Loading

Rumah Tradisional Milik Sri Subening Tempat Singgah Jenderal Soedirman

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Rumah tradisional milik Sri Subening merupakan bangunan rumah bersejarah peninggalan Sastro Pratomo – mantan Carik Kelurahan Playen. Rumah tersebut memiliki desain rumah tradisional Jawa yang khas dengan bentuk atap limasan bermaterial kayu dan berdinding tembok dengan tatanan batu putih yang didirikan sebelum masa kemerdekaan. Keaslian bentuk bangunan rumah peninggalan Sastro Pratomo tersebut masih tetap terjaga hingga saat ini, terutama pada bangunan pagar tembok sisi depan dan tiga buah bangunan beratap limasan yang berada di dalamnya. Bangunan lintring yang berada pada sisi depan pernah mengalami renovasi, namun tetap digunakan hingga saat ini. Sementara bangunan gandok tengen mengalami perubahan bentuk dan fungsi, berubah menjadi garasi.
Bangunan rumah peninggalan Sastro Pratomo saat ini digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Andang Suhartanto (suami dari Ibu Sri Subening). Beliau adalah mantan kepala desa Playen periode tahun 2000 – 2010, yang tinggal di rumah tersebut sejak tahun 1980. Bangunan rumah menempati lahan seluas 1.283 m², beralamat di RT 02 RW 01 Padukuhan Playen 1, Kalurahan Playen, Kapanewon Playen, atau berada sejauh 100 meter sebelah timur Pasar Playen. Menurut penjelasan Andang Suhartanto, bangunan rumah peninggalan Sastro Pratomo merupakan bangunan tembok pertama yang pernah didirikan di Playen dan hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan bentuk. Adapun uraian atas bangunan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bangunan Kuncung atau Lintring
Lintring rumah Sri Subening merupakan bangunan semi terbuka yang berada pada sisi utara bangunan. Bagian ini merupakan bagian terdepan dari keseluruhan bangunan yang memliki sifat publik dan difungsikan sebagai tempat menerima tamu serta sarana kegiatan sosial lainnya. Lintring ini pernah mengalami renovasi pada tahun 2017 namun bentuk dan fungsi bangunan tetap sama. Luas lintring adalah 4,06 m x 12,35 m = 50, 14 m². Permukaan lantai lintring ditutup dengan keramik berukuran 30 cm x 30 cm. Tiang penyangga atap lintring berjumlah enam buah tiang. Hek dari tembok dibuat pada bidang sisi tengah, sementara pada sisi timur dan barat dibiarkan tanpa hek dan berfungsi sebagai jalan masuk. Hek yang terbuat dari material tembok dibuat pada tahun 1987, menggantikan hek dari bahan kayu yang sudah aus.
Atap lintring ditopang dengan struktur kayu ander yang ditopang blandar, dengan tipe atap kampung. Sebagai penutup atap lintring digunakan genteng berjenis sokka. Bubungan menggunakan genteng krepus. Pada bagian tengah terdapat ornamen gunungan wayang dari bahan gerabah. Pada ujung krepus terdapat empat buah ornamen tanduk yang melengkung yang terbuat dari bahan dari gerabah. Pada sisi tritisan atau tepi genteng di topang oleh empat buah konsul besi yang berornamen geometris dan empat buah siku dari kayu. Empat buah siku kayu yang menyangga tritisan atap berada pada posisi dua tiang sudut.
2. Bangunan beratap Limasan bagian depan atau Pendopo
Bangunan beratap limasan bagian depan atau omah ngarep atau bangunan yang disebut pendapa menurut pemilik rumah, adalah bangunan berbentuk atap limasan dengan dinding yang terbuat dari tembok dengan tatanan batu putih. Bangunan ini memiliki ukuran luas 12,35 m x 8,53 m = 105,34 m², atau bangunan dengan ukuran paling luas dari bangunan yang ada. Bangunan beratap limasan ini berada di belakang bangunan lintring. Permukaan lantai pada bangunan ini ditutup dengan keramik berukuran 30 x 30 cm. Lantai keramik tersebut merupakan lantai baru yang dibuat pada tahun 2015 menggantikan lantai dari bahan tegel.
