Rumah Tradisional Kromopawiro merupakan rumah tradisonal yang didirikan pada tahun 1918 di Padukuhan Genjahan, Kalurahan Genjahan, Kapanewon Ponjong. Kromopawiro adalah Pejabat Lurah pertama yang memerintah di Kalurahan Genjahan selama kurun waktu tahun 1912 – 1943. Berdasarkan tulisan Sejarah Desa Genjahan Ponjong yang dimuat dalam situs web resmi Desa Genjahan, pada tahun 1912 terjadi perubahan sistem pemerintahan dari Kademangan ke Kalurahan. Pada masa sebelum tahun 1912, daerah Genjahan diketahui merupakan bagian dari wilayah Kademangan Pati. Wilayah kademangan tersebut diketahui saat ini berada di sekitar Kalurahan Genjahan. Pergantian sistem pemerintahan tersebut berlangsung pada tanggal 28 Agustus 1912, dan ditetapkan menjadi hari kelahiran Kalurahan Genjahan. Pada waktu itu, penggunaan rumah lurah sebagai kantor pemerintahan Kalurahan biasa terjadi di Gunungkidul. Rumah Kromopawiro merupakan salah satu rumah tempat tinggal lurah sekaligus menjadi kantor pemerintahan desa.
Rumah Tradisional Kromopawiro selanjutnya digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Alimu Harjodisastro. Alimu Harjodisastro merupakan cucu pertama Kromopawiro. Orang tua Alimu Harjodisastro adalah Prawirodiharjo dan Basirah. Prawirodiharjo waktu itu menjabat sebagai Lurah Wirik Wetan, sementara Basirah atau Ibu dari Alimu Harjodisastro adalah anak tunggal Kromopawiro. Menurut tulisan Sejarah Kalurahan Genjahan, Peralihan pimpinan dari Kromopawiro ke Alimu Harjodiosastro berlangsung secara demokratis. Hal itu bisa terjadi karena sebelum dipilih sebagai Lurah Genjahan, Alimu Harjodisastro menjabat menjadi sekretaris Kalurahan atau carik. Peristiwa pergantian pergantian kepemimpinan di Kalurahan Genjahan tersebut berlangsung pada tahun 1943. Alimu Harjodisastro menjabat sebagai Lurah Genjahan hingga tahun 1968.
Alimu Harjodisastro menikah dengan Katijah atau Kotijah pada tanggal 8 November 1940. Menurut penuturan masyarakat di Padukuhan Genjahan, Katijah adalah anak keluarga pedagang ternama di Pasar Ponjong. Menurut penjelasan Wuryanto (61 tahun), Alimu Harjodisastro dan Katijah memiliki sebelas anak yang lahir dan dibesarkan di rumah peninggalan Kromopawiro. Wuryanto adalah anak nomor sembilan Alimu Harjodisastro dan Katijah.
Selanjutnya menurut Wuryanto, pada saat beliau masih kecil, bangunan rumah Lurah Kromopawiro terdiri atas bangunan joglo, serambi joglo, lintring, limasan, gandhok dan dapur. Bangunan rumah tersebut berada 30 meter di sebelah utara Pasar Wage atau Pasar Padukuhan Genjahan saat ini. Rumah tersebut menghadap ke arah selatan dan posisinya tidak berubah hingga sekarang. Pasar Wage saat ini berada di sisi utara sebuah pertigaan jalan besar. Pertigaan tersebut mempertemukan tiga buah jalan yaitu dari arah Wonosari di sisi selatan, dari arah Karangmojo di sisi barat, dan dari arah Kalurahan Umbulrejo di sisi timur. Menurut keterangan masyarakat setempat dan penjelasan Wuryanto, rumah Lurah Kromopawiro digunakan sebagai Balai Kalurahan pada periode tahun 1912–1953 dan menjadi bangunan sekolah dasar hingga tahun 1966. Bangunan yang digunakan sebagai kegiatan pemerintahan dan sekolah adalah bangunan gandhok tengen, Joglo dan serambi joglo. Sayang sekali, sejumlah bangunan yang disebutkan oleh Wuryanto tersebut sudah tidak bisa disaksikan lagi saat ini. Salah satunya yang hilang adalah bangunan Joglo yang sudah pindah ke Jakarta pada tahun 1977. Menurut Wuryanto, Joglo tersebut saat ini digunakan sebagai kantor Sekretariat Ikatan Keluarga Besar Gunungkidul (IKG).
Bangunan Rumah Tradisional Lurah Kromopawiro saat ini terdiri atas bangunan lintring di sisi selatan, bangunan ndalem beratap limasan dan bangunan dapur yang merupakan bangunan tambahan di sisi utara. Bangunan tersebut berada di atas tanah yang sudah dibagi waris dan berada tepat di atas tanah milik Suharyanto dan Wuryanto. Menurut penjelasan Wuryanto, posisi bangunan ndalem tepat berada di tengah-tengah kedua lahan tersebut. Setengah bangunan ndalem sisi utara berada di tanah milik Suharyanto, sementara setengah bangunan ndalem ke selatan berada di tanah milik Wuryanto.
