Pasar Jimbaran merupakan pasar pemerintah yang berada paling timur di wilayah Gunungkidul. Lokasi pasar berbatasan dengan wilayah Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri. Tidak heran jika pasar ini dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah atau lintas kabupaten. Pasar Jimbaran memiliki keunikan karena pada masa lalu pernah mengalami perpindahan dari lokasi semula sejauh kurang lebih 100 meter dari lokasi sekarang. Letak Pasar Jimbaran saat ini masuk ke dalam wilayah Dusun Bulurejo, Kalurahan Tambakromo, Kapanewon Ponjong. Pasar Jimbaran menghadap ke arah utara, berada di tepi jalan Wonosari–Pracimantoro. Pasar ini terdiri atas pasar umum dan pasar hewan. Lokasi pasar hewan berada di sisi timur pasar umum.
Pasar Jimbaran merupakan pasar yang cukup besar untuk ukuran pasar pemerintah yang berada di desa. Adapun hari pasaran yang dimiliki oleh Pasar Jimbaran adalah wage. Selain hari pasaran tersebut, Pasar Jimbaran tutup. Menurut keterangan narasumber, setiap hari pasaran wage Pasar Jimbaran sangat ramai.
Bangunan yang digunakan untuk menampung semua pedagang di Pasar Jimbaran terdiri atas bangunan depan yang berbentuk toko (2 lantai) dan 17 buah los pasar. Bangunan depan ini merupakan bangunan baru, hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh Dinas Pasar Gunungkidul pada tahun 2018. Pada bangunan depan ini terdapat sejumlah toko pada lantai 1 dan bangunan kantor pada lantai 2. Bangunan kantor digunakan untuk petugas pasar dan kantor administrasi. Pada bagian tengah dari bangunan depan terdapat pintu sebagai akses masuk utama menuju pasar. Tujuh belas los Pasar Jimbaran sebagian besar menempati sisi bagian belakang bangunan depan pasar, atau sisi selatan. Sebanyak 13 los berjajar 3 baris menempati sisi selatan dari bangunan depan. Dari ke-tiga belas los tersebut terdapat 3 buah los pasar yang terbuat dari besi yang merupakan bangunan cikal bakal Pasar Jimbaran. Keempat los yang lain menempati sisi timur, selatan dan barat pasar.
Seluruh los Pasar Jimbaran berbentuk bangunan semi terbuka, yaitu bangunan dengan bentuk atap kampung namun tanpa sekat. Los Pasar Jimbaran umumnya memiliki penutup atap dari bahan asbes dan genteng. Pada masing masing los terdapat bagian yang ditinggikan atau disebut batur. Batur ini berguna untuk meletakkan dagangan dalam menjajakan dagangan pasarnya. Tiga buah los pasar besi yang terdapat di Pasar Jimbaran disebut dengan Los B1, B2, dan B3. Tiga los besi Pasar Jimbaran terletak pada barisan barat sisi selatan berderet dari utara ke selatan. Secara fisik, tiga los besi tersebut memiliki ciri yang berbeda karena bentuk konstruksi yang terbuat dari besi sementara los yang lain terbuat dari cor semen atau kayu.
Los B1, B2, dan B3 memiliki jumlah tiang penyangga yang sama yaitu lima buah. Tiang bagian bawah diperkuat dengan cor sebagai umpak yang berbentuk trapesium terpenggal setinggi 76 cm dari permukaan lantai batur. Batur ketiga los juga memiliki ketinggian yang sama, yaitu 27 cm. Berdasarkan pengamatan TACB Gunungkidul, los B1 dan B2 memiliki ukuran yang sama, sementara los B3 memiliki ukuran yang relatif lebih kecil (ramping). Untuk ukuran batur, Los B1, B2, dan B3 memiliki ukuran yang sama yaitu 3,35 m x 16,95 m. Untuk ukuran denah atap los B1 dan B2 adalah 4,95 m x 17,95 m, sementara denah atap Los B3 adalah 4,70 m x 18,57 m. Denah atap B3 memiliki ukuran yang lebih ramping karena terdapat pemotongan pada bagian reng sisi bawah untuk kedua sisi.
Atap los besi Pasar Jimbaran baik B1, B2, dan B3 memiliki bentuk dan bahan yang sama. Sebagai penutup atap digunakan genteng press merk sokka. Pada bagian wuwung ditutup dengen semen krepus. Struktur pada masing masing los Pasar Bedoyo menggunakan tiang tunggal di tengah-tengah batur yang berjajar sejumlah lima. Struktur tiang dan kuda-kuda tersebut merupakan satu kesatuan. Struktur semacam ini dalam ilmu arsitektur disebut dengan struktur modular. Struktur ini merupakan pabrikan yang masing-masing komponen memiliki bentuk ukuran yang sama sehingga bisa dibongkar pasang dengan sistem mur baut dan pelat baja sebagai panel pengikat (pengunci).
Kuda-kuda yang dibuat secara pabrikan diikat dengan nok dan blandar. Nok dan blandar berfungsi untuk menumpu komponen usuk dan reng. Sistem ikatan dari masing-masing komponen tersebut menggunakan mur baut dan pelat baja. Material kerangka struktur bangunan semua menggunakan material besi profil “Câ€, siku “Lâ€, dan “H†atau “Iâ€. Seluruh permukaan konstruksi baja ditutup dengan cat warna cokelat. (lihat foto dan gambar)
Bagian penutup atap menggunakan genteng press merk “Super Sokkaâ€. Kemungkinan genteng tersebut merupakan penggantian baru. Berdasarkan keterangan narasumber, genteng lama menggunakan genteng keripik. Pada bagian tepi atap ditutup dengan seng gelombang atau tutup keong. Namun pada Los B2, seng bergelombang tersebut hilang. Penambahan usuk dan reng kayu dilakukan untuk menyesuaikan dengan penggantian genteng press yang memiliki ukuran dan berat yang melebihi dari genteng keripik. Reng asli yang terbuat dari bahan baja diduga sudah dilepas, dan diganti dengan reng kayu dengan ukuran 2/3. Bukti adanya reng yang dilepas tersebut ditunjukkan dengan lubang-lubang baut dalam komposisi yang teratur di sepanjang usuk baja.
Konstruksi bangunan los Pasar Jimbaran ini, memiliki kesamaan dengan pasar tradisional seperti yang ada di Kabupaten Sleman, Bantul dan Kulon Progo. Sebagai perusahaan pensuplai material baja pada waktu itu adalah NV. BRAAT dari Surabaya. Panel NV Braat yang diketemukan di Pasar Kenteng Kulon Progo dan Pasar Stom Sleman, tidak diketemukan di Pasar Jimbaran.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Komponen Pelengkap | : |
|
Peristiwa Sejarah | : | A. Sejarah Pasar Kolonial di YogyakartaPasar (marketplace) merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Secara etimologi, istilah ini berakar dari bahasa Persia yakni Bazaar yang maknanya adalah pasar tertutup. Pasar telah dikenal sejak lama, seperti disebutkan dalam Prasasti Pagumulan (abad ke-5), maupun ditunjukan dalam sumber artefaktual lainnya seperti yang terdapat dalam salah satu relief di Candi Borobudur. Selanjutnya, pasar terus berkembang seiring dengan semakin pesatnya perdagangan terutama pada semenjak abad ke-16. Hanya saja pasar tidak lantas secara spesifik merujuk pada infrastruktur bangunan tertutup tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi. Kebanyakan pasar merupakan ruang terbuka atau open-air space dan bersifat sementara—dalam arti tanpa perlu bangunan permanen. Pasar dapat diselenggarakan di pinggir jalan, tengah kota atau kampung, di bawah pohon rindang, bahkan di sungai seperti yang banyak didapati di Kalimantan. Terkait dengan hal tersebut, pasar Jimbaran Ponjong memiliki makna historis yang penting karena merupakan bangunan pasar permanen yang didirikan sejak masa kolonial.Secara historis pasar sebagai infrastruktur permanen terutama yang berada di Yogyakarta berkaitan dengan dua hal. Pertama, secara umum, keberadaan pasar yang dibangun di pusat kerajaan merupakan wujud dari konsep catur tunggal kota kerajaan. Berdasar konsep ini, pasar merupakan salah satu pilar beserta masjid, alun-alun dan penjara yang melengkapi keberadaan keraton. Oleh sebab itu, keberadaan pasar tradisional dengan bentuk bangunan permanen yang saat itu dikenal sebagai Pasar Gede (Kota Gede) telah hadir sebagai elemen penting dalam pembangunan keraton Mataram Islam. Pasca Giyanti, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta melanjutkan konsep ini dan dengan demikian keduanya sama-sama membangun pasar di sekitar istana sebagai perwujudan konsep catur tunggal, yakni pasar Beringharjo di Yogyakarta; dan Pasar Gedhe di Solo. Selain menjadi penanda simbolis-filosofis sebuah kota kerajaan, pasar di Yogyakarta juga bersifat fungsional sebagai pusat aktifitas ekonomi. Kedua, pasar adalah bagian penting untuk mempromosikan “komersialisme†dan “modernitas†pada masa kolonial. Dalam hal ini, pemerintah kolonial bukan hanya membangun lebih banyak pasar hingga menjangkau wilayah-wilayah di luar pusat kota, namun juga mendandani bangunan pasar secara arsitektural sehingga sesuai ide mengenai kemoderenan. Oleh karenanya, pasar didesain sedemikian rupa untuk memenuhi standar bangunan sebagaimana yang diinginkan pemerintah kolonial, dan secara keruangan berbeda dari konsep pasar tradisional yang telah ada lebih dahulu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tanggal 15 Juli 1873 No.37, pasar harus memiliki Loods (bangsal, yang diadopsi menjadi Los dalam Bahasa Indonesia). Pasar-pasar dari masa kolonial, terutama yang dibangun pada awal abad ke-20, memiliki bentuk yang relatif seragam yakni berupa bangunan terbuka dengan atap yang ditopang oleh kerangka besi. Adapun material berupa besi digunakan untuk menggantikan struktur kayu yang lumrah dipakai dalam arsitektur tradisional. Kebutuhan material besi diproduksi oleh perusahaan besar seperti NV. Braat Surabaya, dan Gutehoffnungshütte (GHH) Munchen Jerman, adapun untuk pembangunan turut dikerjakan oleh sejumlah perusahaan konstruksi seperti N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta (CAV).Material besi pada bangunan pasar kolonial digunakan untuk memperkuat kesan modern. Penggunaan loods atau los juga ditujukan untuk menciptakan luang yang lebih luas, tidak tersekat-sekat, sehingga dapat menampung lebih banyak orang maupun barang, sekaligus memfasilitasi interaksi yang lebih longgar. Penggunaan loods atau los juga diarahkan untuk menggantikan bango (warung kecil) yang cenderung mengokupasi banyak ruang namun untuk peruntukan yang terbatas karena hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.B. Sejarah Pasar Jimbaran PonjongBerdasarkan keterangan narasumber yang bernama Lardiyono (74 tahun), Pasar Jimbaran merupakan pasar yang didirikan sejak sebelum masa kemerdekaan. Bapak Lardiyono adalam pedagang pasar setempat yang sejak kecil sudah menyaksikan keberadaan Pasar Jimbaran. Berdasarkan keterangan beliau lebih lanjut, Pasar Jimbaran merupakan pasar yang pernah mengalami perpindahan. Pada masa lalu, Dusun (sekarang padukuhan) Jimbaran merupakan dusun yang cukup luas. Pusat keramaian Dusun Jimbaran pada masa lalu berada kurang lebih 100 meter ke arah barat dari Pasar Jimbaran sekarang. Pasar Jimbaran yang lama berada di tengah perempatan dan dikelilingi oleh jalan. Seingat Bapak Lardiyono, Pasar Jimbaran yang lama terdiri atas tiga los pasar saja yang disekilingnya terdapat pagar dari kawat dengan tiang dari kayu. Sejak dari pertama kali berdiri, Pasar Jimbaran memiliki pasaran yang sama yaitu wage. Dalam perkembangannya Pasar Jimbaran yang semakin ramai sehingga tidak dapat menampung jumlah pembeli dan pedagang yang beraktivitas di dalam pasar (overloaded).Seiring waktu, pada sekitar tahun 1980 terjadi pemekaran wilayah di Kalurahan Tambakromo. Wilayah Dusun Jimbaran dipecah menjadi 2 : Jimbaran dan Bulurejo. Kemudian pada tahun 1987, atas prakarsa pemerintah, Pasar Jimbaran di pindah ke sebuah lapangan bola milik desa. Lapangan bola tersebut dibeli pemerintah untuk dijadikan lahan Pasar Jimbaran yang sekarang ini. Dengan harapan, di lahan yang baru, Pasar Jimbaran bisa lebih mudah dikembangkan dan menampung lebih banyak pedagang. Maka pada tahun 1987, tiga buah los besi Pasar Jimbaran yang lama di boyong ke lokasi pasar yang baru. Berdasarkan keterangan Bapak Lardiyono, di lokasi pasar yang baru (sekarang) Pasar Jimbaran menjadi lebih besar karena pemerintah merehabilitasi pasar dengan membangun lebih banyak los lagi.Saat ini Bapak Lardiyono tinggal di utara Pasar Jimbaran. Menurut beliau, Pasar Jimbaran saat ini dalam keadaan sepi. Keramaian pasar tidak sama seperti saat beliau muda dulu. Meskipun pasaran wage, jumlah pedagang dan pembeli sudah tidak sebanyak dulu lagi. |
Nilai Sejarah | : | Menjadi bukti historis perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Gunungkidul. Pasar desa milik pemerintah pada masa kolonial digunakan oleh penguasa kolonial sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya pasar, pemerintah bisa mengetahui ada tidaknya krisis yang terjadi di masyarakat. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Bangunan pasar sebagai obyek kajian untuk ilmu arsitektur, teknik sipil, dan arkeologi, sementara aktivitas pasar pada waktu itu menjadi obyek kajian untuk ilmu-ilmu sosial. |
Nilai Pendidikan | : | Dari segi pendidikan, menjadi obyek pembelajaran tentang kehidupan sosial, ekonomi masyarakat pada waktu itu. |
Nilai Ekonomi | : | Dari segi kebudayaan, bangunan pasar menjadi bukti hasil budaya material masa lampau. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid |
Nama Pengelola | : | Pemerintah – Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gunungkid |