Loading

Rumah Tradisional Sosro Arjo

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Wilayah Desa Ngloro, Kecamatan Saptosari merupakan wilayah yang dikenal banyak memiliki peninggalan bangunan rumah tradisional Joglo dan masih lestari hingga saat ini. Namun demikian, berdasarkan keterangan dari Pemerintah Desa setempat, Jumlah Joglo tersebut dari tahun ke tahun mengalami penyusutan. Hal tersebut bisa terjadi, dikarenakan beberapa faktor, diantaranya persoalan warisan dan ekonomi keluarga. Berdasarkan catatan Daftar Rumah Joglo yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Ngloro, Rumah Tradisional Sosro Arjo di Dusun Tekik, Desa Ngloro, Kecamatan Saptosari Gunungkidul merupakan satu dari 74 Joglo yang masih tersisa.
Banyaknya Joglo yang dijual dan berpindah tempat telah mengundang perhatian khusus dari Pemerintah. Salah satu tindakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah DIY yaitu dengan mencanangkan kegiatan penyelamatan rumah tradisional dengan cara memberikan penghargaan terhadap masyarakat yang masih memiliki rumah Joglo. Beberapa rumah di Desa Ngloro telah mendapatkan serfikat penghargaan dari Pemerintah untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan budaya Jawa tersebut. Saat ini kegiatan pelestarian masih terus dilaksanakan. Rumah Bapak kamdani atau Rumah Tradisional Sosro Arjo merupakan salah satu rumah tradisional yang masih lestari dan diajukan oleh pemerintah daerah setempat untuk segera dijadikan Bangunan Cagar Budaya.
Bangunan Rumah Sosroarjo sehari-hari digunakan oleh Pak Kamdani sekeluarga. Pak Kamdani sesungguhnya hanya anak menantu dari Sosro Arjo. Sehari hari rumah ini hanya dihuni oleh Bapak Kamdani, Ibu Paryani, dan Mbah Sosro Arjo. Sebagai pensiunan pegawai Departemen Agama, Pak Kamdani dan istrinya saat ini melakukan aktifitas sebagai petani. Sementara Mbah Sosro Arjo, biasa berada di rumah sendirian ketika Pak Kamdani dan istrinya pergi ke ladang.
Berdasarkan pengamatan di lokasi, saat ini Bangunan Rumah Tradisional Sosro Arjo dari depan ke belakang terdiri atas bangunan Joglo, Bagunan omah tengah berbentuk limasan, bangunan omah Mburi berbentuk Limasan, serta bangunan berbentuk kampung sebagai dapur yang didirikan di sisi timur. Berikut ini adalah deskripsi atas bentuk bangunan rumah Sosro Arjo.
1. Omah Joglo.
Bangunan Joglo Sosro Arjo berfungsi sebagai ruang tamu. Sebagai bangunan paling depan, bangunan ini tidak memiliki pembatas antar ruangan. Di dalamnya hanya terdapat meja kursi ruang tamu.
- Lantai
Permukaan lantai berupa keramik bermotif dan berwarna coklat muda. Ukuran lantai keramik tersebut 40cm x 40cm. Lantai keramik ini dibuat tahun 2005. Sebelumnya lantai Joglo dibuat dari tegel batu kapur putih. Menurut penjelasan Bapak Kamdani, semula lantai rumah ditutup oleh kepang atau anyaman bambu. Kemudian tahun 1982, kepang diganti oleh tegel batu putih yang dibeli dari daerah Mulo – Wonosari. Batu putih yang sekarang, dipasang sebagai lantai dapur.
- Saka dan dinding
4 Saka Guru Joglo berukuran 18Cm x 17Cm Tinggi 3,45 Cm. Seluruh tiang Saka Guru berdiri di atas umpak dari bahan kayu yang berukuran tinggi 36 Cm. Umpak kayu dibuat tanpa ornamen. Dinding Joglo selain sisi barat menggunakan lawang gebyok dari bahan kayu jati. Sementara dinding Joglo sisi barat menggunakan bahan tembok berplester.
- Atap
Struktur atap Jolgo merupakan struktur penyangga atap berbentuk brunjung. Struktur tersebut terdiri dari Sunduk, sunduk kili, Blandar, dhadha peksi, Tumpangsari, Uleng, jurai dan nok atau molo. Sebagai pengikat dan pengaku keempat soko guru tersebut yaitu sunduk dan sunduk kili. Tumpangsari dan uleng memiliki jumlah 5 tingkat. Pada bagian ujung balok tumpang sari paling atas terdapat 4 pola hias buah keben atau kebenan yang berfungsi sebagai pengunci.
Pada bagian uleng, midhangan dan dhadha peksi dibiarkan polos tanpa cat. Midhangan ditutup oleh papan kayu tanpa ornamen. Pada balok dhadha peksi terdapat ukiran berpola hias daun atau patra, bunga, dan lung lungan atau tumbuhan menjalar.
Usuk Joglo berbentuk rigereh. Atap penutup Joglo menggunakan genteng press. Bubungan genteng pada bagian dudur dan molo ditutup dengan wuwung seng berpola bongkak pada ujung ujungnya. Wuwung paling atas yang menutup molo, diberi hiasan Gunungan wayang.
2. Omah Tengah.
Omah Tengah semula berada di sisi depan. Tapi pada saat rumah direnovasi tahun 2005, bangunan Joglo yang semula berada di tengah dipindah ke bagian depan. Omah tengah ini memiliki dinding pembatas yang terbuat dari lawang gebyok pada sisi utara, timur, dan selatan. Sementara pada sisi barat, dinding dibuat dari tembok. Omah tengah digunakan oleh keluarga Kamdani sebagai ruangan santai untuk keluarga. Di dalam Omah juga digunakan untuk menonton televisi. Lantai pada omah tengah menggunakan lantai keramik berukuran 30 x 30 cm yang berwarna coklat bermotif.
3. Omah Mburi.
Omah mburi merupakan bangunan dengan bentuk atap bertipe limasan. Pada bagian ini terdapat ruangan yang digunakan untuk kamar tidur. Lantai pada omah mburi menggunakan keramik berwarna biru berukuran 30cm x 30 cm.
4. Omah Kampung yang digunakan sebagai Pawon.
Pada sepanjang sisi timur terdapat sebuah bangunan berbentuk kampung. Bangunan ini berfungi sebagai gandhok kiwo pada rumah jawa. Seluruh permukaan lantai bangunan pada gandhok kiwo ditutup oleh tegel batu putih yang direkatkan dengan semen. Terdapat 3 sekat ruangan pada bangunan tersebut. Paling depan atau sisi selatan digunakan sebagai ruangan garasi motor dan ruang penyimpanan. Pada sisi tengah digunakan sebagai ruang penyimpanan hasil pertanian. Lalu pada sisi paling belakang digunakan sebagai dapur.
Secara keseluruhan bangunan rumah Sosro Arjo memiliki kesan bangunan rumah tradisional yang sangat terawat dan bersih. Karena selama ini Bapak Kamdani sering melakukan perbaikan dan perawatan bangunan dengan baik.

Status : Bangunan Cagar Budaya
Periodesasi : Tradisional Jawa
Alamat : Dusun Tekik, RT 21/ RW 05, Ngloro, Saptosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
8.06875° S, 110.49766666667° E

SK Walikota/Bupati : R0060/TACBGK/05/2019


Lokasi Rumah Tradisional Sosro Arjo di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Umum Joglo NgloroBerdasar penuturan Bapak Supardiwiyono (69Thn) – Bapak dari Ibu Sutarmi (pemilik Rumah Tradisional Mujono), kebanyakan penduduk daerah Ngloro berasal dari daerah Paliyan yang mulai datang ke wilayah tersebut pada masa penjajahan Belanda. Para pendatang dari Paliyan tersebut (termasuk leluhur Supardiwiyono) kemudian bermukim secara permanen dan umumnya bekerja sebagai petani. Pada masa pra kemerdekaan, wilayah Ngloro memiliki hutan yang masih lebat dan dipenuhi oleh hutan jati yang berusia tua. Pada masa kolonial, pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk merehabilitasi kondisi hutan jati di Gunungkidul yang sempat mengalami deforestasi pasca era Raffles yang terus berlanjut hingga awal abad ke-20. Usaha ini dapat dilaksanakan setelah diterbitkan ordonansi pengelolaan Jati Jawa-Madura dan ditemukannya teknik pengelolaan hutan modern. Cara yang ditempuh diantaranya adalah dengan membatasi eksploitasi, dan memperketat pengawasan supaya tidak terjadi pembalakan liar. Hal ini juga terjadi di Gunungkidul. Informasi Bapak Supardiwiyono yang menjelaskan bahwa berdasarkan penuturan dari orang tua terdahulu, pada masa penjajahan Belanda terdapat larangan untuk menebang pohon Jati di Ngloro. Masyarakat Ngloro pada masa itu sangat mematuhi peraturan tersebut, dan oleh karenanya jati berkembang baik di wilayah ini. Pada era pendudukan Jepang terjadi perubahan besar dengan mulai dilakukannya eksploitasi besar-besaran terhadap hutan Jati di Ngloro. Pada masa itu, pemerintah penjajah Jepang melalui aparat desa Ngloro memberikan perintah untuk membuat barikade kayu untuk membuat pertahanan di tepi pantai. Barikade tersebut berupa kayu jati yang ditebang dan didirikan di sepanjang tepi pantai di selatan wilayah Gunungkidul (Pantai Baron dan sekitarnya). Kesempatan tersebut rupanya digunakan warga Ngloro untuk menyimpan kayu jati yang ditebang untuk selanjutnya digunakan untuk mendirikan bangunan Rumah Joglo. Menurut penjelasan Bapak Supardiwiyono, kualitas kayu Jati yang ditebang pada saat itu merupakan Pohon Jati tua dengan kualitas istimewa. Jenisnya adalah kayu Jati Sungu. Kayu Jati Sungu memiliki ciri khas warna coklat tua (merah kehitaman) dan sangat berminyak, sehingga jika digosok sedikit saja akan mengkilap dengan sendirinya tanpa dipoles. Kayu Jati jenis tersebut sudah tidak diketemukan lagi di daerah Gunungkidul saat ini. Bapak Supardiwiyono sendiri saat ini memiliki 2 buah joglo warisan dari kakeknya yang memiliki material kayu jati sungu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan rumah-rumah joglo di Ngloro tidak lepas dari ketersediaan material berupa kayu jati yang banyak dijumpai di wilayah ini.B. Sejarah Kepemilikan Berdasarkan penjelasan dari Bapak Kamdani – penghuni rumah Sosro Arjo, Bangunan ini merupakan warisan dari Joyontanu. Joyontanu merupakan tokoh yang terpandang di daerah Tekik. Semasa hidup, Joyontanu merupakan petani yang sukses, dan memiliki banyak tanah. Menurut Bapak Kamdani, Joyontanu diperkirakan lahir sekitar tahun 1905. Joyontanu kemudian mewariskan tanah dan rumah kepada anak perempuannya yang bernama Wasilah yang menikah dengan Sosro Arjo. Kemudian Sosro Arjo dan Wasilah mewariskan rumah tersebut kepada anak perempuannya yang bernama Paryani yang menikah dengan Bapak Kamdani. C. Sejarah Pembangunan Rumah Tradisional Sosro ArjoSecara turun temurun bangunan rumah beserta tanah pekarangan merupakan warisan dari Ibu Wasilah dan Bapak Sosro Arjo, yang memperoleh warisan pula dari orang tuanya yang berna Joyontanu. Menurut penjelasan Pak Kamdani, pada tahun 1951 Wasilah dan Sosro Arjo yang baru menikah, mendapatkan rumah tersebut dari Joyontanu. Pada bagian sunduk kili dari bangunan joglo, terdapat tulisan yang menyebutkan tanggal 6 Agustus 1951. Tanggal tersebut merupakan tetenger atau penanda bahwa keluarga Sosro Arjo dan Wasilah berpisah dari orang tua dan berdiri sebagai keluarga sendiri (istilah di Ngloro : didewekke). Menurut Bapak Kamdani, tanggal tersebut dimaknai sebagai tanggal pernikahan Sosro Arjo.Lebih jauh Bapak Kamdani menjelaskan bahwa asal usul joglo sebelum diberikan kepada Wasilah dan Sosro Arjo, berasal dari daerah Kanigoro. Kanigoro ini merupakan sebuah desa yang berlokasi di dekat pantai Ngrenehan SaptosariJoglo adalah pemberian Mbah Joyontanu (Orangtua dari Bu Sosro atau Bu Wasilah). Konon Kayu Joglo diperoleh dari Kanigoro (sebuah tempat di daerah dekat pantai Ngrenehan)Pembangunan yang pernah berlangsung di Rumah Tradisional Sosro Arjo adalah :- Pada tahun 1982, seluruh permukaan tanah ditutup dengan tegel batu putih. Tegel batu putih tersebut dibeli dari daerah Mulo – Wonosari. Semula lantai joglo dan lantai omah tengah menggunakan anyaman bambu atau sesek.- Pada sekitar tahun 1990, seluruh genteng keripik diganti dengan genteng press.- Pada tahun 2004, wuwung dari genteng wuwung diganti menjadi wuwung seng. - Tahun 2005, joglo yang semula berada di belakang omah tengah di pindah menjadi joglo berada di depan, kemudian omah tengah berada di belakang joglo.- Tahun 2015 seluruh tegel batu putih diganti dengan lantai keramik. Lantai tegel digunakan untuk menutup lantai bangunan gandhok kiwo.
Nilai Sejarah : Masyarat Desa Ngloro pada masa lalu diduga berasal dari daerah Paliyan. Dugaan tersebut terbukti debgan adanya beberapa keluarga yang masih membangun komunitas persaudaraan keluarga besar dengan penduduk di daerah Paliyan. Rumah-rumah tradisional daerah Ngloro diduga semula didirikan karena adanya transformasi ilmu dan ketrampilan yang berlangsung pada masyarakat masa lalu. Bangunan rumah yang terdapat di daerah Ngloro sebagian besar merupakan bangunan warisan dari leluhur yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat sekarang. Bangunan Rumah Tradisional Bapak Mujono mewakili bangunan Joglo bersejarah di daerah Saptosari yang pada umumnya didirikan pada saat setelah penjajahan Jepang di Indonesia. Pada masa tersebut terjadi transisi perubahan peraturan bagi masyarakat yang mendapatkan kebebasan dalam mendirikan rumah dengan bahan dari kayu Jati. Rumah 11 tradisional Desa Ngloro terkandung berbagai macam gagasan yang menyertai pendirian bengunan rumah tersebut pada masa lalu yang mempunyai arti penting untuk mengetahui sejarah Desa Ngloro pada khususnya dan Sejarah Gunungkidul pada umumnya.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Daerah Ngloro yang terdiri dari daerah perbukitan kapur secara geologis merupakan bagian dari gunung seribu. Tanah di perbukitan tersebut dikenal memiliki karakter yang keras, sangat liat di musim hujan dan gersang di musim panas. Komposisi yang sangat kontras dan ekstrim tidak menyurutkan leluhur masyarakat Ngloro untuk bermukim dan membangun komunitas tempat tinggal yang menetap, hingga akhirnya terbentuk Desa Ngloro. Masyarakat desa Ngloro sekarang sebagaian besar merupakan masyarakat asli yang secara turun temurun hidup dan menempati rumah hasil warisan dari leluhur mereka. Rumah tersebut didirikan dengan pola tertentu, menempati sebuah lahan perbukitan yang sempit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup masyarakat berbasis pertanian. Dalam membangun rumah Jawa, masyarakat Ngloro menggunakan perhitungan tertentu, karena bagi mereka perhitingan tersebut akan menetukan kelangsungan hidup rumah yang didirikan. Rumah tradisional Ngloro mengandung banyak kearifan lokal yang dibangun dari proses kehidupan masyarakat Ngloro yang terjadi sejak jaman nenek moyang masyarakat Ngloro dan masih dipertahankan hingga sekarang. Dengan demikian rumah tradisional daerah Ngloro mengandung berbagai ilmu yang penting untuk digali, diantaranya ilmu arkeologi, ilmu geologi dan lingkungan, ilmu arsitektur, ilmu lingkungan, dan ilmu sosial.
Nilai Pendidikan : - Rumah tradisional daerah Ngloro mengendung pengetahuan tentang tipologi rumah tradisional Jawa serta konsep pengetahuan tentang budaya masyarakatnya yang memperlihatkan interaksi, filosofi, karya kreatif, bahan/material bangunan yang tersedia pada masa itu, serta tingkatan sosial dari pemilik bangunan.
Nilai Budaya : - Bangunan rumah Tradisonal Mujono memperlihatkan sistem budaya pada masa lalu yang mengandung interaksi antar anggota keluarga dan sosial masyarakat. Bangunan rumah tersebut mengandung nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan tinggi yang pernah dimiliki oleh leluhur keluarga yang ditanamkan secara turun menurun.  - Bentuk bangunan joglo, limasan, dan kampung di Desa Ngloro penting untuk diselamatkan dan dijaga kelestariannya karena dapat menjadi obyek pembelajaran kebudayaan terhadap masyarakat yang berkembang di daerah Saptosari pada masa lalu. Sebagai monumen hidup atau living museum, rumah tradisional di Desa Ngloro memperlihatkan nilai-nilai penting kehidupan sosio agraris masyarakat sehari-hari yang masih berlangsung hingga saat ini yang menjadi identitas budaya daerah setempat.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Paryani (Istri Pak Kamdani)
Pengelolaan
Nama Pengelola : Paryani (Istri Pak Kamdani)