Berdasarkan pengamatan terhadap bangunan tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Bangunan Lintring
Bangunan lintring memiliki bentuk bangunan tertutup dan saat ini menjadi bangunan depan Rumah Tradisional Lurah Kromopawiro. Bangunan lintring memiliki lima buah pintu yaitu sebuah pintu dengan inep (daun pintu) satu di sisi barat dan timur dan tiga pintu di gebyok sisi selatan atau depan. Tiga pintu sisi depan tersebut terdiri dari sebuah pintu berinep dua pada sisi tengah diapit sebuah pintu berinep satu pada sisi kiri dan kanan. Jendela pada bagian lintring hanya terdapat dua buah pada sisi selatan, masing-masing memiliki dua buah inep (lihat lampiran foto). Deskripsi detail bangunan lintring adalah sebagai berikut:
- Lantai
Pada bagian ini, lantai bangunan lintring dibuat dari bahan tegel dengan material batu putih persegi berukuran 20 x 20 cm pada sisi utara dan 30 cx 30 cm pada sisi selatan. Diantara kedua sisi permukaan lantai tersebut terdapat batu giring (semacam pondasi yang dibuat batu putih berbentuk balok) yang dipasang membatasi kedua bagian. Bagian lantai sisi selatan memiliki beda tinggi 15 cm lebih rendah dari sisi utara dan batu giring menjadi penahan lantai sisi utara. Menurut penjelasan Wuryanto, lantai dari bahan batu putih semula menggunakan bahan sesek yang sudah aus kemudian diganti dengan tegel batu putih. Penggantian tersebut berlangsung pada sekitar tahun 1970an.
- Dinding dan pintu.
Dinding pada bangunan lintring merupakan gebyok. Gebyok terbuat dari bahan kayu jati. Warna gebyok masih warna kayu asli, yaitu cokelat tua kusam. Menurut penjelasan Wuryanto, gebyok sisi selatan bangunan lintring merupakan gebyok yang berasal dari bangunan Joglo yang tidak ikut diboyong ke Jakarta. Dugaan sementara ini, gebyok pada sisi depan merupakan gebyok sisi emper utara bekas bangunan Joglo. Seluruh dinding gebyok yang terdapat di lintring di pasang diantara tiang penyangga atap dengan pantek atau paku dari bambu sebagai penahan.
- Struktur penyangga atap
Struktur penyangga atap terdiri dari enam buah tiang kayu pada sisi selatan. Sementara itu, pada sisi utara atap lintring ditopang oleh soko emper bangunan ndalem. Pertemuan kedua sisi tersebut ditutup dengan talang seng. Struktur penyangga atap terdiri dari tiga buah ander yang menopang molo dan tanpa sunduk sebagai pengikat tiang.
- Atap
Bangunan lintring memiliki atap berbentuk limasan. Menurut penjelasan Wuryanto, bangunan lintring semula merupakan perluasan emper dari bangunan ndalem yang menghubungkan antara bangunan ndalem dan joglo. Pada tahun 1953, bangunan perluasan emper dibangun ulang menjadi bangunan beratap limasan. Usuk dan reng pada sisi perluasan emper tetap digunakan menjadi usuk sisi utara, sementara usuk dan reng pada atap sisi selatan merupakan material baru. Usuk memiliki susunan berbentuk rigereh, dan genteng berjenis flam. Pada bagian bubungan ditutup dengan wuwung seng dengan hiasan puncak berupa gunungan wayang berangka tahun 2019.
2. Bangunan ndalem beratap limasan.
Bangunan ndalem merupakan bangunan yang dibangun pada tahun 1918. Menurut Wuryanto, sebelum didirikan di Genjahan, bangunan tersebut milik Ngabehi Ngebrak Semanu. Saat ini ruangan yang terdapat di bangunan ndalem terdiri dari ruang keluarga sekaligus ruang tamu di sisi tengah, kamar tidur di sisi barat yang menyambung dengan bangunan senthong kanan, ruang makan disisi selatan (dengan partisi sebuah hek, ruang tidur di sisi utara (senthong tegah menyatu dengan senthong kiri) dan ruang penghubung dapur di sisi timur laut. Bangunan ndalem memiliki cukup banyak pintu. Dari keseluruhan pintu dan jendela memiliki posisi yang simetris. Deskripsi atas kelengkapan bangunan sebagai berikut :
- Lantai
Material lantai dari tegel batu putih. Pada bagian ini menurut penjelasan Wuryanto, semula lantai ndalem ditutup dengan sesek. Namun pada tahun 1970 sesek tersebut diganti dengan tegel batu putih karena sudah aus. Menurut penjelasan Sudarsini (80 tahun) – putri pertama Alimu Harjodisastro, sebenarnya sewaktu masih menggunakan lantai sesek, pada bagian lantai ndalem sisi selatan atau di sepanjang soko limasan selatan terdapat giring. Giring tersebut menjadi pembatas dua sisi lantai yaitu ketinggian lantai sisi selatan bangunan ndalem lebih rendah dari lantai sisi utara. Namun ketika sesek diganti, permukaan lantai bangunan ndalem dibuat satu level dan giring yang disebutkan Sudarsini ditutup oleh lantai tegel.
