Rumah Tradisional Lurah Sumardi Wignyoatmojo merupakan rumah yang bersejarah karena pernah digunakan sebagai rumah tempat tinggal lurah sekaligus menjadi bangunan Balai Kalurahan Karangasem sejak masa pemerintahan Lurah Martorejo, sebelum masa kemerdakaan. Rumah tersebut beralamat di RT 03 RW 10 Padukuhan Mengger, Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan. Rumah tersebut berlokasi di sebelah timur bangunan Balai Kalurahan Karangasem yang terletak di tepi jalan raya Paliyan–Wonosari, tepatnya berada di selatan jalan menghadap ke arah utara.
Bangunan Rumah Tradisional Lurah Sumardi Wignyoatmojo saat ini digunakan sebagai tempat tinggal Kartiyah (85 tahun)–istri Sumardi, beserta keluarga kedua anaknya. Bangunan tersebut menempati sebuah lahan dengan luas 4.593 m². Lahan pada sisi utara atau yang berada di tepi jalan besar merupakan pekarangan atau halaman depan, sementara lahan di sisi selatan atau di belakang halaman rumah digunakan sebagai areal pertanian. Dilihat dari tata ruang keseluruhan areal tanah itu adalah sebagai berikut : pada bagian pekarangan terdapat tanah terbuka di sisi utara, kemudian secara berurutan terdapat bangunan rumah beratap kampung sebagai bangunan paling depan, bangunan joglo, bangunan rumah beratap limasan yang disebut ndalem dan bangunan dapur yang beratap limasan di sebelah timur ndalem. Dari keseluruhan bangunan tersebut, bangunan rumah beratap kampung yang berada di bagian paling depan tidak dimasukkan sebagai bangunan cagar budaya, karena bangunan tersebut relatif baru.
Berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan bangunan yang berada di lokasi, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Bangunan rumah beratap kampung.
Bangunan ini relatif baru karena didirikan sekitar tahun 1971. Bangunan terbuat dari material tembok. Menurut penjelasan Edi Kuntoro (57 tahun)–anak pertama Sumardi, bangunan bagian depan ini semula adalah lintring. Namun lintring tersebut diberikan ke anak pertama Sumardi yang bernama Sri Bandini (71 tahun). Bangunan lintring waktu itu di bawa ke Siyono. Sebagai gantinya, didirikan bangunan baru dengan atap kampung.
2. Bangunan Joglo
Bangunan joglo berada di depan bangunan beratap kampung. Bangunan joglo saat ini digunakan sebagai rumah untuk keluarga Edi Kuntoro. Sebagian dari ruangan joglo digunakan sebagai ruang keluarga dan kamar tidur.
Lantai joglo dibuat dari bahan semen pelur. Pada bagian tepi bangunan atau tepatnya dibawah gebyok terdapat pasangan giring atau blok batu putih. Dinding sekeliling joglo dibuat dari gebyok. Salah satu pintu pada sisi utara, terdapat ventilasi dengan ornamen geometris belah ketupat (lihat foto nomor 10). Pada bagian tiang terdapat umpak berbentuk persegi dengan material dari batu putih. Tiang penyangga atau soko guru berdimensi 16 cm x 16 cm x 210 cm. Seluruh kayu dinding dan tiang dicat dengan warna coklat tua sejenis mowilex.
Struktur penyangga atap terdiri atas sunduk, sunduk kili, tumpang sari, uleng, nok, ander dan brunjung. Hiasan pada dhadha peksi terdiri dari motif flora (sulur suluran dan bunga) dan geometris. Warna yang digunakan untuk pengecatan dhadha peksi adalah kuning, biru, putih, merah dan hijau (lihat foto nomor 5). Dalam rumah joglo umumnya terdapat dua buah uleng yang berada di sebelah kanan dan kiri dhadha peksi. Uleng umunya berbentuk susunan kayu semacam tumpang sari namun dengan susunan mengerucut ke bagian dalam. Dua buah uleng di Rumah Tradisional Sumardi saat ini ditutup dengan papan. Dengan demikian, uleng tersebut tidak terlihat dari bawah. Pada keempat sudut tumpangsari sisi atas di beri ornamen kebenan, yang memiliki fungsi sebagai pengunci.
Pada bagian atap, pasangan usuk dan reng berbentuk ri gereh, sementara genteng menggunakan jenis keripik. Bubungan ditutup dengan wuwung seng. Kemuncak wuwung joglo berhias semacam punden berundak. Kondisi wuwung seng tersebut sebagian rusak dan berwarna hitam kecoklatan karena karat.
Pada sisi barat joglo terdapat sekat yang digunakan untuk kamar tidur. Sekat terbuat dari papan kayu setinggi 2 meter, dengan sebuah pintu di sisi utara.
3. Bangunan rumah beratap limasan atau ndalem
Bangunan ndalem saat ini digunakan sebagai kamar tidur Kartiyah dan ruang keluarga Umi Widayati. Pada bagian tengah terdapat dua buah tempat tidur, sementara pada sisi selatan dijadikan tiga buah kamar, juga untuk kamar tidur. Masih terdapat pintu untuk senthong tengah, kiwo dan tengah, namun menurut Edi Kuntoro ketiga ruang tersebut sudah lama tidak digunakan sebagaimana ruang senthong dalam Bangunan Jawa Tradisional. Pada sekeliling bangunan ndalem terdapat pasangan batu balok atau giring yang berfungsi sebagai pondasi. Giring tersebut masih dalam kondisi rapi dan lurus. Pada bagian permukaan lantai ditutup dengan tegel dari bahan batu putih. Bentuk tegel tersebut adalah bujur sangkar dengan ukuran yang bervariasi.
Dinding di sekeliling bangunan ndalem, seluruhnya terbuat dari gebyok. Struktur penyangga atap terdiri atas blandar, sunduk, geganja, dan ander. Pasangan Usuk dan reng berbentuk rigereh, sementara atap ditutup genteng keripik. Bubungan di tutup dengan wuwung seng.
4. Bangunan dapur
Bangunan dapur berada di sebelah timur dari bangunan ndalem. Bangunan dapur memiliki posisi berhimpitan namun memiliki elevasi permukaan lantai yang lebih rendah dari bangunan ndalem. Kedua ruangan terhubung dengan sebuah pintu. Lantai dapur masih berupa tanah. Pada bagian dasar tiang penyangga atap, terdapat umpak dari bahan batu putih dengan bentuk kubus. Bangunan dapur memiliki dinding dari anyaman bambu atau gedheg. Pasangan usuk dan reng berbentuk rigereh, sementara atap ditutup genteng keripik. Bubungan di tutup dengan wuwung genteng. Di dalam ruangan dapur tersebut terdapat sebuah tempat untuk menyimpan padi (lumbung padi) yang terbuat dari bahan kayu. Benda tersebut berbentuk seperti lemari besar dengan sebuah pintu (lihat foto nomor 12). Menurut penjelasan Edi Kuntoro, benda tersebut biasa disebut sebagai godhag. Usia godhag tersebut sudah sangat tua, diduga merupakan peninggalan orang tua Sumardi.