Loading

Papan Sangatan Milik Sri Kustilah

Status : Benda Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Papan Sangatan milik Sri Kustilah (46 tahun) adalah papan kayu berwarna cokelat tua berbentuk persegi panjang berukuran panjang 37 cm, lebar 12 cm, dan tebal 1 cm. Papan tersebut memiliki pegangan pada satu sisi yang ditandai dengan sebuah lubang. Meskipun berbetuk persegi panjang, namun keempat sudut papan sangatan ini tidak siku. Pada sisi papan yang terdapat pegangannya, memiliki dua sudut yang berbentuk tumpul. Papan Sangatan milik Sri Kustilah terdapat pahatan pada kedua permukaannya yaitu bagian atas dan bawah. Pahatan yang terdapat pada Papan Sangatan tersebut berbentuk kotak-kotak yang disusun secara teratur menyerupai tabel. Menurut penjelasan Sri Kustilah, pahatan tersebut memiliki fungsi sebagai alat untuk menghitung wuku. Di dalam pahatan yang berbentuk kotak tersebut terdapat tanda-tanda yang berupa: titik-titik, bulat, garis miring, dan tanda silang.
Papan Sangatan milik Sri Kustilah merupakan benda warisan keluarga dari empat generasi yang sudah lama tidak berfungsi. Menurut penjelasan Sri Kustilah, kakeknya yang bernama Kertowongso merupakan pengguna terakhir dari Papan Sangatan tersebut. Sejak beliau meninggal pada tahun 1983, benda tersebut disimpan dan tidak dipergunakan lagi hingga sekarang. Sri Kustilah yang berprofesi sebagai petani dan ibu rumah tangga tidak bisa meneruskan keahlian kakeknya sebagai penghitung wuku, meskipun sebenarnya beliau bisa menggunakan benda tersebut.
Secara fisik, bentuk bidang persegi panjang yang terdapat pada Papan Sangatan milik Sri Kustilah tidak begitu lurus dan tidak begitu presisi. Sepintas bentuk Papan Sangatan dan pahatannya tampak begitu sederhana. Meskipun demikian, bentuk tersebut tidak mengurangi fungsi dari Papan Sangatan. Adapun uraian pahatan yang terdapat pada kedua permukaan Papan Sangatan Sri milik Kustilah adalah sebagai berikut :
1. Permukaan atas
Pada bagian ini terdapat pahatan berbentuk kotak-kotak disusun secara teratur menyerupai tabel dengan dimensi : 30 kolom x 7 baris. Menurut penjelasan Sri Kustilah, pahatan tiga puluh kolom menunjukkan jumlah wuku, adapun pahatan tujuh baris menunjukkan hari yang berlangsung dalam satu wuku. Tanda atau simbol yang berupa pahatan kotak-kotak tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Kotak kosong berarti tanda baik.
- Kotak yang bergaris miring berati was atau hari yang wajib dihindari.
- Kotak yang bertanda bulat berarti hari yang sangat baik atau sri.
- Tanda silang berarti was gotong, atau hari yang berbahaya/ sangat buruk. Hari yang bertanda was gotong merupakan hari yang harus diwaspadai.
Pada bagian bawah dari pahatan kotak-kotak tersebut sebenarnya terdapat satu baris pahatan kotak-kotak lagi yang di dalamnya diberi tanda berupa titik-titik. Jika diperhatikan, tanda titik-titik tersebut memiliki jumlah tertentu yang diulang-ulang secara periodik. Sayang sekali Sri Kustilah tidak dapat menjelaskan maknanya lebih jauh arti dari pahatan tersebut.
2. Permukaan bawah
Bentuk pahatan pada permukaan bawah terdiri dari beberapa bentuk pahatan yang dibuat terpisah-pisah. Pada bagian kiri dan tengah terdapat beberapa pahatan yang berbentuk kotak-kotak. Masing-masing pahatan kotak-kotak memiliki ukuran jumlah kolom dan baris yang berbeda-beda. Selain pahatan berbentuk kotak-kotak yang disebutkan tadi, pada bagian sebelah kanan terdapat pula sebuah pahatan berbentuk bulat semacam diagram lingkar. Ketika ditanya mengenai penggunaan pahatan bagian bawah ini, Sri Kustilah tidak dapat menjelaskannya dengan lebih terperinci.
