Peristiwa Sejarah |
: |
Kisah perjalanan gerilya pasukan Jenderal Soedirman dimulai ketika Belanda melancarkan agresi militernya dengan menyerbu kota Yogya yang menjadi Ibu Kota RI pada waktu itu, atau dikenal sebagai clash ke-2. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Pendaratan pasukan Belanda ditandai dengan pemboman pangkalan udara Maguwo jam 05.45 pagi oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk, sebelum penerjunan pasukan para militer dengan menggunakan 15 pesawat berjenis Dakota. Pada saat itu pangkalan udara Maguwo hanya diperkuat oleh 150 prajurit Indonesia dengan persenjataan yang sangat minim. Hanya dalam waktu 25 menit, tepat jam 07.10 pangkalan udara Maguwo jatuh dan dikuasai tentara Belanda dengan korban 128 prajurit Indonesia meninggal dunia dan tidak ada korban di pihak musuh.Informasi penyerbuan Belanda ke pangkalan udara Maguwo yang begitu cepat akhirnya sampai ke Jenderal Soedirman yang pada waktu berada di Bintaran Wetan Yogyakarta. Dengan terjadinya agresi militer Belanda ini, tepat pada jam 08.00 pagi Jenderal Soedirman sebagai pimpinan tertinggi TNI mengeluarkan komando bagi pasukan TNI di seluruh Tanah Air atau yang terkenal dengan Perintah Kilat No. 1/PB/D/1948. Berdasarkan perintah kilat tersebut, pasukan TNI melakukan strategi perang dalam melawan Belanda, dengan strategi pertahanan gerilya. Dalam situasi keamanan negara yang tidak terkendali dan ditambah dengan situasi politik dan militer yang genting pada hari itu, Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan untuk bergerilya dan meninggalkan kota Yogya. Setelah mengatur segala strategi sedemikian rupa, tepat jam 11.30 Jenderal Soedirman bersama sejumlah prajuritnya meninggalkan rumah dinasnya, melakukan perjalanan ke arah selatan, dengan tujuan Gunungkidul.Perjalanan gerilya Jenderal Soedirman berlangsung sejak tanggal 19 Desember 1949 dan berakhir pada tanggal 10 Juli 1949, menempuh jarak 1.010 km. Medan perang gerilya Soedirman yang begitu luas meliputi daerah-daerah yang saat ini masuk ke dalam wilayah Propinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selama berlangsung perang gerilya, Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di Propinsi DIY yang pernah dilalui oleh Jenderal Soedirman. Daerah-daerah yang pernah dilalui perang gerilya tersebut tersebut terbagi atas 2 buah jalur, yaitu jalur keberangkatan dan jalur kembali ke Yogya. Jalur keberangkatan adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada tanggal 19 – 22 Desember 1949. Jalur tersebut melalui daerah di wilayah Girijati, Giricahyo, Giripurwo, Panggang, Paliyan, Playen, Wonosari, Karangmojo, dan Ponjong. Sedangkan jalur kembali ke Yogya adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada sekitar awal bulan Juli tahun 1949. Jalur tersebut melalui daerah-daerah di wilayah Ponjong, Karangmojo, Semanu, dan Patuk. A. Sejarah Perjalanan Jenderal Soedirman di Kapanewon PlayenKronologi perjalanan gerilya Jenderal Soedirman di Gunungkidul, dimulai pada tanggal 20 Desember 1948 dari wilayah Kalurahan Girijati yang berada di perbatasan dengan Kapanewon Kretek Kabupaten Bantul. Wilayah Girijati memiliki topografi pegunungan kapur yang terjal dan hanya bisa dilalui dengan jalan setapak. Kondisi tersebut diperparah dengan kesehatan Jenderal Soedirman yang sakit TBC, sehingga menyebabkan perjalanan gerilya di daerah tersebut mengalami kelambatan. Menurut catatan sejarah, Jenderal Soedirman waktu itu diusung dengan menggunakan tandu dan dipanggul oleh masyarakat secara bergantian. Jalur yang dilalui kemudian adalah melalui Giricahyo, Giripurwo, hingga tiba di Kapanewon Panggang pada siang hari. Setelah istirahat sebentar di kota Kapanewon Panggang, pada jam