Penyangga atap berbentuk limasan pada bangunan pendapa ini ditopang oleh delapan buah tiang atau saka guru limasan dan dinding tembok dengan tatanan batu putih pada sekelilingnya. Delapan buah umpak dari kayu yang memiliki hiasan floral dibuat pada bagian bawah saka guru limasan tersebut. Umpak ini dibuat pada tahun 2017, menggantikan umpak lama yang terbuat dari batu putih. Pada bagian dinding tembok memiliki uraian sebagai berikut :
- Dinding tembok dengan tatanan batu putih memiliki ketebalan 40 cm.
- Dinding sisi utara terdapat bagian dinding yang terbuat dari kayu. Pada bagian ini, dinding kayu dibuat dengan pasangan kaca pada bagian atas. Pada bagian tengah terdapat pintu dengan dua inep yang berfunsgi sebagai pintuk masuk menuju rumah.
- Dinding sisi timur dan barat, masing-masing terdapat sebuah jendela dan pintu yang memiliki posisi simetris. Dua jendela tersebut memiliki teralis kayu yang disusun vertikal pada sisi bagian luar, sementara pada sisi bagian dalam memiliki dua buah inep.
- Dinding sebelah selatan terdapat tiga buah pintu dari kayu dengan dua inep dengan bentuk rangkap. Pintu yang tengah memiliki ukuran yang lebih tinggi dari dua pintu yang mengapitnya. Ketiga buah pintu tersebut memiliki bentuk hiasan floral pada bagian atasnya.
Pada bagian penutup atau genteng, digunakan genteng keripik, sementara penutup bubungan atau wuwung menggunakan wuwung seng polos, tanpa hiasan pada bagian puncaknya. Sementara itu pada bagian bawah genteng dan di atas kayu usuk terdapat pasangan papan dari kayu jati yang berfungsi sebagai plafon. Dengan demikian jika dilihat dari bawah maka genteng tidak kelihatan.
Menurut penjelasan Andang Suhartanto, bagian pendopo memiliki tingkat kerusakan bangunan yang paling parah terutama pada bagian genteng. Jika musim hujan, terjadi banyak kebocoran pada bagian ini. Kesulitan dalam perbaikan atap dikarenakan langit-langit ditutup dengan plafon dari bahan kayu jati. Langit-langit tersebut menutupi genteng, sehingga bagian genteng yang bocor tidak bisa diperbaiki dengan mudah.
3. Bangunan beratap Limasan bagian tengah atau Pringgitan
Bangunan beratap limasan bagian tengah atau omah tengah atau bangunan yang disebut pringgitan menurut pemilik rumah, adalah bangunan berbentuk atap limasan yang tidak memiliki penyangga kayu karena struktur atap ditopang dengan dinding yang terbuat dari tembok tatanan batu putih. Bangunan ini memiliki ukuran luas 12,35 m x 3,68 m = 45,45 m². Ketebalan dinding adalah 40 cm. Adapun uraian yang diperoleh dari hasil survei adalah sebagai berikut :
- Lantai ditutup dengan tegel berukuran 25 cm x 25 cm berwarna abu-abu.
- Pada sisi timur dan barat, masing masing terdapat sebuah kamar. Kamar sisi barat diduga merupakan kamar tidur untuk tamu, sementara kamar sebelah timur digunakan untuk ruang santai. Menurut penjelasan Andang Suhartanto, kamar sebelah timur pada masa lalu digunakan untuk ruang makan keluarga.
- Ruangan pada bagian tengah memiliki ukuran yang cukup luas. Pada bagian tersebut terdapat sebuah meja yang cukup panjang dan berada di tengah. Menurut penjelasan Sri Subening, ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang bekerja Sastro Pratomo. Berdasarkan cerita dari Sastro Pratomo ketika masih hidup, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menggunakan ruangan ini untuk tempat berdiskusi bersama Sastro Pratomo.
- Dinding sisi selatan terdapat tiga buah pintu yang posisinya simetris dengan tiga pintu ruangan pendopo. Ketiga pintu tersebut memiliki daun pintu rangkap. Pintu yang terdapat pada sisi dalam berbentuk setengah atau half door dengan dua buah inep.
- Bagian langit-langit ruangan ini ditutup dengan plafon yang terbuat dari papan kayu jati.
- Sebagai penutup atap atau genteng menggunakan genteng keripik. Pada bagian bubungan atau wuwung menggunakan wuwung seng polos, tanpa hiasan pada bagian puncaknya.
4. Bangunan beratap limasan bagian belakang atau Ndalem
Bangunan ini merupakan bangunan yang berada paling belakang yang digunakan sebagai ruang tidur dan ruang privat keluarga Andang Suhartanto. Oleh penghuni rumah, bangunan ini disebut sebagai Ndalem. Bangunan Ndalem memiliki ukuran luas 12,35 x 8,37 m = 103,37 m². Penyangga atap berbentuk limasan pada bangunan Ndalem ini ditopang oleh delapan buah tiang atau saka guru limasan dan dinding tembok dengan tatanan batu putih pada sekelilingnya. Ketebalan dinding tembok adalah 30 cm. Adapun uraian dari bangunan Ndalem adalah sebagai berikut :
- Lantai pada bangunan ndalem ditutup oleh lantai tegel berukuran 25 cm x 25 cm. Namun pada sebagian sisi utara ditutup dengan keramik berwarna putih berukuran 35 cm x 35 cm. Menurut penjelasan Sri Subening, semula lantai tersebut ditutup dengan sesek. Namun karena sudah rusak, kemudian ditutup dengan tegel dan keramik.
- Masing-masing soko guru limasan terdapat umpak yang terbuat dari bahan batu putih.
- Pada bagian dalam masih terdapat ruang senthong kiwo dan senthong tengen, namun senthong tengah sudah hilang. Pembatas antar ruang senthong menggunakan lawang gebyok. Menurut penjelasan Selamet Widodo dan Andang Suhartanto, senthong kiwo digunakan oleh Sastro Pratomo semasa hidup untuk bersemedi. Bahkan menurut penjelasan Selamet Widodo, terdapat bekas pembakaran kemenyan yang bentuknya menggunung di ruangan tersebut.
- Pada salah satu sudut ruangan ini terdapat sebuah dipan atau tempat tidur dari bahan kayu yang sudah tidak digunakan. Menurut penjelasan Sri Subening, berdasarkan cerita dari Sastro Pratomo, dipan tersebut pernah digunakan Jenderal Soedirman untuk tidur, ketika beliau singgah di rumah tersebut pada masa perang gerilya.
- Dinding sekeliling bangunan ndalem pernah mengalami renovasi tahun 2006, sesaat setelah kejadian bencana gempa di Yogya. Saat itu dinding bangunan ndalem mengalami patah di beberapa tempat.
- Struktur penyangga atap berupa dua buah ander yang menyangga molo, blandar, dan empat buah sunduk sebagai pengikat atau pemangku saka guru. Susunan usuk berbentuk rigereh. Struktur penyangga atap bangunan ndalem bisa terlihat, karena bangunan ini tidak memiliki plafon seperti pada dua bangunan yang dijelaskan sebelumnya.
- Penutup atap atau genteng bangunan Ndalem menggunakan genteng keripik. Pada bagian bubungan atau wuwung menggunakan wuwung genteng. Jika dilihat dari bentuk dan proporsinya, genteng dan wuwung pada bagian bangunan ini belum pernah mengalami renovasi.

Status : Bangunan Cagar Budaya
Nama Lainnya : Belum Ada
Alamat : Dusun Playen 1 02/1, Playen, Playen, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.9434333333333° S, 110.55207777778° E

SK Walikota/Bupati : R0102/TACBGK/06/2020


Lokasi Rumah Tradisional Milik Sri Subening Tempat Singgah Jenderal Soedirman di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : Kisah perjalanan gerilya pasukan Jenderal Soedirman dimulai ketika Belanda melancarkan agresi militernya dengan menyerbu kota Yogya yang menjadi Ibu Kota RI pada waktu itu, atau dikenal sebagai clash ke-2. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Pendaratan Pasukan Belanda ditandai dengan pemboman Pangkalan Udara Maguwo jam 05.45 pagi oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk, sebelum penerjunan pasukan paramiliter dengan menggunakan 15 pesawat berjenis Dakota. Pada saat itu Pangkalan udara Maguwo hanya diperkuat oleh 150 prajurit Indonesia dengan persenjataan yang sangat minim. Hanya dalam waktu 25 menit, tepat jam 07.10 pangkalan udara Maguwo jatuh dan dikuasai tentara Belanda dengan korban 128 prajurit Indonesia meninggal dunia dan tidak ada korban di pihak musuh.Informasi penyerbuan Belanda ke pangkalan udara Maguwo yang begitu cepat akhirnya sampai ke Jenderal Soedirman yang pada waktu berada di Bintaran Wetan Yogyakarta. Dengan terjadinya agresi militer Belanda ini, tepat pada jam 08.00 pagi Jenderal Soedirman sebagai pimpinan tertinggi TNI mengeluarkan komando bagi pasukan TNI di seluruh tanah air atau yang terkenal dengan Perintah Kilat No. 1/PB/D/1948. Berdasarkan perintah kilat tersebut, pasukan TNI melakukan strategi perang dalam melawan Belanda, dengan strategi pertahanan gerilya. Dalam situasi keamanan negara yang tidak terkendali dan ditambah dengan situasi politik dan militer yang genting pada hari itu, Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan untuk bergerilya dan meninggalkan kota Yogya. Setelah mengatur segala strategi sedemikian rupa, tepat jam 11.30 Jenderal Soedirman bersama sejumlah prajuritnya meninggalkan rumah dinasnya, melakukan perjalanan ke arah selatan, dengan tujuan Gunungkidul.Perjalanan gerilya Jenderal Soedirman berlangsung sejak tanggal 19 Desember 1949 dan berakhir pada tanggal 10 Juli 1949, menempuh jarak 1.010 km. Medan perang gerilya Soedirman yang begitu luas meliputi daerah-daerah yang saat ini masuk ke dalam wilayah Propinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selama berlangsung perang gerilya, Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di Propinsi DIY yang pernah dilalui oleh Jenderal Soedirman. Daerah-daerah yang pernah dilalui perang gerilya tersebut tersebut terbagi atas dua buah jalur, yaitu jalur keberangkatan dan jalur kembali ke Yogya. Jalur keberangkatan adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada tanggal 19 – 22 Desember 1949. Jalur tersebut melalui daerah di wilayah Girijati, Giricahyo, Giripurwo, Panggang, Paliyan, Playen, Wonosari, Karangmojo, dan Ponjong. Sedangkan jalur kembali ke yogya adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada sekitar awal bulan Juli tahun 1949. Jalur tersebut melalui daerah-daerah di wilayah Ponjong, Karangmojo, Semanu, dan Patuk. A. Sejarah Perjalanan Jenderal Soedirman di Kapanewon PlayenKronologi perjalanan gerilya Jenderal Soedirman di Gunungkidul, dimulai pada tanggal 20 Desember 1948 dari wilayah Kalurahan Girijati yang berada di perbatasan dengan Kapanewon Kretek kabupaten Bantul. Wilayah Girijati memiliki topografi pegunungan kapur yang terjal dan hanya bisa dilalui dengan jalan setapak. Kondisi tersebut diperparah dengan kesehatan Jenderal Soedirman yang sakit TBC, sehingga menyebabkan perjalanan gerilya di daerah tersebut mengalami kelambatan. Menurut catatan sejarah, Jenderal Soedirman waktu itu diusung dengan menggunakan tandu dan dipanggul oleh masyarakat secara bergantian. Jalur yang dilalui kemudian adalah melalui Giricahyo, Giripurwo, hingga tiba di Kapanewon Panggang pada siang hari. Setelah istirahat sebentar di kota Kapenewon Panggang, pada jam 16.00 Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan lagi menuju Paliyan melewati jalan besar. Pada malam hari sekitar jam 21.00 Jenderal Soedirman tiba di Padukuhan Karangduwet – Kapanewon Paliyan. Di daerah tersebut beliau beristirahat satu malam di rumah Merto Sayuk, dan sempat mendapatkan hidangan makan malam yang dibuat oleh istri Merto Sayuk. Pagi harinya atau tanggal 21 Desember 1948 jam 08.00, Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan gerilya lagi ke arah Playen. Berdasarkan catatan sejarah, perjalanan tersebut melewati Kalurahan Grogol, Kapanewon Paliyan. Selanjutnya, perjalanan diteruskan lagi ke arah Playen dengan menggunakan andong. Tempat tujuan berikutnya adalah rumah Carik Kalurahan Ngawu (sekarang Kalurahan Playen) yang tinggal di wilayah Padukuhan Cantung (sekarang Padukuhan Jatisari). Carik tersebut bernama Sastro Pratomo. Berdasarkan catatan sejarah dan hasil wawancara kepada narasumber atau saksi hidup, kejadian singgahnya Jenderal Soedirman bisa dipastikan berlangsung pada siang hari dan dalam waktu sekitar 2 atau 3 jam. Tugilah (80 tahun), seorang saksi hidup yang tinggal sejauh 30 meter dari rumah Andang Suhartanto menyaksikan bahwa pada waktu itu sekitar jam 10.00, rombongan Jenderal Soedirman meninggalkan rumah Sastro Pratomo, dengan menggunakan tandu ke arah timur. Tugilah yang waktu itu berusia 10 tahun, menyaksikan sendiri bahwa Jenderal Soedirman singgah di rumah Sastro Pratomo. Tidak dapat diketahui dengan pasti, kejadian yang berlangsung selama 2 atau 3 jam di rumah Sastro Pratomo. Terdapat dugaan, bahwa Jenderal singgah ke rumah tersebut karena faktor kedekatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Sastro Pratomo. Namun dugaan ini perlu dikaji lebih lanjut.Perjalanan Jenderal Soedirman selanjutnya adalah menuju ke Padukuhan Kepek, Kalurahan Kranon–Wonosari. Dari Kranon perjalanan dilanjutkan ke Karangrejek dengan menggunakan andong, singgah di rumah Mangunarjo–Lurah Karangrejek pada waktu itu. Setelah makan siang di rumah Mangunarjo, perjalanan dilanjutkan lagi ke arah Pacarejo, Kapanewon Semanu. Jenderal Soedirman meninggalkan Karangrejek jam 14.00. Sebelum tiba di Pacarejo, Jenderal Soedirman sempat singgah di Kalurahan Duwet. Lurah Duwet pada waktu itu adalah bekas tentara yang berjanji menyediakan pengamanan sehingga Jenderal Soedirman tidak dapat dikenali di daerah tersebut. Tiba di Pacarejo, rombongan Jenderal Soedirman kemudian menginap semalam di rumah Projopranoto–Panewu Semanu pada saat itu. Rumah Projopranoto berada di Kalurahan Pacarejo. Sehari berikutnya atau pada tanggal 22 Desember 1948 jam 17.00 rombongan Jenderal Soedirman tiba di Bedoyo, Kapanewon Ponjong. Perjalanan gerilya selanjutnya diteruskan ke arah timur, masuk ke wilayah Wonogiri dan seterusnya ke arah Ponorogo menggunakan mobil.B. Sejarah Bangunan Rumah Sastro PratomoSastro Pratomo atau Sastro Pratomo atau Carik Cantung yang tinggal di Kalurahan Ngawu pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, merupakan orang tua dari Sri Subening, istri Andang Suhartanto. Sastro Pratomo tidak diketahui tahun kelahirannya. Beliau meninnggal pada tanggal 15 November 1980. Semasa hidup, beliau merupakan sesepuh Desa Playen dan memiliki kedekatan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kedekatan tersebut bisa dibuktikan dengan sebuah prasasti dari Keraton Yogyakarta yang ditujukan kepada Sastro Pratomo. Prasasti dari keraton Yogyakarta tersebut berada di cungkup Makam Sastro Pratomo atau berada di tengah-tengah makam Sastro Pratomo dan Istrinya (lihat foto). Silsilah Sastro Pratomo diduga merupakan keturunan cikal bakal dari penduduk asli Playen. Berkaitan dengan singgahnya Panglima Jenderal Soedirman di rumah Sastro Pratomo pada tanggal 21 Desember 1948, tidak ada informasi yang bisa mengaitkan apakah hal tersebut berkaitan dengan kedekatan beliau dengan Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti, apa yang pernah dilakukan Sastro Pratomo pada pemerintah kolonial waktu itu, namun terdapat informasi dari masyarakat sekitar bahwa pada masa penjajahan, rumah Sastro Pratomo pernah didatangi Belanda. Pada waktu itu prajurit Belanda pernah masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik sisa pembakaran kemenyan yang terdapat di senthong kiwa. Beberapa sesepuh Desa Playen yang berhasil diwawancarai menjelaskan bahwa Sastro Pratomo merupakan seorang penasihat spiritual Raja Kraton Yogyakarta. Menurut kesaksian Tugilah dan Selamet Widodo (62 tahun), Sastro Pratomo beberapa kali pernah dikunjungi oleh Hamengkubuwono IX. Bahkan dalam kunjungan tersebut, Sultan Hamengkubuwono IX pernah pula mengajak puteranya atau Sri Sultan Hamengkubuwono X muda atau sewaktu masih menjadi pangeran. Menurut penjelasan Tugilah, Sastro Pratomo merupakan satu dari empat orang penasihat spiritual Sultan Hamengkubuwono ke IX yang berasal dari Gunungkidul. Oleh sebab itu, beberapa warga yang tinggal di daerah Playen mengenal Satro Pratomo dengan julukan Kyai Metaram. Rumah Sastro Pratomo merupakan bangunan yang didirikan sejak masa sebelum kemerdekaan. Tidak diketahui dengan pasti waktu yang pasti berdirinya, namun berdasarkan penjelasan Tugilah, beliau menyaksikan sendiri bahwa sejak masa kecilnya rumah tersebut sudah berdiri seperti yang terlihat sekarang dan tidak banyak mengalami perubahan. Selamet Widodo menambahkan bahwa pada masa kecilnya rumah Sastro Pratomo sering digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit. Pentas wayang kulit tersebut di gelar di bagian lintring, sementara tamu undangan dan keluarga menonton dari bagian dalam rumah. Kedaan bangunan rumah pada waktu itu hingga sekarang masih sama.Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak keluarga dan sejumlah narasumber di sekitar Playen, maka didapatkan informasi yang berkaitan dengan kepemilikan lahan serta bangunan sepeninggal Sastro Pratomo, sebagai berikut :1. Sastro Pratomo menikah dengan istri pertama yang berasal dari Padukuhan Bogor Playen. Hasil dari pernikahan ini adalah 1 orang anak laki-laki yang bernama Pardal. Pardal sudah berkeluarga dan tinggal di daerah Kasongan Yogya. Pardal memiliki 2 anak perempuan yang biasa dipanggli Nik dan Nuk. Dua orang anak perempuan tersebut mendapatkan warisan tanah di bagian belakang atau pekarangan sisi selatan bangunan rumah Sastro Pratomo.2. Sastro Pratomo kemudian menikah dengan istri kedua yang berasal dari Padukuhan Sumberejo atau sebelah barat Pasar Playen. Istri kedua Sastro Pratomo merupakan anak dari keluarga Pak Naib Playen. Dari pernikahan ini, Sastro Pratomo tidak mendapatkan keturunan. Istri kedua Sastro Pratomo ini disebut mbah gabug, karena tidak memiliki keturunan. Mbah gabug meninggal pada tanggal 10 Maret 1989 dan dimakamkan bersebelahan dengan makam Sastro Pratomo di Pemakaman Sokerten - Playen.3. Sastro Pratomo menikah dengan istri ketiga. Istri ketiga Sastro Pratomo bernama Rembyug yang berasal dari daerah Cantung. Rumah Rembyug berada sekitar 50 meter ke arah timur laut dari Rumah Sastro Pratomo. Dari pernikahannya dengan istri ketiga, lahir 3 orang anak, yaitu : Sri Subening, Barjo, dan Pandilah. Istri yang ketiga saat ini masih hidup dan tinggal di sebelah timur rumah Sastro Pratomo tersebut. Ketiga anak Sastro Pratomo masing-masing mendapatkan warisan: Pandilah mendapatkan bagian tanah pada sisi timur, Barjo mendapatkan bagian tanah pada sisi tengah atau bagian gandok tengen ke timur sampai pagar, dan Sri Subening mendapatkan bagian sisi barat atau bagian bangunan rumah Sastro Pratomo.Dengan demikian hak kepemilikan bangunan rumah Sastro Pratomo telah turun waris ke keluarga Sri Subening dan Andang Suhartanto suaminya. C. Sejarah Rehabilitasi Bangunan RumahBerdasarkan penjelasan Andang Suhartanto, rehabilitasi bangunan yang paling besar terjadi pada bagian lintring, yaitu pada tahun 2017. Sedangkan rehabilitasi yang lain hanya dilakukan pada penggantian lantai keramik tahun 2005 dan 2017, kemudian perbaikan wuwung pada bangunan pendopo dan pringgitan.
Nilai Sejarah : Rumah tradisional milik Andang Suhartanto mempunyai nilai historis karena menjadi bukti bahwa Pangsar Soedirman pernah singgah di rumah pada waktu perang gerilya, tepatnya pada tanggal 19 Desember 1949. Nilai penting sejarah atas kejadian yang berlangsung di rumah tersebut harus diketahui oleh generasi muda dan masyarakat pada umumnya.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Mengandung berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya arkeologi, teknik arsitektur, teknik sipil, administrasi pemerintahan, dan seni.
Nilai Pendidikan : Merupakan monumen hidup yang bisa digunakan sebagai pembelajaran siswa dan generasi muda guna meningkatkan jiwa nasionalisme.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Hak milik perseorangan
Pengelolaan
Nama Pengelola : Hak milik perseorangan