Jika dibandingkan dengan pahatan yang terdapat pada Papan Sangatan milik Marjo Diyono dari Gedangsari, kuat dugaan bentuk pahatan tersebut memiliki makna hitungan wuku yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Pahatan tersebut adalah bentuk kotak-kotak semacam tabel yang berisi lima kolom dan tujuh baris. Kemungkinan pahatan tersebut bermakna Sangatan lima waktu dalam sehari, yang berlangsung selama tujuh hari dimulai dari hari Ahad (Ngahad) atau Minggu hingga hari Sabtu. Kolom merupakan waktu dalam sehari (lima waktu) sementara baris adalah jumlah hari dalam seminggu (tujuh hari). Pada bagian baris memiliki arti yang sesuai gambarnya yaitu : kosong adalah rahayu, titik adalah pluweng, tanda silang adalah was, garis miring ke kanan adalah carik, dan terakhir tanda lebih besar (>) adalah gigis atau gunung.


Kondisi Saat Ini : Dalam kondisi terawat, baik, dan disimpan sebagai benda berharga warisan keluarga. Benda ini masih dianggap sakral dan dikeramatkan oleh Sri Kustilah. Papan Sangatan milik Sri Kustilah disimpan bersama dengan benda keramat warisan keluarga lainnya yang berupa keris.

 

Status : Benda Cagar Budaya
Periodesasi : Tradisional Jawa
Alamat : Dusun Sambirejo, RT 04 RW 05, Sidorejo, Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.9821263932661° S, 110.69895958625° E

No. Registrasi Nasional PO2019082900222
SK Walikota/Bupati : R0101/TACBGK/06/2020


Lokasi Papan Sangatan Milik Sri Kustilah di Peta

Keterawatan : /
Dimensi Benda : Panjang 37
Lebar 12
Tinggi -
Tebal 1
Diameter -
Berat -
Ciri Fisik Benda
Warna : Cokelat Tua
Ciri Fisik Benda
Warna : Cokelat Tua
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Bukti Arkeologi dan Sejarah Pawukon Sistem penanggalan di Jawa diperkirakan muncul pada akhir masa Prasejarah, ketika masyarakat Nusantara mulai mengenal berbagai tekonogi yang berkaitan dengan bercocok tanam, cara berlayar, arah mata angin, dan astronomi. Pemahaman terhadap siklus alam yang perlangsung dalam periode tertentu menjadi penting bagi masyarakat Nusantara yang hidup dengan tradisi pertanian. Ketika itu nenek moyang di Nusantara mengenali berbagai masa dalam waktu tertentu, misalnya masa kasa-karo-katiga biasanya berlangsung musim kemarau atau jarang hujan. Masa kapat-kalima-kanem adalah masa mulai turun hujan. Saat itu petani mulai menggarap sawah. Masa kasapuluh-dhesta-saddha adalah masa menjelang musim kemarau atau sehabis penghujan. Pada masa itu diperkirakan masyarakat Jawa telah mengenal sistem perjalanan waktu ke dalam siklus lima hari atau pancawara. Sistem penanggalan menjadi lebih semarak ketika pengaruh kebudayaan Hindu Buddha masuk ke bumi Nusantara yang mencapai puncaknya pada periode abad IX hingga XI Masehi. Masuknya kebudayaan India yang membawa siklus penanggalan tujuh hari tidak serta merta menghilangkan sistem penanggalan Jawa. Bahkan sistem penanggalan dengan siklus lima hari atau pancawara masih tetap dipergunakan. Casparis memperlihatkan adanya konsistensi penulisan yang tidak pernah keliru dalam penyebutan singkatan sehari-hari dalam pancawara. Hari-hari yang terdapat dalam pancawara itu adalah Pahing ( pa), Pon (po), Wagai (wa), Kaliwang (ka), dan Umanis (u). Casparis menyimpulkan bahwa pengaruh budaya India di bumi Nusantara menyebabkan masyarakat Jawa lebih familiar dengan siklus tujuh hari atau saptawara. Kemudian kaitannya dengan sistem penanggalan tahunan, menurut Darmosoetopo, dikenal dua sistem kalender pada masa Hindu - Buddha di wilayah Indonesia, yakni sistem tahun Saka dan tahun Sanjaya. Pada nantinya sistem penanggalan tahun Saka jauh lebih populer dan bertahan hingga akhir pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Nusantara. Masuknya pengaruh