Dipan milik Sri Subening merupakan sebuah perabot untuk tidur dari bahan kayu jati peninggalan Sastro Pratomo. Dipan dalam istilah masyarakat Gunungkidul merupakan sebuah tempat tidur dari material kayu jati yang memiliki empat buah tiang penyangga yang dirangkai sedemikian rupa sehingga pada bagian atas dapat digunakan untuk meletakkan kelambu. Dipan milik Sri Subening memiliki ukuran panjang x lebar x tinggi = 206 cm x 129 cm x 188cm. Menurut penjelasan Sri Subening, Dipan tersebut terakhir kali dipakai untuk tidur Nyai Sastro Pratomo atau Ibu Sri Subening. Tetapi sejak Nyai Sastro Pratomo meninggal tahun 1989, dipan tersebut tidak pernah digunakan lagi.
Saat ini dipan milik Sri Subening berada di sisi barat laut bangunan ndalem, tepatnya di depan ruang senthong kiwa, berdekatan dengan pintu. Kondisi dipan hanya terdiri dari rangkaian kayu atau ragangan dipan tanpa alas, tanpa kasur, dan tanpa kelambu. Menurut cerita Sastro Pratomo yang dijelaskan kembali oleh Sri Subening, ketika Jenderal Soedirman beristirahat di rumah tersebut, beliau memilih beristirahat di dipan tersebut. Menurut penjelasan Sri Subening lagi, Jenderal Soedirman memilih beristirahat di dipan yang berada dekat dengan pintu, dengan alasan agar mudah melarikan diri jika sewaktu-waktu Belanda datang ke rumah tersebut.
Secara fisik kayu dipan sudah sangat aus. Pada bagian sudut kaki dipan terdapat sejumlah perkuatan dengan menambahkan kayu trebil yang dipaku sekedarnya. Sekeliling alas dipan terdapat wengku setinggi 17 cm. Pada atas, kayu pengikat sudah lepas dan tidak mengait. Secara umum bentuk dipan berada dalam posisi miring.
Keterawatan | : | / |
Dimensi Benda | : |
Panjang 206 Lebar 126 Tinggi 188 Tebal - Diameter - Berat - |
Peristiwa Sejarah | : | Kisah perjalanan gerilya pasukan Jenderal Soedirman dimulai ketika Belanda melancarkan agresi militernya dengan menyerbu kota Yogya yang menjadi Ibu Kota RI pada waktu itu, atau dikenal sebagai clash ke-2. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Pendaratan pasukan Belanda ditandai dengan pemboman pangkalan udara Maguwo jam 05.45 pagi oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk, sebelum penerjunan pasukan para militer dengan menggunakan 15 pesawat berjenis Dakota. Pada saat itu pangkalan udara Maguwo hanya diperkuat oleh 150 prajurit Indonesia dengan persenjataan yang sangat minim. Hanya dalam waktu 25 menit, tepat jam 07.10 pangkalan udara Maguwo jatuh dan dikuasai tentara Belanda dengan korban 128 prajurit Indonesia meninggal dunia dan tidak ada korban di pihak musuh.Informasi penyerbuan Belanda ke pangkalan udara Maguwo yang begitu cepat akhirnya sampai ke Jenderal Soedirman yang pada waktu berada di Bintaran Wetan Yogyakarta. Dengan terjadinya agresi militer Belanda ini, tepat pada jam 08.00 pagi Jenderal Soedirman sebagai pimpinan tertinggi TNI mengeluarkan komando bagi pasukan TNI di seluruh tanah air atau yang terkenal dengan Perintah Kilat No. 1/PB/D/1948. Berdasarkan perintah kilat tersebut, pasukan TNI melakukan strategi perang dalam melawan Belanda, dengan strategi pertahanan gerilya. Dalam situasi keamanan negara yang tidak terkendali dan ditambah dengan situasi politik dan militer yang genting pada hari itu, Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan untuk bergerilya dan meninggalkan kota Yogya. Setelah mengatur segala strategi sedemikian rupa, pada sore hari Jenderal Soedirman berangkat dari Gedung Mangkubumen Yogyakarta pergi ke arah selatan menuju Kretek – Kabupaten Bantul.Perjalanan gerilya Jenderal Soedirman berlangsung sejak tanggal 19 Desember 1948 dan berakhir pada tanggal 10 Juli 1949, menempuh jarak 1.010 km. Medan perang gerilya Soedirman yang begitu luas meliputi daerah-daerah yang saat ini masuk ke dalam wilayah Propinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selama berlangsung perang gerilya, Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di Propinsi DIY yang pernah dilalui oleh Jenderal Soedirman. Daerah-daerah yang pernah dilalui perang gerilya tersebut tersebut terbagi atas dua buah jalur, yaitu jalur keberangkatan dan jalur kembali ke Yogya. Jalur keberangkatan adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada tanggal 19 – 22 Desember 1948. Jalur tersebut melalui daerah di wilayah Girijati, Giricahyo, Giripurwo, Panggang, Paliyan, Playen, Wonosari, Karangmojo, dan Ponjong. Sedangkan jalur kembali ke Yogya adalah ketika perjalanan gerilya yang berlangsung pada sekitar awal bulan Juli tahun 1949. Jalur tersebut melalui daerah-daerah di wilayah Ponjong, Karangmojo, Semanu, dan Patuk. A. Sejarah Perjalanan Jenderal Soedirman di Kapanewon PlayenKronologi perjalanan gerilya Jenderal Soedirman di Gunungkidul, dimulai pada tanggal 20 Desember 1948 dari wilayah Kalurahan Girijati yang berada di perbatasan dengan Kapanewon Kretek Kabupaten Bantul. Wilayah Girijati memiliki topografi pegunungan kapur yang terjal dan hanya bisa dilalui dengan jalan setapak. Kondisi tersebut diperparah dengan kesehatan Jenderal Soedirman yang sakit TBC, sehingga menyebabkan perjalanan gerilya di daerah tersebut mengalami kelambatan. Menurut catatan sejarah, Jenderal Soedirman waktu itu diusung dengan menggunakan tandu dan dipanggul oleh masyarakat secara bergantian. Jalur yang dlalui kemudian adalah melalui Giricahyo, Giripurwo, hingga tiba di Kapanewon Panggang pada siang hari. Setelah istirahat sebentar di kota Kapanewon Panggang, pada jam sore hari Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan lagi menuju Paliyan melewati jalan besar. Pada malam hari Jenderal Soedirman tiba di Padukuhan Karangduwet–Kapanewon Paliyan. Di daerah tersebut beliau beristirahat satu malam di rumah Merto Sayuk, dan sempat mendapatkan hidangan makan malam yang dibuat oleh istri Merto Sayuk. Dini hari Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan gerilya lagi ke arah Playen. Tempat tujuan berikutnya adalah rumah Carik Kalurahan Ngawu (sekarang Kalurahan Playen) yang tinggal di wilayah Padukuhan Cantung (sekarang Padukuhan Jatisari). Carik tersebut bernama Sastro Pratomo. Berdasarkan catatan sejarah dan hasil wawancara kepada sejumlah narasumber atau saksi hidup, kejadian singgahnya Jenderal Soedirman bisa dipastikan berlangsung pada siang hari dan dalam waktu sekitar 2 atau 3 jam. Tugilah (80 tahun), seorang saksi hidup yang tinggal sejauh 30 meter dari rumah Sri Subening menyaksikan bahwa pada waktu itu sekitar jam 10.00, rombongan Jenderal Soedirman meninggalkan rumah Sastro Pratomo, dengan menggunakan tandu ke arah timur. Tugilah yang waktu itu berusia 10 tahun, menyaksikan sendiri bahwa Jenderal Soedirman singgah di rumah Sastro Pratomo. Tidak dapat diketahui dengan pasti, kejadian yang berlangsung selama 2 atau 3 jam di rumah Sastro Pratomo. Terdapat dugaan, bahwa Jenderal singgah ke rumah tersebut karena faktor kedekatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Sastro Pratomo. Namun dugaan ini perlu dikaji lebih lanjut.Perjalanan Jenderal Soedirman selanjutnya adalah menuju ke Padukuhan Kepek, Kalurahan Kranon–Wonosari. Dari Kranon perjalanan dilanjutkan ke Karangrejek dengan menggunakan andong, singgah di rumah Mangunarjo–Lurah Karangrejek pada waktu itu. Setelah makan siang di rumah Mangunarjo, perjalanan dilanjutkan lagi ke arah Pacarejo, Kapanewon Semanu. Jenderal Soedirman meninggalkan Karangrejek siang hari. Sebelum tiba di Pacarejo, Jenderal Soedirman sempat singgah di Kalurahan Duwet. Lurah Duwet pada waktu itu adalah bekas tentara yang berjanji menyediakan pengamanan sehingga Jenderal Soedirman tidak dapat dikenali di daerah tersebut. Tiba di Pacarejo, rombongan Jenderal Soedirman kemudian menginap semalam di rumah Projopanoto–Panewu Semanu pada saat itu. Rumah Projopranoto berada di Kalurahan Pacarejo. Sehari berikutnya atau pada tanggal 22 Desember 1948 sekitar sore hari rombongan Jenderal Soedirman tiba di Bedoyo, Kapanewon Ponjong. Perjalanan gerilya selanjutnya diteruskan ke arah timur, masuk ke wilayah Wonogiri dan seterusnya ke arah Ponorogo menggunakan mobil. B. Sejarah Kepemilikan Dan Perbaikan Dipan Peninggalan Sastro PratomoMenurut penjelasan Sri Subening, dipan peninggalan Sastro Pratomo merupakan salah satu benda warisan keluarga selain benda-benda yang lain termasuk bangunan rumah yang ditempatinya sekarang. Sri Subening merupakan anak pertama dari Istri ketiga Sastro Pratomo yang bernama Rembyug. Dari kelima anak Sastro Pratomo, Sri Subening mendapatkan bagian warisan rumah tabon atau rumah Sastro Pratomo beserta perabot yang ada didalamnya. Demikian bisa terjadi, diduga karena Sri Subening sewaktu masih kecil pernah di angkat anak oleh Nyai Sastro Pratomo yang tidak memiliki keturunan, meskipun faktanya ibu kandung Sri Subening yang bernama Rembyug merupakan istri ketiga Sastro Pratomo.Menurut penjelasan Sri Subening, dipan yang pernah digunakan untuk istirahat Jenderal Soedirman merupakan perabot asli peninggalan Sastro Pratomo. Pada masa lalu, dipan tersebut digunakan untuk tidur Ibu Sri Subening atau Nyai Sastro Pratomo. Namun sejak Nyai Sastro Pratomo meninggal dunia pada tahun 1998, dipan tersebut tidak pernah digunakan lagi. |
Nilai Sejarah | : | Menjadi bukti bahwa Jenderal Soedirman pada waktu perang gerilya tahun 1948 pernah singgah dan beristirahat di rumah tersebut. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa di daerah Kalurahan Playen terdapat rumah yang bersejarah karena menjadi tempat persinggahan Jenderal Soedirman ketika melakukan perang gerilya, bahkan di dalam rumah tersebut juga terdapat benda-benda bersejarah yang pernah digunakan oleh beliau ketika singgah di rumah tersebut.Menunjukkan kepada masyarakat bahwa pada masa kemerdekaan masyarakat Gunungkidul sudah mengenal model dipan dengan kelambu dan masih dikembangkan oleh pembuat meubel hingga saat ini. |
Nilai Pendidikan | : | Memberikan pemahaman kepada generasi penerus untuk bisa selalu menghargai benda-benda bernilai historis sebagai satu kekayaan budaya dan melestarikannya. |
Nilai Budaya | : | Menumbuhkan semangat patriotisme generasi muda, meneladani jiwa semangat perjuangan Jenderal Soedirman dalam bertempur melawan penjajah Belanda. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Milik keluarga Ibu Sri Subening |
Nama Pengelola | : | Milik keluarga Ibu Sri Subening |