sore hari Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan lagi menuju Paliyan melewati jalan besar. Pada malam hari Jenderal Soedirman tiba di Padukuhan Karangduwet – Kapanewon Paliyan. Di daerah tersebut beliau beristirahat satu malam di rumah Merto Sayuk, dan sempat mendapatkan hidangan makan malam yang dibuat oleh istri Merto Sayuk. Dini hari Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan gerilya lagi ke arah Playen. Tempat tujuan berikutnya adalah rumah Carik Kalurahan Ngawu (sekarang Kalurahan Playen) yang tinggal di wilayah Padukuhan Cantung (sekarang Padukuhan Jatisari). Carik tersebut bernama Sastro Pratomo. Berdasarkan catatan sejarah dan hasil wawancara kepada narasumber atau saksi hidup, kejadian singgahnya Jenderal Soedirman bisa dipastikan berlangsung pada siang hari dan dalam waktu sekitar 2 atau 3 jam. Tugilah (80 tahun), seorang saksi hidup yang tinggal sejauh 30 meter dari rumah Sri Subening menyaksikan bahwa pada waktu itu sekitar jam 10.00, rombongan Jenderal Soedirman meninggalkan rumah Sastro Pratomo, dengan menggunakan tandu ke arah timur. Tugilah yang waktu itu berusia 10 tahun, menyaksikan sendiri bahwa Jenderal Soedirman singgah di rumah Sastro Pratomo. Tidak dapat diketahui dengan pasti, kejadian yang berlangsung selama 2 atau 3 jam di rumah Sastro Pratomo. Terdapat dugaan, bahwa Jenderal singgah ke rumah tersebut karena faktor kedekatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Sastro Pratomo. Namun dugaan ini perlu dikaji lebih lanjut.Perjalanan Jenderal Soedirman selanjutnya adalah menuju ke Padukuhan Kepek, Kalurahan Kranon–Wonosari. Dari Kranon perjalanan dilanjutkan ke Karangrejek dengan menggunakan andong, singgah di rumah Mangunarjo–Lurah Karangrejek pada waktu itu. Setelah makan siang di rumah Mangunarjo, perjalanan dilanjutkan lagi ke arah Pacarejo, Kapanewon Semanu. Jenderal Soedirman meninggalkan Karangrejek siang hari. Sebelum tiba di Pacarejo, Jenderal Soedirman sempat singgah di Kalurahan Duwet. Lurah Duwet pada waktu itu adalah bekas tentara yang berjanji menyediakan pengamanan sehingga Jenderal Soedirman tidak dapat dikenali di daerah tersebut. Tiba di Pacarejo, rombongan Jenderal Soedirman kemudian menginap semalam di rumah Projopanoto–Panewu Semanu pada saat itu. Rumah Projopranoto berada di Kalurahan Pacarejo. Sehari berikutnya atau pada tanggal 22 Desember 1948 sekitar sore hari rombongan Jenderal Soedirman tiba di Bedoyo, kapanewon Ponjong. Perjalanan gerilya selanjutnya diteruskan ke arah timur, masuk ke wilayah Wonogiri dan seterusnya ke arah Ponorogo menggunakan mobil. B. Sejarah Kepemilikan Satu Set Meja Kursi Peninggalan Sastro PratomoMenurut penjelasan Sri Subening, meja kursi peninggalan Sastro Pratomo merupakan warisan ayahnya yang diberikan bersama dengan bangunan rumah yang ditempatinya sekarang. Sri Subening merupakan anak pertama dari Istri ketiga Sastro Pratomo yang bernama Rembyug. Dari kelima anaknya, Sri Subening mendapatkan bagian warisan rumah tabon atau rumah Sastro Pratomo beserta perabot yang ada didalamnya.C. Sejarah Perbaikan Satu Set Meja Kursi Peninggalan Sastro Pretomo.Kursi tersebut tidak dipakai sejak lama, sekitar tahun 1970an. Menurut penjelasan Sri Subening, meja kursi yang pernah digunakan untuk lenggah Jenderal Soedirman merupakan kursi yang malati atau kursi yang memiliki rajah atau berisi. Hal itu karena kursi tersebut diyakini oleh penghuni rumah hanya boleh didudukki oleh orang tertentu. Sejak kejadian tahun 1970-an, ketika seorang tamu yang mengalami kesurupan ketika duduk di kursi tersebut, Sastro Pratomo almarhum memutuskan untuk tidak menggunakan kursi tersebut. Namun demikian, meja kursi tetap diletakkan di ruang omah ngarep hingga saat ini. |