agama Islam di Nusantara membawa pengetahuan astronomi yang kuat mengingat kemajuan Islam dalam mengembangkan ilmu falak untuk kepentingan religius. Pada masa kebangkitan kerajaan-kerajaan dengan corak agama Islam, penanggalan yang digunakan oleh kerajaan memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriyah. Penentuan perayaan-perayaan religi sangat bergantung dengan kalender Hijriyah, namun tradisi lokal yang bernapaskan budaya Jawa masih umum dilaksanakan, sehingga kalender Saka masih tetap digunakan. Kasultanan Demak, Banten, dan Mataram masih menggunakan dua sistem tersebut hingga awal abad ke-17. Baru kemudian pada 1633 M, Sultan Agung (1613-1646 M) dari Kerajaan Mataram Islam merombak kedua sistem kalender tersebut dan resmi menjadi kalender Jawa yang digunakan kerajaan. Perubahan dasar yang terjadi adalah pergantian hari dan bulan dalam tahun saka dirubah menjadi nama hari dan bulan dalam tahun Arab. Namun demikian hari Jawa asli yang disebut dengan pasaran, tetap dipertahankan. Munculnya pertama kali kalender Jawa dengan perhitungan pawukon tidak diketahui dengan pasti, namun terdapat dugaan bahwa perhitungan pawukon merupakan ilmu titen manusia Jawa yang diwariskan sejak zaman sebelum Hindu hingga sekarang. Ann Kumar dalam laman resmi dari British Library menuliskan bahwa masyarakat Jawa telah memiliki sistem penanggalan wuku sejak era Saka atau 78 tahun sesudah Masehi. Selanjutnya sebuah catatan penting lain menyebutkan bahwa perhitungan kalender pawukon diperkirakan muncul sebelum masuknya Islam ke Nusantara. Menurut Prof. Dr. Philip van Akkeren, sekitar abad ke-10 ditemukan prasasti yang menulis pranata mangsa, memuat perhitungan perlintangan (perbintangan) Jawa dan pawukon. Penemuan prasasti tersebut bersanding dengan kalender India yang yang memakai tarikh perhitungan bulan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi perhitungan tradisional Jawa kuno sama pentingnya dengan kalender dari India, digunakan untuk membantu kegiatan pertanian. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Jawa kuno. Pawukon merupakan budaya asli masyarakat Indonesia yang dipergunakan dan mengakar secara turun-temurun. Bukti sejarah dan arkeologi mengenai pawukon secara otentik muncul dalam sejumlah prasasti dari masa Mataram kuno. Meskipun prasasti-prasasti tersebut hanya dibuat oleh pemerintah kerajaan yang berkuasa pada masa tersebut, namun hal itu cukup membuktikan bahwa tradisi pawukon sudah digunakan pada masyarakat luas. Dalam Prasasti Lintakan (12 Juli 919 M) disebutkan bahwa penghitungan pawukon sudah digunakan sebagai dasar penyelenggaraan upacara ruwatan atau upacara penolak bala bagi raja. Tradisi ruwatan untuk raja dalam Prasasti Lintakan, sekaligus menjadi bukti bahwa kedudukan seorang ahli penghitung wuku memiliki arti yang strategis dalam pemerintahan kerajaan pada masa Mataram kuno. Prasasti lain yang menyebut tentang wuku juga ditemukan dalam Prasati Cane (27 Oktober 1021). Prasasti tersebut merupakan salah satu contoh prasasti yang memiliki penanggalan paling lengkap. Penanggalan yang terdapat pada prasasti Cane, jika dihitung ulang melalui metode perhitungan wuku dengan konsep neptu yang sudah ditetapkan oleh R. Baratakesawa maka dapat dibuktikan bahwa Prasati Cane dimaklumatkan pada hari Jum’at, pasaran Wage, dengan wuku Landep. Unsur wuku Landep tersebut ternyata juga disebutkan di dalam penanggalan prasasti tersebut. Dengan demikian terbukti bahwa penghitungan wuku yang terdapat dalam Prasasti Cane tersebut adalah benar, dan pemilihan hari Jum’at pasaran Wage yang ditetapkan untuk memaklumatkan hari penerbitan prasasti dipilih bukan pada hari was wuku Landep yang jatuh pada hari Rabu pasaran Pahing. Berdasarkan keterangan dari dua buah prasasti tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu pawukon dan ahlinya sudah dikenal pada masa Mataram kuno. Bahkan pada masa pemerintahan Raja Dyah Tulodhong yang berkuasa di Kerajaan Medang (898 – 910 M), ahli pawukon menduduki posisi yang penting di kerajaan tersebut. Hal tersebut berlangsung hingga sekarang.B. Sejarah dan Pelesatarian Papan Sangatan Sama halnya dengan pawukon yang tidak diketahui waktu ditemukannya, maka Papan Sangatan juga tidak diketahui asal mula keberadaannya. Terdapat dugaan bahwa munculnya Papan Sangatan sebagai suatu alat merupakan sebuah proses penemuan yang lahir dari kearifan atau local genius para ahli penghitung wuku. Berdasarkan penemuan sejumlah Papan Sangatan yang berasal dari berbagai daerah di Gunungkidul, maka dapat diketahui bahwa alat tersebut memiliki riwayat kepemilikan dari keluarga yang berprofesi sebagai ahli penghitung wuku. Bahkan salah satu Papan Sangatan yang ditemukan dari Kapanewon Gedangsari, masih digunakan hingga sekarang oleh pemiliknya yang berprofesi sebagai ahli penghitung wuku atau ahli pawukon.Ilmu pawukon merupakan ilmu titen warisan nenek moyang yang dipelajari oleh sedikit orang yang dianggap sebagai sesepuh adat yang dihormati dalam masyarakat Jawa. Hingga saat ini pawukon masih relevan dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya hampir di seluruh Indonesia terutama di sepanjang pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Pawukon digunakan masyarakat Indonesia sebagai dasar perhitungan mengenai pranata mangsa atau tata waktu. Sejarah pelestarian pawukon dimulai dari para peneliti dari negeri Belanda pada masa kolonial yang giat mengumpukan data-data tertulis ilmu pawukon di tanah Jawa. Pada masa lalu ilmu-ilmu pawukon ditulis ke dalam manuskrip-manuskrip kuno, antara lain enam buah manuskrip pawukon Jawa yang dikumpulkan pada abad ke-19, saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Lejden Belanda. Museum Negeri Sonobudoyo saat ini juga menyimpan 76 koleksi yang berupa teks pawukon. Salah satu koleksi dari teks pawukon tersebut diprakarsai oleh Sultan HB V yang ditulis pada tahun 1846. Menurut Behrend, ahli Belanda yang berjasa menyusun katalog Museum Sonobudoyo, pawukon merupakan petunjuk perhitungan waktu. Sistem perhitungan ini dipakai untuk meramalkan nasib seseorang, menafsirkan watak, dan mencari waktu yang paling mujur. Behrend menambahkan bahwa waktu mujur berhubungan dengan “adat kebiasaan” masyarakat Jawa dalam melakukan sesuatu, seperti pernikahan, perjalanan, hingga membangun rumah. Ilmu pawukon meliputi pula tradisi pemut, petung, pranata mangsa, penanggalan, hingga watak pringkelan.Akar kata pawukon adalah wuku, yaitu dalam kalender Jawa dikenal sebagai waktu dari minggu ke minggu. Lama satu wuku adalah tujuh hari, terhitung dari hari Minggu ke Sabtu. Lain dengan usia bulan atau tahun, yang bisa berubah-ubah, usia wuku itu selalu sama, yakni tujuh hari. Banyaknya wuku adalah tiga puluh, yakni wuku Sinta (1), Landep (2), Wukir (3), Kurantil (4), Tolu (5), Gumbreg (6), Warigalit (7), Warigagung (8), Julung Wangi (9), Sungsang (10), Galungan (11), Kuningan (12), Langkir (13), Mondosio (14), Julung Pujud (15), Pahang (16), Kuruwelud (17), Mrakeh (18), Tambir (19), Madangkungan (20), Maktal (21), Wuye (22), Manail (23), Prangbakat (24), Bala (25), Wayang (26), Wugu (27), Kulawu (28), Dukut (29), dan Watugunung (30). Bagi seorang ahli penghitung wuku, Papan Sangatan merupakan satu kesatuan dengan ilmu pawukon. Melalui penghitungan yang rumit, sebuah Papan Sangatan dapat digunakan sebagai alat bantu menghitung wuku. Salah satunya, penghitungan dengan Papan Sangatan akan menghasilkan sebuah neptu. Dalam numerologi Jawa, neptu merupakan angka gaib yang memiliki jumlah tertentu dan seorang ahli penghitung wuku bisa menjelaskan makna wuku dari neptu yang dimiliki oleh seseorang. Papan Sangatan milik Sri Kustilah memiliki pahatan pada bagian atas berupa kotak-kotak yang disusun sedemikan rupa sehingga berbetuk menyerupai tabel. Pahatan tersebut memiliki dimensi 30 kolom sebagai wuku dan 7 baris hari yang berlangsung dalam seminggu. Menurut sejumlah narasumber yang memiliki Papan Sangatan, pahatan tersebut ternyata merupakan pahatan pokok yang digunakan untuk menghitung wuku dan melihat was (hari nahas) dalam pawukon Jawa.Meskipun Papan Sangatan yang ditemukan di Gunungkidul memiliki bentuk pahatan yang bervariasi, namun hitungan wuku tidak pernah berubah. Hal itu bisa terjadi karena perjalanan satu tahun Jawa yang menggunakan pawukon selalu berlangsung selama 210 hari, diawali dengan wuku Sinta (1) sebagai minggu pertama dan ditutup dengan wuku Watugunung (30) pada minggu terakhir. Demikian berlangsung terus dan berulang-ulang. Seorang ahli penghitung wuku dalam tradisi Sangatan, dengan keterampilan hitung matematika yang dipadukan dengan ilmu titen selalu bisa membaca was seseorang. Hasil dari penghitungan wuku, kemudian diikrarkan ke dalam bentuk nasihat untuk menghindari hal-hal tertentu agar seseorang bisa terhindar dari bahaya dan sebaliknya nasib baik didapatkan. Sejarah pelestarian Papan Sangatan telah dimulai pada awal abad ke-20. Catatan otentik yang berkaitan dengan Papan Sangatan pertama kali diungkapkan oleh Ir. J.L. Moens yang dipublikasikan pada tahun 1939 dalam majalah Djawa terbitan Java Instituut. Berdasarkan catatan Moens, sebuah Papan Sangatan yang dimiliki oleh seorang informan dari daerah Nglipar – Gunungkidul, disebut sebagai sangat. Jika ditelusuri dari kamus Bahasa Jawa Kuno, kata sangat memiliki arti : saat dan atau waktu yang terbaik untuk mengawinkan mempelai. Dalam bahasa Jawa, akhiran an dalam kata Sangatan, merupakan penjelasan sebagai kata benda yang bisa di beri makna alat. Meskipun kata Sangatan hanyalah sebutan lokal untuk masyarakat Gunungkidul (setempat), namun sangatlah tepat apabila papan tersebut disebut Sangatan. Karena faktanya Papan Sangatan digunakan untuk menghitung waktu.Berkaitan dengan Papan Sangatan ini, lebih jauh Moens menjelaskan bahwa sangat tersebut dimiliki oleh seorang yang beragama Islam tetapi melakukan praktik sinkretisme. Menurut data yang diperoleh Moens, Papan Sangatan digunakan untuk mengetahui hari baik dan buruk yang dilalui sesorang. Papan Sangatan dapat membantu memecahkan masalah untuk mengetahui keberuntungan atau kesialan pada suatu hari. Moens mengungkapkan pandangannya mengenai kebudayaan Jawa yang meyakini bahwa kekuatan magis juga berasal dari penghitungan matematika yang kuat. Berdasarkan penjelasan Moens maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Papan Sangatan merupakan sebuah alat yang dimiliki oleh ahli penghitung wuku yang sangat penting dan masih digunakan masyarakat Gunungkidul pada awal abad ke-19.Pemerintah melalui Museum Negeri Sonobudoyo sebagai Unit Pengelola Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan DIY memiliki koleksi benda-benda papan penanggalan dari seluruh Indonesia yang sejenis dengan Papan Sangatan. Benda-benda tersebut diperkirakan telah dikumpulkan sejak awal pendirian museum. Berdasarkan catatan dari Museum Sonobudoyo, terdapat 18 buah. Papan penanggalan tersebut masih belum memiliki penamaan yang spesifik, karena berasal dari beberapa daerah yang berbeda, termasuk tika yang berasal dari Bali. Pada tahun 2019, Museum Sonobudoyo mengadakan pameran temporer yang bertema Astronomi Nusantara. Melalui