Loading

Deskripsi Singkat

Pasar Bedoyo atau yang biasa dikenal sebagai Pasar Pahing, berada di sudut Perempatan Bedoyo. Perempatan tersebut merupakan pertemuan Jalan Raya Semanu – Praci yang mengarah ke timur barat dengan Jalan ke Tambakromo yang mengarah ke utara. Satu jalan lagi yang mengarah ke selatan merupakan jalan dari Ponjong menuju Rongkop. Pasar Bedoyo berada di utara jalan menghadap ke arah selatan. Karena berada di sudut perempatan, pada sisi barat Pasar Bedoyo merupakan jalan besar ke arah Tambakromo. Sebagai pasar tradisional, Pasar Bedoyo merupakan urat nadi ekonomi masyarakat Ponjong bagian tenggara. Pada pasaran pahing (sebutan salah satu hari Pasaran Jawa), selalu ramai dikunjungi masyarakat. Seperti yang umum terjadi pada pasar tradisional, transaksi dagang yang utama di Pasar Bedoyo adalah penjualan hasil pertanian penduduk yang dibeli oleh pengepul hasil pertanian. Demikian yang terjadi di Pasar Ponjong setiap hari pasaran pahing. Selain hari pasaran pahing, pasar dalam keadaan sepi atau tutup.
Bangunan yang terdapat di Pasar Bedoyo terdiri atas bangunan depan berbentuk deretan toko dan bangunan belakang yang terdiri atas enam buah los pasar. Bangunan depan Pasar Bedoyo merupakan bangunan baru yang dibangun oleh Dinas Pasar pada tahun 2018. Bangunan tersebut terdiri atas dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk toko-toko, lantai atas digunakan untuk kantor petugas pasar. Sebuah pintu berada di tengah bangunan depan tersebut, berfungsi sebagai pintu masuk pasar.
Sementara itu, sembilan buah los pasar yang terdapat di Pasar Bedoyo merupakan bangunan yang bersifat semi terbuka. Bangunan tersebut berupa bangunan beratap bertipe kampung dengan penutup dari bahan genteng dan asbes, namun tanpa penyekat ruangan. Denah bangunan los pasar berjajar dari depan ke belakang, berderet sejumlah enam dari selatan ke utara. Dua los yang lain berada di sisi timur, sementara satu los berada di sisi paling utara sebagai los pasar hewan.
Dari kesembilan los Pasar Bedoyo, terdapat 2 buah los yang terbuat dari besi. Dua los pasar yang terbuat dari besi berada di deretan paling selatan. Dua los pasar besi yang disebut sebagai Los B1 dan B2 ini merupakan Pasar Kolonial yang dibangun oleh Pemerintah Belanda sebelum masa kemerdekaan. Masing-masing los memiliki denah batur dan atap yang sama. Ukuran denah batur 12,25 m x 3 m, sementara ukuran denah atap 14,25 m x 5 m. Lantai Los Pasar Bedoyo berupa batur yang ditinggikan 10 cm di atas tanah. Permukaan batur Los Pasar Bedoyo ditutup dengan pelur. Bagian permukaan jalan penghubung antar los ditutup dengan pasangan paving semen atau konblok berbentuk segi enam.
Struktur pada masing masing los Pasar Bedoyo menggunakan tiang tunggal ditengah-tengah batur yang berjajar sejumlah lima dengan jarak antar umpak adalah 4,02 m. Struktur tiang dan kuda-kuda merupakan satu kesatuan. Struktur semacam ini dalam ilmu arsitektur disebut dengan struktur modular. Struktur ini merupakan pabrikan yang masing-masing komponen memiliki bentuk ukuran yang sama sehingga bisa dibongkar pasang dengan sistem mur baut dan pelat baja sebagai panel pengikat (pengunci). Diantara kedua tiang penyangga terdapat komponen besi strip yang berfungsi sebagai pengikat berbentuk zig-zag.
Struktur atap berupa kuda-kuda yang menyatu dengan tiang besi rangkap berjajar lima baris (lihat lampiran gambar). Kelima kuda-kuda tersebut diikat dengan nok dan blandar. Nok dan blandar berfungsi untuk menumpu komponen usuk dan reng. Sistem ikatan dari masing-masing komponen tersebut menggunakan mur baut dan pelat baja. Material kerangka struktur bangunan semua menggunakan material besi profil “C”, siku “L”, dan “H” atau “I”. Seluruh permukaan konstruksi baja ditutup dengan cat warna cokelat. Pada beberapa bagian besi baja terdapat tulisan GUTEHOFFNUNGSHUTTE NO.8.
Bagian penutup atap menggunakan genteng press merk “Super Sokka”. Kemungkinan genteng tersebut merupakan penggantian baru. Berdasarkan keterangan narasumber, genteng lama menggunakan genteng keripik. Bubungan yang terdapat molo ditutup dengan wuwung seng. Pada bagian tepi atap ditutup dengan seng gelombang atau tutup keong. Penambahan usuk dan reng kayu dilakukan untuk menyesuaikan dengan penggantian genteng press yang memiliki ukuran dan berat yang melebihi dari genteng keripik. Reng asli yang terbuat dari bahan baja diduga sudah dilepas, dan diganti dengan reng kayu dengan ukuran 2/3. Bukti adanya reng yang dilepas tersebut ditunjukkan dengan lubang-lubang baut dalam komposisi yang teratur di sepanjang usuk baja.
Konstruksi bangunan los Pasar Bedoyo ini, memiliki kesamaan dengan pasar tradisional seperti yang ada di Kabupaten Sleman, Bantul dan Kulon Progo. Sebagai perusahaan pensuplai material baja pada waktu itu adalah NV. BRAAT dari Surabaya. Panel NV Braat yang diketemukan di Pasar Kenteng Kulon Progo dan Pasar Stom Sleman, tidak diketemukan di Pasar Bedoyo.

Status : Bangunan Cagar Budaya
Alamat : Jl. Semanu – Pracimantoro Km. 14, RT 01 RW VI Dusun Bedoyo Kidul, Bedoyo, Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
8.0189920273801° S, 110.74228336962° E

SK Walikota/Bupati : R0079/TACBGK/10/2019


Lokasi Los Pasar Bedoyo di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Pasar Kolonial di YogyakartaPasar (marketplace) merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Secara etimologi, istilah ini berakar dari bahasa Persia yakni Bazaar yang maknanya adalah pasar tertutup. Pasar telah dikenal sejak lama, seperti disebutkan dalam Prasasti Pagumulan (abad ke-5), maupun ditunjukan dalam sumber artefaktual lainnya seperti yang terdapat dalam salah satu relief di Candi Borobudur. Selanjutnya, pasar terus berkembang seiring dengan semakin pesatnya perdagangan terutama pada semenjak abad ke-16. Hanya saja pasar tidak lantas secara spesifik merujuk pada infrastruktur bangunan tertutup tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi. Kebanyakan pasar merupakan ruang terbuka atau open-air space dan bersifat sementara—dalam arti tanpa perlu bangunan permanen. Pasar dapat diselenggarakan di pinggir jalan, tengah kota atau kampung, di bawah pohon rindang, bahkan di sungai seperti yang banyak didapati di Kalimantan. Terkait dengan hal tersebut, Pasar Bedoyo Ponjong memiliki makna historis yang penting karena merupakan bangunan pasar permanen yang didirikan sejak masa kolonial.Secara historis pasar sebagai infrastruktur permanen terutama yang berada di Yogyakarta berkaitan dengan dua hal. Pertama, secara umum, keberadaan pasar yang dibangun di pusat kerajaan merupakan wujud dari konsep catur tunggal kota kerajaan. Berdasar konsep ini, pasar merupakan salah satu pilar—berserta masjid, alun-alun dan penjara—yang melengkapi keberadaan keraton. Oleh sebab itu, keberadaan pasar tradisional dengan bentuk bangunan permanen yang saat itu dikenal sebagai Pasar Gede (Kota Gede) telah hadir sebagai elemen penting dalam pembangunan keraton Mataram Islam. Pasca Giyanti, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta melanjutkan konsep ini dan dengan demikian keduanya sama-sama membangun pasar di sekitar istana sebagai perwujudan konsep catur tunggal, yakni pasar Beringharjo di Yogyakarta; dan Pasar Gedhe di Solo. Selain menjadi penanda simbolis-filosofis sebuah kota kerajaan, pasar di Yogyakarta juga bersifat fungsional sebagai pusat aktifitas ekonomi. Kedua, pasar adalah bagian penting untuk mempromosikan “komersialisme” dan “modernitas” pada masa kolonial. Dalam hal ini, pemerintah kolonial bukan hanya membangun lebih banyak pasar hingga menjangkau wilayah-wilayah di luar pusat kota, namun juga mendandani bangunan pasar secara arsitektural sehingga sesuai ide mengenai kemoderenan. Oleh karenanya, pasar didesain sedemikian rupa untuk memenuhi standar bangunan sebagaimana yang diinginkan pemerintah kolonial, dan secara keruangan berbeda dari konsep pasar tradisional yang telah ada lebih dahulu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 15 Juli 1873 No.37, pasar harus memiliki Loods (bangsal, yang diadopsi menjadi Los dalam Bahasa Indonesia). Pasar-pasar dari masa kolonial, terutama yang dibangun pada awal abad ke-20, memiliki bentuk yang relatif seragam yakni berupa bangunan terbuka dengan atap yang ditopang oleh kerangka besi. Adapun material berupa besi digunakan untuk menggantikan struktur kayu yang lumrah dipakai dalam arsitektur tradisional. Kebutuhan material besi diproduksi oleh perusahaan besar seperti NV. Braat Surabaya, dan Gutehoffnungshütte (GHH) Munchen Jerman, adapun untuk pembangunan turut dikerjakan oleh sejumlah perusahaan konstruksi seperti N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta (CAV).Material besi pada bangunan pasar kolonial digunakan untuk memperkuat kesan modern. Penggunaan loods atau los juga ditujukan untuk menciptakan luang yang lebih luas, tidak tersekat-sekat, sehingga dapat menampung lebih banyak orang maupun barang, sekaligus memfasilitasi interaksi yang lebih longgar. Penggunaan loods atau los juga diarahkan untuk menggantikan bango (warung kecil) yang cenderung mengokupasi banyak ruang namun untuk peruntukan yang terbatas karena hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.B. Sejarah Pasar Bedoyo PonjongPasar Bedoyo Ponjong merupakan salah satu pasar tradisional yang ramai di wilayah Kecamatan Ponjong. Pasar ini berada di Padukuhan Bedoyo Kidul, Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong. Pasar yang berada di dekat perbatasan dengan Kabupaten Wonogiri ini memiliki luas keseluruhan 850 meter persegi. Pasar yang menjadi bagian dari Kemantren Pasar Ponjong ini ramai setiap hari pasaran Pahing. Mahendra selaku Lurah Pasar mengatakan, ada 70 pedagang berjualan setiap hari pasaran. Pasar Bedoyo menjual berbagai komoditas baik lokal dari Gunungkidul maupun dari luar Gunungkidul. Palawija merupakan komoditi yang paling banyak diperjualbelikan di Pasar Bedoyo. Dilihat dari asalnya, sebagian besar komoditas yang diperjualbelikan berasal dari luar Kecamatan Ponjong. Setiap hari pasaran, para pedagang menempati kios pasar, los pasar, dan plataran pasar. Pedagang yang aktif beroperasi setiap pasaran berasal dari sekitar Ponjong. Tetapi ada juga pedagang dari luar Gunungkidul, antara lain Wonogiri.Berdasarkan kesaksian narasumber yang bernama Atmoredi (91 tahun), Pasar Bedoyo sudah ada sejak sebelum masa kemerdekaan. Pada waktu sebelum Indonesia merdeka, Pasar Bedoyo memiliki 2 pintu masuk, utara dan barat. Kondisi pasar hanya terdiri atas dua buah los dari besi, dengan sekililing pasar diberi pagar kawat berduri. Pada kedua pintu masuk terdapat loket di masing-masing pintu yang digunakan sebagai tempat petugas pasar yang menarik pajak pasar. Berdasarkan kesaksian Bapak Atmoredi lagi, kawat tersebut pernah dicuri oleh pencuri. Namun kejadian pencurian tersebut diketahui warga, dan pencuri dimassa. Tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya pencurian tersebut, namun Bapak Atmoredi mengatakan bahwa kejadian tersebut terjadi pada masa kemerdekaan. Berdasarkan kesaksian dari pedagang setempat, Pasar Bedoyo juga pernah mengalami rehabilitasi pada tahun 1970. Pada bagian umpak pernah ditinggikan, tapi kemudian aspal di jalan sebelah barat ditinggikan. Lalu pada bagian pasar diadakan penambahan paving atau konblok. Pada tahun 1997 Dinas Pasar mengadakan rehabilitasi pada bagian lantai. Kemudian pada tahun 2012 pernah diadakan rehabilitasi lagi pada bagian atap. Pergantian tersebut berupa penggantian usuk, reng, dan genteng. Pada tahun yang sama bagian wuwung diganti dengan wuwung seng dan diberi penanda angka tahun 2012.Berdasarkan kajian atas bentuk dan analisa terhadap pasar peninggalan zaman Kolonial seperti Pasar Kentheng di wilayah Kecamatan Nangulan Kabupaten Kulonprogo, terdapat kesamaan bentuk, bahan, dan konstruksi dengan Pasar Bedoyo. Kelebihan yang terdapat pada Pasar Kentheng adalah adanya plakat NV Braat dan plakat N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta. Pada Pasar Bedoyo, kedua plakat tersebut tidak diketahui keberadaannya. Meskipun demikian, dilihat dari bentuk dan proporsi bangunan, dimungkinkan bahwa kedua pasar memiliki usia yang kurang lebih sama. Dari beberapa sumber sejarah seperti plakat yang ditemukan di pasar, pembangunan pasar ini dibangun oleh N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta (CAV). Perusahaan ini didirikan pada tanggal sementara material pasar disediakan oleh N.V Braat perusahaan baja yang didirikan pada tahun 1901 dan berpusat di Surabaya (kini menjadi PT Barata). Sejarah Pasar Tradisional di Yogyakarta pada periode tahun 1920-1930 Pemerintah Kolonial banyak melakukan restorasi pasar dengan konstruksi baja yang dibuat oleh perusahaan NV Braat. Berdasarkan fakta sejarah dan data artefaktual, membuktikan bahwa los Pasar Bedoyo Ponjong merupakan bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang perlu dilestarikan keberadaannya.
Nilai Sejarah : Menjadi bukti historis perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Gunungkidul. Pasar pada masa kolonial digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya pasar, pemerintah bisa mengetahui ada tidaknya krisis yang terjadi di masyarakat.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Bangunan pasar sebagai obyek kajian untuk ilmu arsitektur, teknik sipil, dan arkeologi, sementara aktivitas pasar pada waktu itu menjadi obyek kajian untuk ilmu-ilmu sosial.
Nilai Pendidikan : Dari segi pendidikan, menjadi obyek pembelajaran tentang kehidupan sosial, ekonomi masyarakat pada waktu itu.
Nilai Budaya : Dari segi kebudayaan, bangunan pasar menjadi bukti hasil budaya material masa lampau.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid
Pengelolaan
Nama Pengelola : Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid