur sebagian menggunakan gebyog kayu dan sebagian lainnya dengan menggunakan anyaman bambu atau gedhek. 


Status : Bangunan Cagar Budaya
Alamat : Dusun Kerjo 1, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.974731° S, 110.70994° E

SK Walikota/Bupati : Kep Bupati Gunung Kidul No 126 th 2018


Lokasi Rumah Joglo Peniyung di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Deskripsi Fasad : Tampak depan terlihat rumah tradisional yang masih berbahan kayu. Bangunan ini memiliki 2 jenis atap, lintring dan joglo. Terdapat tiga pintu berjenis kupu tarung.
Deskripsi Konsol : Konsol ini berjenis bahu dayang yang terbuat dari kayu. Konsol ini berfungsi untuk menahan tritisan
Deskripsi Jendela : Jendela terbuat dari kayu dan berjenis kuputarung. Jendela ini memiliki jeruji vertikal yang juga terbuat dari kayu
Deskripsi Pintu : Pintu terbuat dari kayu, berjenis kupu tarung
Deskripsi Atap : Atap rumah ini berjenis joglo dan tersusun dari genteng press
Deskripsi Lantai : Lantai terbuat dari batu putih yang sudah di tata rapi
Deskripsi Kolom/Tiang : Kolom terbuat dari kayu dan umpaknya terbuat dari batu
Deskripsi Ventilasi : Ventilasi terbuat dari kayu dan memiliki motif hias
Jenis Ragam Hias : Terdapat hiasan stiliasi flora berbentuk Saton pada bagian dodog wesi
Desain : Joglo
Interior : Interior dalam rumah joglo terdapat perabotan yang terbuat dari kayu, seperti kursi, meja, lemari dan dipan.
Peristiwa Sejarah : Bangunan Joglo Peniyung milik Kismo Sudarmo adalah berawal dari kakek dari Bapak Kismo Sudarmo yang bernama Bapak Karsorejo (generasi ke-I) yang membeli bangunan rumah secara lengkap yakni joglo dan limasan di daerah Nglipar kabupaten Gunungkidul untuk dibawa dan didirikan di daerah Ponjong (tempat sekarang berdirinya rumah). Kemudian oleh Bapak Karsorejo diwariskan kepada anaknya yang bernama Bapak Arjosuwito (generasi ke-II), lalu diwariskan lagi kepada anaknya yang bernama Kismo Sudarmo (generasike-III) dan setelah Bapak Kismo Sudarmo meninggal, rumah joglo ini kemudian ditempati dan dihuni oleh istri dari Bapak Kismo Sudarmo yang bernama Ibu Siti Katijah dan anak yang ke-3 Ibu Sri Murtini. Setelah Ibu Siti Katijah dan Ibu Sri Murtini meninggal tahun 2015, rumah ini ditempati oleh Bapak Wahyu Mulyono (anak ke-5 dari Bapak Kismo Sudarmo) bersama istri Ibu Ani Yuliati dan anak mereka Elsa Oktaviani. Sebelum seperti sekarang, susunan rumah terdiri dari bangunan Joglo dan bangunan Limasan. Pada bagian dinding /tembok bukan dri gebyog kayu tetapi menggunakan dinding dari gedhek atau anyaman yang terbuat dari bambu, untuk lantai masih dari urugan tanah yang diperkeras atau disebut jogan/jerambah. Kondisi bangunan rumah masih dalam kondisi asli dan belum banyak mengalami perubahan. Pada masa penjajahan Belanda, rumah ini pernah digunakan untuk Sekolah Rakyat atau setingkat dengan Sekolah Dasar.
Riwayat Pelestarian : Pernah mendapatkan bantuan dari BPCB Yogyakarta senilai 15 juta
Riwayat Pemugaran : Pernah di pugar bagian genteng
Riwayat Pemanfaatan : Selalu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai TPS, lomba agustusan dan kegiatan sosial lainnyaPernah menjuarai lomba Cagar Budaya tingkat Kabupaten Gunungkidul dengan predikat juara 4
Riwayat Penelitian : Mahasiswa dan dosen dari berbagai kampus pernah datang ke rumah ini untuk mengadakan penelitian
Riwayat Rehabilitasi : Pernah direhab bagian gentengnya, namun bukan genteng kripik melainkan dengan genteng press
Riwayat Perlindungan : Sudah dilindungi oleh SK Bupati Gunungkidul
Nilai Sejarah : Gaya bangunan rumah ini merepresentasikan kesejarahan gaya bangunan rumah tinggal pada masa itu sehingga dapat menjadi bahan edukasi dan informasi tentang gaya arsitektur rumah tinggal, materi bangunan, filosofi bangunan dan ruang, peruntukan dan pembagian masing-masing ruang, adaptasi dengan iklim, serta fungsinya di dalam interaksi sosial budaya masyarakat pada masa itu.
Nilai Ilmu Pengetahuan : 1) Arsitektur dan Arkeologi : bangunan ini mempunyai bentuk yang khas sebagai bangunan dengan ciri arsitektur tradisional Jawa bergaya Mataram Islam Kerakyatan2) Sosial : menjadi bahan edukasi dan informasi tentang gaya arsitektur rumah tinggal, materi bangunan, filosofi bangunan dan ruang, peruntukan dan pembagian masing-masing ruang, adaptasi dengan iklim, serta fungsinya di dalam interaksi sosial budaya masyarakat pada masa itu.
Nilai Pendidikan : pengetahuan tentang bentuk-bentuk rumah tradisional Jawa serta pengetahuan tentang budaya masyarakatnya yang memperlihatkan interaksi, filosofi, karya kreatif, bahan/material bangunan yang tersedia pada masa itu, serta tingkatan sosial dari pemilik bangunan.
Nilai Budaya : Memperlihatkan sistem budaya baik interaksi antar anggota keluarga dan sosial masyarakat, maupun memperlihatkan pengetahuan pemilik akan materi bangunan serta filosofinya.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Alm. Kismo Sudarmo
Alamat Pemilik : Jl. Poncodirian, Kerjo I, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul
Pengelolaan
Nama Pengelola : ani yuliati (ipar) menempati rumah, Dra. Susanto dan Sugiarto pengelol
Alamat Pengelola : Jl. Poncodirian, Kerjo I, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul
Nomer Kontak : Dra. Susanto (085293
Persepsi Masyarakat : Bangunan ini adalah bangunan paling kuno yang ada di daerahnya
Catatan Khusus : Koordinat UTM SK : : 49 MX : 0467913 Y : 9118524