kegiatan tersebut diterbitkan buku katalog berjudul Angkasa Raya Ruang dan Waktu. Ayu Dipta Kirana, salah satu penulis dari buku tersebut mengangkat tema yang berkaitan dengan Papan Sangatan. Pada makalahnya Kirana menyebut benda tersebut sebagai papan petung. Namun Kirana tidak menjelaskan bahwasanya di daerah Gunungkidul papan penanggalan tersebut disebut sebagai Sangatan.C. Sejarah Papan Sangatan milik Sri KustilahBerdasarkan penjelasan Sri Kustilah, Papan Sangatan miliknya merupakan benda warisan keluarga yang diturunkan sebanyak empat generasi. Berikut adalah keterangan beliau berkaitan dengan silisilah pewaris Papan Sangatan tersebut : Mbah Buyut yang tidak diketahui namanya → Kertowongso (Kakek atau mbah kakung) → mbok Gemi (Ibu) → Sri Kustilah. Sebagai pewaris Papan Sangatan, Sri Kustilah secara tidak sengaja telah mendapatkan ilmu membaca benda tersebut dari kakeknya yang bernama Kertowongso atau biasa dipanggil mbah Kertowongso. Menurut penjelasan Sri Kustilah, semasa hidup mbah Kertowongso memiliki keahlian sebagai ahli pembaca wuku. Berkat keahlian tersebut, oleh masyarakat setempat, mbah Kertowongso dianggap sebagai orang pintar yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Ketika mbah Kertowongso masih menjalankan praktek menghitung wuku untuk pasiennya, Sri Kustilah sering diminta untuk mendampingi kakeknya. Pada waktu itu Sri Kustilah yang masih muda sering kali di minta mbah Kertowongso untuk membuka kalender Masehi, sementara mbah Kertowongso menghitung wuku dengan Papan Sangatan. Dengan cara tersebut, Sri Kustilah sedikit demi sedikit bisa menguasai ilmu pawukon dari kakeknya tersebut. Hingga mbah Kertowongso meninggal pada tahun 1983 ilmu pawukon sebenarnya akan diteruskan oleh kakak dari Sri Kustilah yang bernama Alif. Namun sayang, kakak tersebut pindah ke Jakarta dan tidak meneruskan keahlian tersebut.Sepeninggal mbah Kertowongso, ilmu menghitung wuku yang dimiliki oleh Sri Kustilah tidak dapat dipraktekkan. Meski demikian secara pribadi beliau masih percaya dan yakin dengan ilmu pawukon Jawa. Ketika wawancara berlangsung, Sri Kustilah masih bisa mengingat dengan cepat nama wuku saat wawancara berlangsung, yaitu wuku wugu. Berkaitan dengan Papan Sangatan yang dimilikinya, Sri Kustilah masih menyimpan dengan baik serta merawat benda tersebut bersama dengan keris peninggalan kakeknya.
Nilai Sejarah : Sebagai bukti bahwa pada masa lalu di Indonesia pernah ada Kalender Jawa yang menggunakan sistem Pawukon. Sistem tersebut saat ini masih tetap digunakan, meskipun terbatas di wilayah pedesaan.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Masyarakat Jawa pada masa lalu telah mengenal astrologi atau ilmu perbintangan yang digunakan dalam sebuah kalender tahunan. Papan Sangatan juga dipakai sebagai sarana pembelajaran masyarakat tentang pentingnya pengetahuan ilmu astrologi yang dihubungkan dengan hari baik. Sebagai sebuah alat untuk menghitung waktu, Papan Sangatan terkandung local genius ilmu pawukon dari nenek moyang yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya hingga sekarang.
Nilai Pendidikan : Sebagai bahan pembelajaran untuk generasi muda bahwa Papan Sangatan merupakan karya intelektual lokal atau local genius masyarakat Gunungkidul pada masa lampau. Di dalam Papan Sangatan terkandung tentang ilmu astrologi, yaitu perbintangan yg dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu.
Nilai Budaya : Ilmu pawukon melalui media Papan Sangatan merupakan ilmu perbintangan tradisional yang digunakan untuk menghitung hari baik sebuah kegiatan.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Milik perseorangan
Pengelolaan
Nama Pengelola : Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul