Loading

Rumah Tradisional Sri Mujiyati

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Rumah Tradisional Sri Mujiyanti merupakan rumah tradisional Jawa yang unik dan berusia lebih dari 100 tahun. Berdasarkan keterangan Ibu Sri Mujiyati (73 tahun), rumah miliknya dibangun pada tahun 1817. Selain usianya yang tua, rumah tersebut juga menjadi penting karena pernah menjadi saksi perjalanan gerilya Jenderal Soedirman di masa lalu. Pada tahun 1949, Jenderal Soedirman beserta pasukannya pernah singgah dan mendapatkan sebuah jamuan minum di Padukuhan Kerjo, Desa Genjahan. Menurut pengakuan Ibu Sri Mujiyati, kejadian tersebut berlangsung di dalam rumahnya. Karena nilai penting bagi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, maka saat ini semua peralatan yang digunakan oleh Jenderal Soedirman dari rumah Sri Mujiyati telah dijadikan koleksi Museum Benteng Vredeburg Yogya.
Material kayu yang digunakan untuk membangun rumah Sri Mujiyati adalah kayu jati kuno. Ditinjau dari bentuknya, Rumah Tradisional Sri Mujiyati merupakan rumah kampung yang umum ditemui di masyarakat. Namun jika ditinjau dari ornamen ukirannya, rumah tersebut kaya dengan ragam hias baik berupa flora, fauna maupun geometri. Seluruh ornamen tersebut bisa ditemui khususnya pada bagian omah mburi yang memiliki bentuk atap bertipe limasan. Ornamen ukiran tersebut menjadi sangat indah karena dibuat pada material kayu jati kuno yang berwarna coklat tua.
Rumah Sri Mujiyati berlokasi di Padukuhan Kerjo 2, Desa Genjahan. Untuk menuju ke lokasi rumah tersebut harus melalui sebuah gang sejauh 50 meter masuk ke arah timur dari Jalan Pontjodirdjo. Pada ujung gang tersebut terdapat rumah Sri Mujiyati yang menghadap ke arah selatan. Berdasarkan penjelasan Ibu Sri Mujiyati, rumah miliknya tidak mengalami banyak perubahan sejak dahulu. Beliau dan almarhum suaminya semasa hidup tetap menjaga, merawat, dan mempertahankan keaslian rumahnya. Oleh sebab itu, karena nilai penting sejarah dan keunikan yang dimiliki, maka pada tahun 2017 Pemerintah memberikan penghargaan kepada Bapak Imam Supardi almarhum atau suami Sri Mujiyati sebagai Pelestari Rumah Tradisional.
Berdasarkan hasil kunjungan di lapangan maka Bangunan yang terdapat di Rumah Sri Mujiyanti terdiri atas lintring, omah mburi, gandhok kiwo, dapur, dan kamar mandi. Sebuah sumur tua berada di luar bangunan rumah di sisi tenggara. Deskrispi atas bangunan tersebut sebagai berikut :
1. Bangunan Lintring
Bangunan lintring adalah bangunan yang baru dibangun pada tahun 1950. Semula bangunan ini berfungsi semacam bale-bale dengan bagian depan terbuka tanpa dinding. Namun kemudian bangunan ini diberi dinding penutup dengan lawang gebyok. Pada bagian dalam, lintring digunakan sebagai ruang belajar dan sebagian menjadi Mushola. Bangunan lintring beratap tipe limasan. Bangunan ini memiliki ukuran panjang 15,5 meter, lebar 5,6 meter dan tinggi 3,9 meter. Menurut penjelasan Ibu Sri Mujiyati, sebelum lintring dibangun tedapat joglo. Namun tidak diketahui dengan pasti keberadaan joglo tersebut saat ini. Lantai lintring menggunakan floor acian semen. Dinding lintring berupa lawang gebyok. Atap lintring berupa atap bertipe limasan. Jumlah saka guru penyangga atap limasan adalah 8 buah dengan ukuran panjang x lebar x tinggi = 10 x 11 x 243 Cm. Saka guru di dirikan di atas umpak dari batu putih berbentuk kubus.
2. Bangunan omah mburi
Omah mburi berada di utara lintring. Bangunan omah mburi berfungsi sebagai bangunan utama. Bangunan tersebut memiliki bentuk atap bertipe limasan. Bangunan limasan memiliki denah persegi panjang berukuran panjang 15 meter, lebar 10,6 meter dan tinggi 5,4 meter. Bangunan ditopang 8 buah tiang utama dari kayujati berukuran 17 x 17 cm, tinggi 293 cm.
Di dalam ruangan omah mburi memiliki tiga ruangan atau senthong yaitu sentong tengah, senthong kiwo (wetan), dan senthong tengen (kulon). Ruang tengah berfungsi sebagai ruang keluarga.
Pada bagian senthong sudah tidak difungsikan seperti sedia kala. Dua ruang di sebelah barat dan timur digunakan sebagai kamar tidur dan oleh pemilik dianggap sebagai senthong.. Senthong tengah digunakan untuk ruang penyimpanan dan gudang.
Lantai ruang tengah saat ini ditutup dengan keramik. Semula lantai ruang tengah adalah tanah yang ditutup oleh sesek. Pada tahun 2017.
3. Bangunan Gandhok Kiwo
Bangunan gandhok berada di sebelah timur lintring dan omah mburi. Gandok kiwo sisi depan memiliki dua atap limasan tetapi dibagiaan belakang berupa longkangan atau beratap terbuka. Gandhok difungsikan untuk dapur, kamar mandi, dan gudang. Sedangkan longkangan difungsikan sebagai ruang terbuka untuk jemuran.
4. Sumur Tua
Sumur tua ini berada di sebelah utara bangunan gandhok, atau di sisi tenggara bangunan rumah Sri Mujiyati. Sumur tua tersebut dibuat dengan pasangan batu yang disemen plester. Pada bagian bibir sumur sisi kiri dan kanan terdapat tiang untuk menyangga kayu yang digunakan untuk menambatkan kerekan atau roda tali timba. Sekarang, untuk mengambil air sumur sudah menggunakan pompa air. Jadi tali untuk menimba air sudah tidak ada. Sumur tua ini menurut Ibu Sri Mujiyati merupakan sumur pertama di daerah tersebut. Karena pada waktu Ibu Sri Mujiyati masih kecil, penduduk di sekitar rumahnya, biasa mengambil air dari sumur tersebut.


Status : Bangunan Cagar Budaya
Periodesasi : Tradisional Jawa
Alamat : Dusun Kerjo I, RT 05 RW 25, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.9744649546346° S, 110.71175017129° E

SK Walikota/Bupati : R0064/TACBGK/06/2019


Lokasi Rumah Tradisional Sri Mujiyati di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Gerilya Jendral Soedirman di Padukuhan Kerjo 1.Daerah Padukuhan Kerjo 1 merupakan salah satu wilayah di Desa Genjahan yang memiliki kaitan erat dengan sejarah perjuangan Jenderal Soedirman. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Jenderal Soedirman yang terdesak karena pendudukan Belanda di Yogyakarta, melakukan perjalanan Gerilya. Kejadian yang berlangsung pada tahun 1949 tersebut terjadi begitu singkat namun menentukan bagi arah kehidupan bangsa.Berdasarkan cerita sejarah yang diperoleh dari sejumlah narasumber di Padukuhan 1, maka dapat dihimpun sejumlah keterangan mengenai kedatangan Jenderal Soedirman di Padukuhan Kerjp 1. Berdasarkan keterangan Bapak Muliki (94 tahun), pada tanggal 8 Juli 1949 sekitar jam 15.00 di lapangan Ponjong datang rombongan parjurit dari arah timur (dari wilayah Eromoko - Wonogiri). Pada rombongan prajurit yang berjalan kaki tersebut, rupanya terdapat Jenderal Soedirman yang ditandu dengan peralatan seadanya. Ketika itu rombongan prajurit beserta Jenderal Soedirman berhenti di barat lapangan Ponjong. Sejumlah prajurit mencari penduduk yang bersedia memanggul tandu Jenderal Soedirman. Bapak Muliki yang kebetulan berada tidak jauh dari lokasi tersebut dipanggil untuk ikut memanggul tandu. Menurut Bapak Mailiki, beliau memanggul tandu hingga pertigaan pasar. Karena hari sudah sore, rombongan tersebut kemudian berhenti di Padukuhan Kerjo 1. Peristiwa yang terjadi di Padukuhan Kerjo 1, oleh masyarakat didirikan sebuah tetenger atau peringatan. Lokasi tersebut berada kurang lebih 50 meter dari Rumah Ibu Sri Mujiyati, atau ke arah timur melewati ladang. Tempat tersebut adalah milik warga yang bernama Bajuri – tetangga Ibu Sri Mujiyati.Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan narasumber yang lain yang bernama Joko Junaidi (47 tahun – putera dari Bajuri), di rumah Bajuri tersebut Jenderal Soedirman beserta pasukannya beristirahat. Pada saat beristirahat, Jenderal Soedirman mendapatkan jamuan minum dengan menggunakan (pinjam) perabot milik keluarga Harjosuwito (orangtua dari Sri Mujiyati). Sebenarnya terdapat dualisme cerita mengenai jamuan minum tersebut. Cerita pertama berasal dari pihakkeluarga Bajuri. Bapak Joko Junaidi menceritakan bahwa ketika itu Jenderal Soedirman di jamu di rumah Bajuri dengan alat dan perabot meja kursi pinjaman dari keluarga Harjosuwito. Cerita kedua berasal dari pihak keluarga Harjosuwito. Ibu Sri Mujiyatipun meyakini bahwa ketika itu Jenderal Soedirman singgah di rumahnya pada malam hari. Pada waktu itu Harjosuwito dan istrinya sendiri yang menjamu minum untuk Jenderal Soedirman dirumahnya. Berdasarkan buku “Mengikuti Jejak Jenderal Pahlawan Pembela Kemerdekaan 1916-1950” disebutkan bahwa pada waktu Jenderal Soedirman kembali dari madiun menuju Yogyakarta tahun 1949, beliau dan pasukannya singgah sebentar di Ponjong. Lokasi tempat berhenti Jenderal Soedirman dan pasukannya di Kecamatan Ponjong adalah benar di Padukuhan Kerjo 1. Namun setelah singgah di Padukuhan Kerjo 1, Jenderal Soedirman kemudian melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta melalui Karangmojo dan Gading. Demikian riwayat perjalanan Jenderal Soedirman ketika berada di Padukuhan Kerjo 1, berdasarkan berbagai sumber sejarah.B. Sejarah Rumah Tradisional Sri Mujiyati.Berdasarkan penjelasan Sri Mujiyati, rumah yang dimilikinya semula merupakan rumah warisan keluarga yang didapatkan secara turun temurun. Ringkasannya adalah sebagai berikut : Kartorejo  Harjosuwito  Sri Mujiyati.Kartorejo memiliki anak hanya 1 orang yaitu Harjosuwito. Pada masa lalu. Keluarga Kartorejo memiliki usaha perdagangan. Usaha tersebut adalah berjualan sembako. Usahanya cukup sukses dan Kartorejo menjadi pengusaha yang kaya di Ponjong. Bakat berdagang rupanya juga turun ke Harjosuwito anak laki-laki satu satunya. Harjosuwito adalah pengusaha perabot dari kuningan dan kemasan yang sukses ketika itu. Menurut Ibu Sri Mujiyati, setiap pergi berdagang ke pasar, Harjosuwito selalu menggunakan Kuda.Harjosuwito kemudian menikah dengan Harjosuwito Putri (tidak diketahui nama aslinya). Istri Harjosuwito memiliki 2 saudara yaitu Kertopartiko dan Sastro, keduanya laki-laki. Karena Harjoswuwito putri tidak melahirkan anak atau istilah Jawanya gabug, maka pasangan Harjosuwito mengangkat anak Kertopartiko atau mupu anak. Anak tersebut perempuan bernama Katijah. Katijah tinggal di rumah Harjosuwito sejak dari kecil. Ketika dewasa Katijah menikah dengan Kismo Sudarmo (Karsiyo). Pernikahan Katijah dengan Kismo Sudarmo menurunkan 13 orang anak. Namun ketika anak pertama lahir pada tahun 1946, Katijah dan suami didewekke atau dipisah ke rumah yang lain. Sementara anak pertama yang baru lahir tersebut tetap tinggal dan diangkat sebagai anak oleh keluarga Harjosuwito. Anak tersebut bernama Sri Mujiyati. Ibu Sri Mujiyati kemudian menikah dengan Imam Supardi. Tanah dan pekarangan dari Kartorejo turun waris ke Sri Mujiyati dan Imam Supardi.
Nilai Sejarah : Rumah Sri Mujiyati memiliki nilai sejarah yang penting karena telah dilalui oleh Jenderal Soedirman dan prajuritnya, pada masa perang mempertahankan kemerdekaan RI tahun 1949
Nilai Ilmu Pengetahuan : Dalam membangun rumah orang Jawa selalu menggunakan perhitungan tertentu, karena bagi mereka perhitingan tersebut akan menetukan kelangsungan hidup rumah yang didirikan. Rumah Sri Mujiyati berbagai ilmu yang penting untuk digali, diantaranya ilmu arsitektur, ilmu filsafat, ilmu seni dan arsitektur, dan ilmu sosial.
Nilai Pendidikan : - Rumah tradisional daerah Sri Mujiyati mengendung pengetahuan tentang bentuk-bentuk rumah tradisional Jawa serta konsep pengetahuan tentang budaya masyarakatnya yang memperlihatkan interaksi, filosofi, karya kreatif, bahan/material bangunan yang tersedia pada masa itu, serta tingkatan sosial dari pemilik bangunan.
Nilai Budaya : - Bangunan rumah Tradisonal Sri Mujiyati memperlihatkan sistem budaya pada masa lalu yang mengandung interaksi antar anggota keluarga dan sosial masyarakat. Bangunan rumah tersebut mengandung nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan tinggi yang pernah dimiliki oleh leluhur keluarga yang ditanamkan secara turun menurun
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Sri Mujiyati
Pengelolaan
Nama Pengelola : Sri Mujiyati