Pasar Munggi merupakan pasar pemerintah paling luas di Gunungkidul, yaitu menempati lahan 12.075 m². Secara historis Pasar ini memiliki riwayat sebagai pusat perputaran ekonomi masyarakat Semanu dan sekitarnya yang berlangsung sejak masa pra kemerdekaan. Keberadaan Pasar Munggi Semanu sebagai pasar gedhe (besar) pada masa lalu, menjangkau masyarakat hingga lintas kecamatan seperti Rongkop, Tepus, Ponjong, Karangmojo, bahkan Wonosari. Maka tidak heran jika Pasar Munggi memiliki ukuran lahan yang begitu luas untuk menampung ribuan orang yang beraktivitas didalamnya.
Pasar Munggi Semanu terletak di tepi Jalan Raya Semanu-Candirejo. Pasar tersebut saat ini memiliki arah hadap ke timur (sebelum tahun 2018 menghadap ke barat). Arah hadap pasar ditandai dengan sebuah pintu masuk pada bangunan 2 lantai, hasil rehabilitasi Dinas Pasar pada tahun 2018. Pasar Munggi memiliki bentuk denah persegi yang dikelilingi oleh jalan beraspal. Pada sepanjang sisi luar denah persegi tersebut terdapat deretan toko tempat pedagang berjualan. Pada bagian dalam, terdapat banyak los pasar untuk berjualan. Berdasarkan catatan Dinas Perindustrian tahun 2017, tedapat 39 los pasar yang terdapat di Pasar Munggi. Seperti halnya pasar tradisional yang lain, Pasar Munggi juga memiliki hari pasaran. Hari Pasaran tersebut adalah Kliwon. Pada hari-hari biasa sebenarnya Pasar Munggi juga tetap buka, namun demikian keadaan paling ramai hanya terjadi pada hari pasaran kliwon. Menurut catatan dari Dinas Pengelola Pasar Gunungkidul, pada saat hari Pasaran Kliwon terdapat 609 pedagang resmi yang menempati pasar (catatan tahun 2017).
Dari ke-69 los Pasar Munggi yang ada saat ini, masih terdapat 6 buah los besi peninggalan Kolonial Belanda yang masih berdiri hingga saat ini. Los dari besi tersebut masih tetap digunakan untuk berjualan para pedagang. Berdasarkan pengamatan TACB dan berdasarkan catatan Dinas Pengelolaan Pasar, 6 buah los pasar tersebut disebut sebagai : Los B1 atau Los No. (8), B2 (7), B3 (18), B4 (17), B5 (16), dan B6 (15) (Lihat gambar). Berdasarkan pengamatan di lokasi, Los B1 sekarang masih digunakan pedagang yang berjualan makanan dan kelapa. Los B2 digunakan sebagai gudang dengan kondisi agak terbengkalai. Los B3, B4, dan B5 sebagian besar digunakan untuk berdagang pisang. Dan yang terakhir adalah Los B6 yang digunakan untuk menjual berbagai komoditas seperti kelapa dan sembako.
Berdasarkan bentuk denahnya, seluruh los besi pasar Munggi memiliki denah persegi panjang dan berpasangan. Misalnya Los B1 berjajar dengan B2, keduanya disebut berpasangan karena pada bagian emper dihubungkan dengan sebuah talang. Kondisi demikan juga terdapat pada pada los B3 dan B4, kemudian los B5 dan B6. Berdasarkan arah hadapnya, seluruh los besi juga memiliki orientasi yang sama, yaitu membujur ke arah timur – barat. Saat ini ke-6 los besi berada dalam keadaan tanpa cat atau polos.
Gambaran umum terhadap 6 buah los besi menunjukkan bahwa bangunan tersebut masih asli. Keasllian tersebut terlihat pada kelengkapan komponen bangunan yang belum diganti. Komponen asli yang bisa dilihat diantaranya adalah tiang besi, usuk besi, reng besi, genteng keripik, dan tutup keong yang terbuat dari lembaran besi bergelombang yang diduga asli. Karena berusia lebih dari 50 tahun, keadaan seluruh komponen yang terbuat dari besi tersebut terlihat berkarat.
