| Peristiwa Sejarah |
: |
A. Batu Kenong di IndonesiaPeninggalan Megalitik merupakan peninggalan buidaya masa lalu yang ditandai dengan pembuatan batu besar. Tradisi pembuatan batu besar tersebut seringkali dikaitkan dengan kegiatan upacara atau penguburan. Tradisi ini dibangun oleh pemimpin adat ataupun penguasa sebuah daerah untuk menjaga harkat dan martabat mereka. Pendukung tradisi Megalitik percaya bahwa arwah leluhur mereka masih akan terus hidup di dunia arwah. Mereka juga percaya bahwa kahidupan yang sedang berlangsung sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang. Dengan perlakuan yang baik terhadap arwah leluhur akan menimbulkan ketentraman dan keselamatan bagi yang masih hidup di dunia. Di wilayah Gunungkidul banyak diketemukan benda-benda peninggalann masa Megalitik. Benda megalitik di Gunungkidul merupakan dead monument atau monumen yang sudah mati, karena sudah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya begitu lama. Benda-benda tersebut tersebar di daerah Ponjong, Semanu, Karangmojo, Playen, Paliyan dan Saptosari. Benda-benda seperti Menhir, Kubur Peti Batu, sangat banyak diketemukan di daerah tersebut. Arkeolog seperti JL Moens dan Van Der Hoop pada tahun 1935 sangat intens dalam melakukan penelitian Batu-Batu Megalitik di wilayah Karangmojo. Penelitian tersebut dilanjutkan pada masa pasca kemerdekaan oleh Haris Sukendar pada tahun 1968.Temuan yang sangat langka dan mungkin hanya satu-satunya di wilayah Gunungkidul (Bahkan DIY) adalah temuan “Batu Kenong†di situs Bleberan. 3 buah Batu Kenong yang diketemukan dari sebelah utara Makam Desa Plembutan – sebelah timur desa Bleberan, menjadi temuan batu kenong pertama hingga saat ini. Dugaan sementara untuk Batu Kenong tersebut adalah sebagai bagian dari sarana pemujaan terhadap Nenek Moyang atau sebagai rangkain dari tradisi Megalitik di daerah Bleberan. Temuan Batu Kenong yang lain di Indonesia terdapat di daerah Pakuniran, Maesan – Bondowoso, Jawa Timur. Dari hasil penelitian etnoarkeologi yang pernah dilakukan terbukti bahwa Batu Kenong di Bondowoso digunakan sebagai umpak dari sebuah bangunan untuk hunian. Dilihat secara fisik, terdapat perbedaan antara temuan Batu Kenong dari Bondowoso dan Batu Kenong dari Bleberan. Ukuran Batu Kenong Bondowoso lebih ramping dan tinggi, sementara temuan di Bleberan khususnya Batu Kenong D77i cenderung gemuk dan tambun. Sementara Batu kenong D77h dan D77j cenderung lebih pendek dari D77i. Hingga saat ini belum pernah diadakan penelitian yang mendalam mengenai temuan 3 buah batu kenong di Gunungkidul. Sejauh ini, baru dijelaskan bahwa temuan batu kenong Gunungkiudul memiliki rangkaian dengan temuan batu-batu megalitik lain di wilayah Bleberan.B. Sejarah Penemuan Batu Kenong di BleberanCatatan penemuan benda-benda Megalitik di Gunungkidul banyak ditulis oleh Penguasa Belanda dan di masukkan ke dalam Rapporten Ondheidkundigen Dients (ROD). Keterangan penting yang tercantum dalam ROD tahun 1915 masih digunakan sebagai acuan dalam penanganan dan penyelamatan Benda Cagar Budaya di Gunungkidul. Pada tahun 1984 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang BPCB) Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan kegiatan penyuluhan kepurbakalaan di daerah Gunungkidul. Dari kegiatan yang berlangsung pada tahun tersebut Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala menindaklanjuti dengan kegiatan pengamanan pada tahun 1998, bersamaan dengan pembebasan sebuah lahan di Dusun Bleberan manjadi tempat penampungan benda-benda Cagar Budaya. Pada tahun 1998 diadakan 2 kali kegiatan pengamanan benda benda cagar budaya yang diketemukan dari daerah Playen. Hasil temuan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Penampungan Bleberan. Pada saat itu 3 buah Batu Kenong yang diketemukan dari sebelah utara Makam Desa Plembutan, diamankan ke dalam Penampungan Bleberan. 3 batu kenong diberi nomer inventaris sementara : D 89 z7 (menjadi D77h, D 89 z8 (menjadi D77i), dan D 89 z9 (menjadi D77j). Pada tahun 2002 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala untuk pertamakalinya melakukan kegiatan pendataan ulang temuan cagar budaya di Penampungan Bleberan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai kelanjutan dari hasil pengamanan benda-benda cagar budaya yang dilakukan pada tahun 1998. Batu Kenong D 89 z7, D 89 z8, dan D 89 z9 di data ulang dan mendapatkan nomor inventaris D 77h, D 77i, dan D 77j. |