Loading

Pesanggrahan Ngeksiganda

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Bangunan Cagar Budaya Pesanggrahan Ngeksiganda semula merupakan bangunan vila milik orang Belanda yang kemudian pada tahun 1927 dibeli oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII meliputi tanah dan bangunan beserta seluruh perabotnya. Bangunan tersebut digunakan sebagai rumah peristirahatan/pesanggrahan bagi keluarga sultan.  

Bangunan ini kemudian menjadi salah satu fasilitas yang digunakan dalam rangkaian peristiwa pertemuan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang dalam konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda digunakan untuk tempat bekerja panitia pengarah (steering committe) yang terlibat pada rangkaian pertemuan KTN. 

Dalam peristiwa pertemuan KTN tersebut, Bangunan Cagar Budaya Pesanggrahan Ngeksiganda ini digunakan sebagai tempat kerja bagi para staf delegasi. Selain Pesanggrahan Ngeksiganda terdapat dua Bangunan Cagar Budaya yang juga digunakan pada dalam rangkaian peristiwa Perundingan KTN, antara lain: Bangunan Cagar Budaya Wisma Kaliurang sebagai tempat utama pertemuan/perundingan dan Bangunan Cagar Budaya Wisma Merapi Indah sebagai tempat akomodasi Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia pada peristiwa perundingan KTN 1946. 

Bangunan Cagar Budaya Pesanggrahan Ngeksiganda memiliki gaya arsitektur Indies tropis dengan konstruksi kayu. Bangunan Cagar Budaya Pesanggrahan Ngeksiganda menghadap ke arah barat daya dan memiliki halaman luas. Pesanggrahan ini berupa kompleks bangunan yang terdiri atas: (1) Bangunan Induk, (2) Bangunan Gedhong Gongso, (3) Gedhong Telepon, dan (4) Bangunan Rumah Diesel. 

(1) Bangunan Induk 

Bangunan memiliki bentuk atap limasan, berdinding papan kayu dan kaca. Bangunan induk terdiri atas bangunan utama dan paviliun. 

  1. Bangunan Utama 

a) Bangunan utama memiliki denah persegi panjang berukuran 21,6 x 13,5 m dengan luas 277 m. Terdiri atas ruang tamu berukuran 3,5 x 3 m; ruang tidur berjumlah 5 buah yang masing-masing berukuran 3,5 x 3 (2 kamar), 4 x 3 m, 4 x 3,5 m, 4,5 x 3,5 m; ruang keluarga berukuran 8,5 x 5 m; ruang duduk berukuran 6 x 4,25 m; ruang makan berukuran 6 x 4,75 m; dapur berukuran 3 x 2,5 m; dan bagian teras. Selain itu, di bangunan utama juga terdapat cerobong asap dengan luas penampang 1,5 m².  


Konstruksi atap dari bahan kayu jati, dengan penutup atap dari genteng. Plafon menggunakan pelat logam tipis dengan variasi garis dan eternit. Dinding dibuat dari papan kayu di atas fondasi batu. Kusen untuk jendela, pintu, ventilasi terbuat dari kayu. Panil untuk jendela lapisan dalam dan ventilasi berbahan kaca, sedangkan jendela lapisan luar dan pintu terbuat dari kayu. Penutup lantai berupa tegel ukuran 20 cm x 20 cm, berwarna abu-abu, coklat muda, merah tua dan beberapa bagian yang memiliki variasi ornamen. 


b) Paviliun 

Bangunan paviliun memiliki denah persegi panjang berukuran 21,5 m x 10,5 m dengan luas 194 m2. Terdiri dari ruang tidur 2 buah, teras dan koridor. Paviliun beratap limasan dengan atap teritisan. Konstruksi atap menggunakan kayu dengan penutup atap dari genting dan seng. Plafon paviliun menggunakan pelat logam tipis, sementara kusen jendela, pintu dan ventilasi terbuat dari kayu jati. Dinding Paviliun berbahan papan kayu. Daun pintu dan jendela model kupu tarung  terbuat dari kayu model krepyak dengan kombinasi kaca dengan ukuran daun pintu berukuran 220 x 46 cm dan daun jendela berukuran 138 x 40 cm. Penutup lantai bangunan menggunakan tegel abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm.


2) Gedhong Gongso 

Bangunan ini berdenah persegi panjang, berukuran 12 m x 8,5 m dan luas 102 m2 terdiri atas ruang utama, teras belakang dan kamar mandi/toilet. Beratap limasan dengan konstruksi atap terbuat dari bahan kayu, penutup atap dari genting, list plank dari papan kayu yang menempel langsung pada usuk dan plafon dari eternit. Bagian dinding di ketiga sisi (kecuali tembok di sisi belakang bangunan) berupa panil kaca yang terdiri atas pintu, jendela, dan ventilasi.

Bangunan ini pernah digunakan sebagai tempat pertemuan/konferensi yang terbatas bagi para delegasi KTN. Dalam beberapa kesempatan pertemuan tersebut terdapat pertunjukan tarian Jawa yang diiringi gamelan. 


(3) Gedhong Telepon 

Bangunan ini berdenah persegi panjang berukuran 6 m x 4 m dan luas 24 m2. Gedhong Telepon memiliki atap limasan dengan konstruksi bangunan dari kayu, list plank dari papan kayu menempel pada usuk serta beratap genting. Plafon dari pelat logam tipis bergaris yaitu pada bagian seluruh overstek bangunan. Pada sebelah utara bangunan Gedhong Telepon terdapat bangunan tambahan yang berfungsi untuk garasi. 

Struktur dinding pada Gedhong Telepon merupakan kombinasi tembok batu bata dan kaca. Pintu, jendela dan ventilasi kusen terbuat dari kayu dan panel kaca dengan ukuran tebal 2 mm. Sedangkan lantai berupa tegel bermotif dengan ukuran 20 x 20 cm. 

Dahulu bangunan ini berfungsi sebagai tempat alat-alat telepon sebagai sarana komunikasi dalam rangka bertukar informasi.  


4) Bangunan Rumah Diesel 

Bangunan rumah diesel berada di tepi pagar halaman sisi barat. Berlokasi di utara gerbang pintu masuk, menghadap halaman dalam pesanggrahan. Unit bangunan ini berukuran 2 m x 2,5 m digunakan sebagai tempat penyimpanan mesin diesel untuk menyediakan sumber listrik. Atap rumah diesel berupa cor beton, dinding bagian atas tersusun dari pasangan bata plester, sementara dinding bagian bawah tersusun dari batu kali bermotif rubble wall. Rumah diesel dilengkapi satu pintu masuk berbahan kayu di sisi timur. 

Keberadaan bangunan ini menandakan bahwa Pesanggrahan Ngeksiganda termasuk bangunan yang memiliki fasilitas lengkap dibanding bangunan-bangunan vila lain karena menyediakan pasokan listrik secara mandiri melalui mesin diesel. Infrastruktur listrik dibangun di kawasan Kaliurang sejak sekitar tahun 1928.



Status : Bangunan Cagar Budaya
Periodesasi : Kolonial (Belanda/Cina)
Tahun : 1812
Alamat : Jl. Asterenggo 1 Kaliurang 8, Rt.08, , Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.59633° S, 110.42522° E

No. Registrasi Nasional RNCB.20151105.02.000046
SK Menteri : PM.89/PW.007/MKP/2011; SK Mendikbud 210/M/2015
SK Gubernur : SK-GUB/No.210/Kep/2010 ; SK Gub DIY 354/KEP/2024


Lokasi Pesanggrahan Ngeksiganda di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : Nama “Ngeksiganda” berasal dari bahasa Sansekerta: “keksi” berarti “terlihat” dan “ganda” berarti “bau”. Gabungan dua kata tersebut menjadi “ngeksiganda” yang diartikan “terlihat harum”. Frasa ini sinonim dengan nama historis “Mataram”. Dengan demikian, nama “ngeksiganda” merupakan sebutan lain atau versi halus dari kosakata “Mataram” (yang pada masa kemudian diinterpretasikan sebagai gabungan kata dari “mata” + ”arum”). Pesanggrahan Ngeksiganda dahulu merupakan bangunan vila milik orang Belanda penduduk Kota Yogyakarta. Sekitar tahun 1927, Sri Sultan Hamengku Buwana VIII membeli tanah dan bangunan beserta seluruh perabot bangunan vila tersebut. Sejak saat itu bangunan ini difungsikan sebagai tempat peristirahatan raja serta keluarganya dan diberi nama Pesanggrahan Ngeksiganda. Tempat peristirahatan ini digunakan hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Pada tahun 1948, Sri Sultan Hamengku Buwana IX berkenan meminjamkan kompleks bangunan ini untuk digunakan sebagai salah satu tempat fasilitas kegiatan-kegiatan pertemuan Komisi Tiga Negara (KTN). Peristiwa tersebut menggunakan juga bangunan Wisma Kaliurang yang berada di seberang (barat) Pesanggrahan Ngeksiganda beserta beberapa bangunan vila lainnya di sekitar sebagai tempat akomodasi peserta perundingan-perundingan tersebut. Pertemuan Komisi Tiga Negara (KTN) merupakan upaya mediasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (United Nation/UN) dalam konflik bersenjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Konflik ini terjadi atas peristiwa Agresi Militer Belanda pada 21 Juli 1947 yang merupakan klimaks dari gagalnya hasil kesepakatan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947).  Reaksi dari pihak Indonesia pada peristiwa tersebut adalah dengan menerapkan sistem pertahanan linier, yaitu mengadakan gerakan defensif (bertahan) secara total. Dunia internasional yang telah mengakui kedaulatan Indonesia turut mengecam tindakan agresi Belanda tersebut dengan membentuk Komisi Tiga Negara.  Pembentukan KTN pada tanggal 26 Agustus 1947 atas dasar Resolusi 31 Dewan Keamanan PBB yang membahas tentang sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda (NICA). KTN merupakan sebuah komite yang bertugas untuk menjadi mediator konflik antara Indonesia serta Belanda. Komite ini dikenal disebut dengan nama Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik Untuk Indonesia) yang kemudian dikenal dengan nama “Komisi Tiga Negara” (KTN) karena beranggotakan tiga negara. Tiga negara tersebut yaitu Belgia yang dipilih untuk mewakili Belanda, Australia yang dipilih untuk mewakili Indonesia, dan Amerika Serikat yang dipilih sebagai pihak yang netral. Delegasi Belgia diwakili oleh Paul Van Zeeland (mantan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Belgia), delegasi Australia diwakili oleh Richard Kirby (Hakim Mahkamah Arbitrase dari Persemakmuran Australia), dan delegasi Amerika Serikat yang diwakili Dr. Frank Graham (akademisi, saat itu sebagai Rektor Universitas North Carolina) (Soejono & Leiressa, 2019: 220).  Pertemuan KTN dilaksanakan dalam rangkaian sepanjang Oktober 1947–Desember 1948 di Jakarta dan Yogyakarta (bertempat di kawasan Kaliurang) secara bergantian dengan pertemuan puncak saat penandatanganan kesepakatan perjanjian di atas kapal angkutan milik Angkatan Laut Amerika Serikat: USS Renville pada 17 Januari 1948. Pada 13 Januari 1948 terjadi Pertemuan Khusus Komisi Tiga Negara di Kaliurang yang dihadiri kabinet lengkap Republik Indonesia kala itu: Presiden Soekano, Wakil Presiden Moh Hatta, Perdana Menteri Syahrir dan Panglima TNI Jenderal Soedirman hadir di perundingan tersebut sebagai pengamat. Perundingan KTN pada 13 Januari tersebut melahirkan dokumen “Notulen Kaliurang”.  Dokumen tersebut merupakan catatan rapat (notulen/meeting minutes) hasil tanggapan terhadap usul pihak Belanda yang mengajukan 12 prinsip politik untuk disampaikan KTN kepada pihak Indonesia. Prinsip Belanda adalah: pengurangan pasukan, dan menghidupkan kembali kegiatan ekonomi, tetapi dalam usul itu tidak disebutkan perihal penarikan tentara Belanda. Lebih lanjut pihak Belanda menyatakan bahwa 12 prinsip politik itu adalah usaha yang terakhir. Apabila ditolak, mereka tidak dapat lagi melanjutkan perundingan, dan RI diberi waktu 48 jam untuk menjawabnya. KTN menyadari bahwa sikap ultimatum pihak Belanda ini akan mengakibatkan situasi yang sangat berbahaya. Untuk mengatasi hal itu, KTN mengajukan 6 prinsip tambahan untuk mencapai penyelesaian politik. Pemerintah RI mendapat jaminan KTN bahwa kekuasaan Republik tidak akan berkurang selama masa peralihan sampai diserahkannya kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Selanjutnya pihak RI dapat menerima prinsip-prinsip KTN tersebut karena dalam poin 4 dari 6 prinsip itu dinyatakan bahwa antara 6 bulan sampai dengan 1 tahun sesudah ditandatanganinya persetujuan politik akan diadakan plebisit di seluruh Indonesia dalam pengawasan KTN untuk menentukan apakah rakyat memilih bergabung dengan Republik atau tidak. Dalam hal ini pihak Belanda juga berjanji akan menerima prinsip yang diajukan oleh KTN apabila pihak RI menyetujui sampai batas waktu 9 Januari 1948. Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948 kedua belah pihak menyepakati Perjanjian Renville untuk menandatangani persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan oleh KTN (Soejono & Leiressa, 2019: 224).  Bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda digunakan untuk tempat bekerja staf dan panitia pengarah (steering comitte) yang terlibat pada rangkaian pertemuan dan perundingan KTN sepanjang tahun 1948 di Kaliurang. Dalam artikel majalah Star Weekly, No. 123. 9 Mei 1948 (hlm, 7-8) terdapat keterangan bangunan-bangunan di Kaliurang yang digunakan sebagai tempat konferensi. Selain Hotel Kaliurang (Wisma Kaliurang) yang digunakan sebagai tempat makan, titik kumpul keberangkatan dan kepulangan delegasi, serta fasilitas utama dalam konferensi, terdapat Rumah Sultan Hamengkubuwono (Pesanggrahan Ngeksigondo) yang digunakan sebagai tempat pertemuan antara delegasi KTN. Selain itu Huizen Louise (saat ini: Wisma Gadjah Mada) digunakan sebagai tempat pertemuan sub-komite perundingan KTN. 
Riwayat Pemugaran : 1985 Kementerian Kebudayaan: studi kelayakan pada Pesanggrahan Ngeksiganda. 1986 Kajian untuk kelengkapan data dari studi kelayakan serta pemetaan. 1991 Dinas Kebudayaan DIY: renovasi penggantian penutup lantai plester menjadi tegel pada bagian penghubung Bangunan Induk dan Paviliun. 2006 Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY): pengecatan bangunan. 2010 BPCB DIY: dokumentasi foto detail bangunan. 2011 BPCB DIY: pengecatan serta penggantian seng di bagian garasi. 2012 BPCB DIY: Re-inventarisasi Pakem. 2013 BPCB DIY: pendataan Pesanggrahan Ngeksiganda dalam Heregistrasi Kecamatan Pakem. 2018 BPCB DIY: Pendataan Cagar Budaya. 2020 BPCB DIY: survei teknis kerusakan bangunan. 
Nilai Sejarah : Pesanggrahan Ngeksiganda merupakan tempat peristirahatan keluarga Kasultanan Yogyakarta, pernah digunakan sebagai salah satu fasilitas pertemuan dalam rangkaian pertemuan Komisi Tiga Negara sepanjang 1947–1948 yang menjadi bukti fisik sejarah perjuangan diplomasi Republik Indonesia masa revolusi kemerdekaan. 
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Alamat Pemilik : Jl. Asterenggo 1, Rt.08, rw.19, Kaliurang 8, Hargobinangun, Pakem Slem
Pengelolaan
Nama Pengelola : Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Bapak Parmin)
Alamat Pengelola : Jl. Asterenggo 1, Rt.08, rw.19, Kaliurang 8, Hargobinangun, Pakem Slem
Nomer Kontak : 82136290844
Catatan Khusus : Koordinat SK : 49 M 436591.42 m E; 9160131.77 m SPanjang Bangunan Induk : 35,1 m Lebar Bangunan Induk : 21,5 m Panjang Gedhong Gongso : 12 m Lebar Gedhong Gongso : 8,5 m Panjang Gedhong Telepon : 6 m Lebar Gedhong Telepon : 4 m Panjang Rumah Diesel : 4,5 m Lebar Rumah Diesel : 4 m Ketinggian  : 900 m dpl Luas Bangunan Keseluruhan : 615 m2 Bangunan Induk : 471 m2 Gedhong Gongso : 102 m2 Gedhong Telepon : 24 m2 Rumah Diesel : 18 m2 Luas Lahan : 10.411 m2