- Dinding
Dinding bangunan ndalem ditutup dengan gebyok. Yang cukup unik dari gebyok tersebut adalah bahwa pada sisi yang tampak dari luar, gebyok dibuat dengan halus dengan pasah, sementara pada sisi dalam dibuat dengan pecelan (lihat foto). Seluruh dinding gebyok yang terdapat di lintring di pasang diantara tiang penyangga atap dengan pantek atau paku dari bambu sebagai penahan.
- Struktur penyangga atap
Sebagai penyangga atap limasan, terdapat struktur yang berupa soko guru limasan, blandar, sunduk, geganja, dhadha peksi limasan, ander dan molo. Tiang penyangga atap terdiri dari soko guru limasan berjumlah 8 dan soko emper berjumlah 18. Semua soko didirikan di atas umpak dari bahan batu putih berbentuk persegi.
- Atap
Pada bagian atap ndalem, atap limasan ditutup dengan genteng keripik. Genteng tersebut ditopang oleh usuk dan reng yang memiliki bentuk pemasangan rigereh. Pada bagian bubungan ditutup dengan wuwung seng dengan hiasan puncak berupa gunungan wayang berangka tahun 2019.
3. Ragam Hias, kaerifan lokal dan keunikan bangunan
Ragam hias dan keunikan bangunan yang terlihat di Rumah Tradisional Kromopawiro diantaranya adalah sebagai berikut :
- Pola hias tlancapan,
- Pola hias pada geganja yang berbentuk ukel dengan ukiran semacam antefik berpola hias floral,
- Dekorasi pada pintu senthong tengah berupa ukiran geometris,
- Ukiran bintang ditengah bulatan yang terdapat pada pintu ndalem masuk sisi selatan atau depan.
Kearifan lokal yang terlihat di Rumah Tradisional Kromopawiro diantaranya adalah sebagai berikut :
- Model pecelan pada papan gebyok,
- Pemasangan gebyok menggunakan pantek atau paku dari bambu,
- Pengunci pintu dengan menggunakan slorokan,
- Penggunaan tegel dari bahan batu putih,
- Pasangan giring sebagai perkuatan tanah.
Keunikan bangunan yang terlihat di Rumah Tradisional Lurah Kromopawiro diantaranya adalah sebagai berikut :
- Bentuk simetris pada posisi pintu dan jendela,
- Engsel pintu yang menggunakan engsel besi yang kuat,
- Handle pintu yang terbuat dari besi berbentuk bulat seperti gelang,
- Jika dilihat dari elevasi permukaan lantai, terdapat upaya peninggian lantai yang berbeda pada bangunan lintring dan ndalem. Bangunan lintring memiliki elevasi yang lebih rendah dibandingkan lantai ndalem. Berdasarkan penjelasan Wuryanto, bagian halaman depan atau bekas bangunan joglo memiliki elevasi permukaan lantai yang paling rendah. Terdapat dugaan bahwa peninggian tersebut merupakan struktur penataan ruang bangunan yang meniru punden berundak. Struktur punden berundak pada bangunan biasanya berupa teras atau trap berganda yang mengarah pada satu titik dengan tiap teras semakin tinggi posisinya. Struktur semacam ini sering ditemukan pada situs kepurbakalaan di Nusantara, sehingga dianggap sebagai salah satu ciri kebudayaan asli Nusantara.
4. Kerusakan bangunan.
Berdasarkan pengamatan terhadap bangunan secara keseluruhan, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Bangunan rumah Kromopawiro berada pada posisi miring ke arah barat daya. Kemiringan disebabkan karena salah satu tiang soko emper ndalem mengalami pergeseran, yang disebabkan karena penahan tanah melesat ke arah barat. Pada sisi luar bangunan ndalem terlihat pasangan nat tegel batu putih yang melebar, merupakan salah satu indikasi dari pergerakan tanah tersebut. Secara teknis pergeseran ini menyebabkan gaya tarik pada sisi atap ke arah barat daya sehingga tiang doyong ke arah barat daya. Perlu kajian teknis lebih lanjut, berkaitan dengan kemiringan bangunan ini.
- Kayu blandar dan usuk banyak yang aus dan keropos karena dimakan usia.
Bangunan rumah saat ini masih digunakan sebagai tempat tinggal Ibu Katijah (98 tahun) dengan anak bungsunya yang bernama Nurini Widyaningsih.