Seluruh los besi Pasar Munggi memiliki batur atau bagian permukaan lantai yang ditinggikan. Batur berfungsi sebagai tempat pedagang meletakkan barang dagangan. Masing masing Los Besi memiliki tiang penyangga sebanyak 4 buah (pendek), dengan jarak antar tiang adalah 403 cm. Masing masing tiang diperkuat dengan sebuah umpak berbentuk trapesium yang ditinggikan 107 cm dari permukaan batur. Los B1 sampai B6 merupakan bangunan terbuka dengan struktur besi yang terdiri dari tiang penyangga dan kuda-kuda sebagai penyangga atap. Struktur tersebut menyatu dengan tiang besi rangkap berjajar 4 baris (lihat lampiran gambar). Struktur tiang dan kuda-kuda tersebut merupakan satu kesatuan. Struktur semacam ini dalam ilmu arsitektur disebut dengan struktur modular. Struktur ini merupakan pabrikan yang masing-masing komponen memiliki bentuk ukuran yang sama sehingga bisa dibongkar pasang dengan sistem mur baut dan pelat baja sebagai panel pengikat (pengunci). Sistem ikatan dari masing-masing komponen tersebut menggunakan mur baut dan pelat baja. Material kerangka struktur bangunan semua menggunakan material besi profil “Câ€, siku “Lâ€, dan “H†atau “Iâ€. Seluruh permukaan konstruksi baja ditutup dengan cat warna hijau. Pada bagian besi baja dengan profil “C†terdapat tulisan sebagai penanda ukuran : “No8 RSW†dan “No10 RSWâ€.
Seluruh permukaan lorong pasar ditutup dengan konblok. Sementara seluruh permukaan batur ditutup dengan tegel berukuran 20 x 20 cm. Sementara pada bagian atap masih menggunakan genteng asli berjenis keripik. Pada bagian bubungan atau wuwung ditutup dengan semen krepus.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Komponen Pelengkap | : |
|
Peristiwa Sejarah | : | A. Sejarah Kolonial di GunungkidulPasar (marketplace) merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Secara etimologi, istilah ini berakar dari bahasa Persia yakni Bazaar yang maknanya adalah pasar tertutup. Pasar telah dikenal sejak lama, seperti disebutkan dalam Prasasti Pagumulan (abad ke-5), maupun ditunjukan dalam sumber artefaktual lainnya seperti yang terdapat dalam salah satu relief di Candi Borobudur. Selanjutnya, pasar terus berkembang seiring dengan semakin pesatnya perdagangan terutama pada semenjak abad ke-16. Hanya saja pasar tidak lantas secara spesifik merujuk pada infrastruktur bangunan tertutup tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi. Kebanyakan pasar merupakan ruang terbuka atau open-air space dan bersifat sementara—dalam arti tanpa perlu bangunan permanen. Pasar dapat diselenggarakan di pinggir jalan, tengah kota atau kampung, di bawah pohon rindang, bahkan di sungai seperti yang banyak didapati di Kalimantan. Terkait dengan hal tersebut, Pasar Munggi Semanu memiliki makna historis yang penting karena merupakan bangunan pasar permanen yang didirikan sejak masa kolonial.Secara historis pasar sebagai infrastruktur permanen terutama yang berada di Yogyakarta berkaitan dengan dua hal. Pertama, secara umum, keberadaan pasar yang dibangun di pusat kerajaan merupakan wujud dari konsep catur tunggal kota kerajaan. Berdasar konsep ini, pasar merupakan salah satu pilar—beserta masjid, alun-alun dan penjara—yang melengkapi keberadaan keraton. Oleh sebab itu, keberadaan pasar tradisional dengan bentuk bangunan permanen yang saat itu dikenal sebagai Pasar Gede (Kota Gede) telah hadir sebagai elemen penting dalam pembangunan keraton Mataram Islam. Pasca Giyanti, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta melanjutkan konsep ini dan dengan demikian keduanya sama-sama membangun pasar di sekitar istana sebagai perwujudan konsep catur tunggal, yakni pasar Beringharjo di Yogyakarta; dan Pasar Gedhe di Solo. Selain menjadi penanda simbolis-filosofis sebuah kota kerajaan, pasar di Yogyakarta juga bersifat fungsional sebagai pusat aktifitas ekonomi. Kedua, pasar adalah bagian penting untuk mempromosikan “komersialisme†dan “modernitas†pada masa kolonial. Dalam hal ini, pemerintah kolonial bukan hanya membangun lebih banyak pasar hingga menjangkau wilayah-wilayah di luar pusat kota, namun juga mendandani bangunan pasar secara arsitektural sehingga sesuai ide mengenai kemoderenan. Oleh karenannya, pasar didesain sedemikian rupa untuk memenuhi standar bangunan sebagaimana yang diinginkan pemerintah kolonial, dan secara keruangan berbeda dari konsep pasar tradisional yang telah ada lebih dahulu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 15 Juli 1873 No.37, pasar harus memiliki Loods (bangsal, yang diadopsi menjadi Los dalam Bahasa Indonesia). Pasar-pasar dari masa kolonial, terutama yang dibangun pada awal abad ke-20, memiliki bentuk yang relatif seragam yakni berupa bangunan terbuka dengan atap yang ditopang oleh kerangka besi. Adapun material berupa besi digunakan untuk menggantikan struktur kayu yang lumrah dipakai dalam arsitektur tradisional. Kebutuhan material besi diproduksi oleh perusahaan besar seperti NV. Braat Surabaya, dan Gutehoffnungshütte (GHH) Munchen Jerman, adapun untuk pembangunan turut dikerjakan oleh sejumlah perusahaan konstruksi seperti N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta (CAV).Material besi pada bangunan pasar kolonial digunakan untuk memperkuat kesan modern. Penggunaan loods atau los juga ditujukan untuk menciptakan luang yang lebih luas, tidak tersekat-sekat, sehingga dapat menampung lebih banyak orang maupun barang, sekaligus memfasilitasi interaksi yang lebih longgar. Penggunaan loods atau los juga diarahkan untuk menggantikan bango (warung kecil) yang cenderung mengokupasi banyak ruang namun untuk peruntukan yang terbatas karena hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. B. Sejarah Pasar MunggiBerdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang bernama Wasiran (60 tahun – pedagang Bakso los B1), Pasar Munggi didirikan sejak masa sebelum kemerdekaan. Bapak Wasiran menceritakan, bahwa dahulu menurut cerita orang tuanya, Pasar Munggi dibangun bersamaan dengan pembangungan Jembatan Jirak. Jembatan Jirak yang lama merupakan bangunan Belanda yang dibangun sebelum masa kemerdekaan. Jembatan Jirak adalah jembatan besar yang berada kurang lebih 500 meter dari Pasar Munggi ke arah utara. Jembatan tersebut merupakan jembatan besar yang berada di jalan Raya Wonosari – Semanu. Di duga pembangunan Jembatan Jirak dan Pasar Wonosari merupakan sebagian usaha pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah Kolonial di wilayah Gunungkidul pada masa tersebut. Jembatan Jirak yang sekarang merupakan jembatan yang beberapa kali renovasi dan perluasan.Menurut keterangan Bapak Wasiran lebih lanjut, semula Pasar Munggi hanya terdiri dari los-los yang terbuat dari besi, sementara bagian sisi luar (sekeliling pasar) berdiri bangunan kios tidak permanen yang terbuat dari kayu. Bapak Wasiran tidak begitu ingat jumlah yang pasti dari los besi yang terdapat di Pasar Munggi. Yang beliau ingat, pada masa itu Pasar Munggi memiliki arah hadap ke barat. Kemudian pada tahun 2014 Dinas Pasar Gunungkidul melakukan rehabilitasi pasar dengan membangun kios tidak permanen tersbut menjadi bangunan toko dari semen. Pada tahun 2018 Pasar Munggi sisi timur mengalami revitalisasi lagi, yaitu pembangunan toko, bangunan kantor, dan pintu masuk. Pembangunan tesebut merubah arah hadap pasar menjadi ke timur.Wawancara dengan narasumber yang lain yaitu Miyati (43 tahun - Pedagang Sayur Los A 14), membuktikan bahwa sebenarnya Pasar Munggi memiliki los besi yang jumlahnya lebih dari enam buah. Ibu Miyati mengatakan bahwa rehabilitasi Pasar Munggi pada sisi timur tahun 2016, menghancurkan 4 buah los besi. Sebagai gantinya, los besi yang dihancurkan tersebut direhabilitasi menjadi los beton. Apabila dikaitkan dengan data dari Dinas Pasar tahun 2013, maka los-los besi direhabilitasi tersebut adalah los B7, B8, B9, dan B10. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa los besi Pasar Munggi sebelum rehabilitasi tahun 2018 jumlahnya adalah 10 buah. Berdasarkan informasi dari kedua narasumber di atas, dapat diketahui pula bahwa pada tahun 2018 telah terjadi rehabilitasi pasar pada sisi timur yang mengakibatkan perpindahan arah hadap pasar. Berdasarkan pengamatan di lokasi, rehabilitasi pada sisi timur merupakan pembangunan 2 lantai. Lantai pertama terdiri atas toko-toko dan pintu masuk pasar. Lantai kedua merupakan ruang kantor dan administrasi untuk petugas pasar. Dari seluruh informasi yang didapat selama kunjungan lapangan dan wawancara, TACB Gunungkidul tidak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan rehabilitasi 6 los besi Pasar Munggi. |
Nilai Sejarah | : | Menjadi bukti historis perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Gunungkidul. Pasar desa milik Pemerintah pada masa kolonial digunakan oleh penguasa kolonial sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya pasar, pemerintah bisa mengetahui ada tidaknya krisis yang terjadi di masyarakat. |
Nilai Agama | : | Bangunan pasar sebagai obyek kajian untuk ilmu arsitektur, teknik sipil, dan arkeologi, sementara aktivitas pasar pada waktu itu menjadi obyek kajian untuk ilmu-ilmu sosial. |
Nilai Pendidikan | : | Dari segi pendidikan, menjadi obyek pembelajaran tentang kehidupan sosial, ekonomi masyarakat pada waktu itu. |
Nilai Budaya | : | Dari segi kebudayaan, bangunan pasar menjadi bukti hasil budaya material masa lampau. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid |
Nama Pengelola | : | Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid |