Peristiwa Sejarah |
: |
Keberadaan pabrik gula Sewugalur
tidak dapat dipisahkan dari pabrik-pabrik gula yang ada di Yogyakarta. Hingga
tahun 1912 telah berdiri 17 pabrik gula, 16 berada di wilayah afdeeling Mataran dan 1 pabrik berada di
wilayah afdeeling Kulon Progo. Pabrik
gula yang berada di afdeeling Mataram
antara lain, Pabrik Gula Pundong, Gondanglipuro, Gesikan, Bantul, Barongan,
Kedaton Plered, Padokan, Sedayu, Reewulu, Demak Ijo, Kleci, Sendangpitu
Cebongan, Beran, Medari, Wonocatur, Kalasan, dan Randugunting. Satu-satunya
yang berada di wilayah afdeeling Kulon
Progo yaitu pabrik gula Sewugalur.
Pabrik
Gula Sewugalur didirikan tahun 1889, bersamaan dengan jembatan yang
menghubungkan antara Onderdistrik
Galur dengan Onderdistrik Srandakan,
yang dikenal dengan jembatan Progo. Kesepakatan mengenai sewa tanah untuk
lokasi berdirinya Pabrik Gula Sewugalur terjadi tahun 1883, masa Sri Pakualam V
berkuasa. Untuk tanah seluas 5290 bau,
pemilik pabrik gula membayar kepada Sri Pakualan V sebesar 200.000 gulden. Dalam
perjalanannya, adanya reorganisasi
agraria di tanah-tanah kejawen
oleh Residen Lieferinck dan Paku Alam VII pada Oktober 1912 berimbas salah
satunya pada status kepemilikan tanah. Perubahan kepemilikan tanah di Distrik
Galur sendiri berubah pada bulan April 1925.
Tahun
1930 harga gula di dunia mengalami penurunan. Anjloknya harga gula tersebut
merupakan imbas dari pasokan gula dunia yang melimpah. Zaman tersebut yang
dikenal dengan maliaise. Dampak dari
anjloknya harga gula adalah ditutupnya 9 pabrik gula yang ada di Yogyakarta,
hingga menyisakan 8 pabrik, yaitu: Pabrik Gula Tanjungtirto, Kedaton, Padokan
Gondanglipuro (sekarang Bambanglipuro), Gesikan, Cebongan, Beran, dan Medari.
Saat
Pabrik Gula Sewugalur ditutup tahun 1930, kepemilikan tanah pabrik sudah
menjadi milik pemerintah desa setempat. Reorganisasi
agraria tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri stelsel “patuh” (apanagehouder) dan stelsel “bekel”, serta
dapat meletakkan dasar hukum baru dalam hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa
dengan perusahaan perkebunan asing. Semenjak reorganisasi agraria, status tanah
Pabrik Gula Sewugalur yang semula merupakan tanah apanage milik Pakualaman, berubah status menjadi tanah kas desa
pemerintah desa Sewugalur. Berdasarkan arsip pelelangan tanah bekas pabrik
tahun 1949, pada 12 November 1949 tanah bekas lokasi berdirinya Pabrik Gula
Sewugalur dilelang kepada masyarakat. Saat tanah dilelang, kondisi pabrik telah
hancur akibat pendudukan Jepang. Hancurnya bangunan pabrik gula tersebut dikarenakan
Pendudukan Jepang. Kawasan pabrik tersebut di hancurkan dengan cara dibakar.
Dalam penghancuran tersebut menyisakan bangunan rumah bagian dari pabrik. |