Loading

Batu Dakon Di Pura Santi Loka Banaran Playen

Status : Benda Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Batu Dakon di Pura Santi Loka Banaran merupakan batu dakon yang masih disakralkan oleh penduduk di Padukuhan Banaran VIII, Kalurahan Banaran, Kapanewon Playen. Batu yang memiliki bentuk tidak beraturan dengan 15 buah lubang tersebut berada di atas lantai mandala nista sebuah bangunan Pelinggih atau Padmasana (bangunan berbentuk seperti candi kecil yang digunakan sebagai istana Sang Hyang Widhi menurut kepercayaan Hindu). Benda tersebut merupakan benda yang tidak insitu, ditempatkan di Pura Santi Loka karena memiliki riwayat sejarah yang berkaitan dengan Pembangunan Pura.
Pura Santi Loka merupakan bangunan yang didirikan oleh umat Hindu di Kalurahan Banaran pada tahun 1985. Bangunan tersebut menghadap ke arah barat dengan bentuk bangunan terbuka yang dibuat dengan tiga buah halaman yang bertingkat. Masing masing halaman dibatasi dengan pagar keliling yang dihubungkan dengan pintu. Halaman pertama atau halaman depan disebut sebagai Mandala Nista. Halaman kedua atau halaman tengah letaknya lebih tinggi dari halaman pertama. Halaman kedua disebut sebagai Mandala Madya. Kemudian Halaman ketiga atau halaman belakang disebut sebagai Mandala Utama.
Mandala Utama memiliki letak yang paling tinggi diantara kedua halaman yang lain yang disebut di atas. Pada mandala utama tersebut terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo, dua buah padmasana kecil dan sebuah padmasana besar (yang berada diantara dua padmasana kecil). Bangunan joglo berada di sisi barat sementara tiga buah bangunan padmasana ditempatkan di sisi sebelah timur dengan arah hadap barat. Pada sisi sebelah barat padmasana (diantara bangunan joglo dan padmasana) terdapat sebuah batur yang terbuka dengan lantai keramik. Pada waktu tertentu, halaman Mandala Utama (tepatnya di atas batur berlantai keramik) digunakan sebagai tempat beribadah umat Hindu, dengan posisi bersembah yang menghadap ke arah padmasana atau ke arah timur. Meskipun batu dakon berada di atas lantai mandala nista padmasana, namun umat Hindu tidak menggunakan media batu dakon sebagai sarana pemujaan. Umat Hindu yang bersembahyang di Pura Santi Loka, melaksanakan ibadah hanya menyembah kepada Sang Hyang Widhi.
Batu Dakon di Pura Santi Loka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
- Terbuat dari bahan batu putih dengan bentuk tidak beraturan,
- Berukuran panjang 80 cm, lebar 46 cm dan tebal 14 cm
- Terdapat 15 buah lubang dengan ukuran kedalaman yang bervariasi,
- 12 lubang dalam keadaan utuh, sementara 3 buah lubang dalam keadaan tinggal setengah (diduga pecah),
- Batu dakon dilselimuti dengan kain putih (kain kafan).
Pada saat tertentu, terutama di saat purname (bulan purnama), Pura Santi Loka diadakan sembahyangan Hindu yang didatangi oleh seluruh umat Hindu Banaran. Pada saat itu, Sukiyarti (52 tahun) mengirimkan sesaji berupa dupa yang dibakar, bunga atau kembang setaman dan kinangan (suruh, tembakau dan gambir) yang diletakkan di atas batu dakon.


Kondisi Saat Ini : Sangat aus karena berada di tempat terbuka, serta kotor karena sesaji atau tabur bunga.

Status : Benda Cagar Budaya
Alamat : Dusun Banaran 5, Mojo RT 23/RW 5, Banaran, Playen, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.9236111111111° S, 110.535° E

SK Walikota/Bupati : R0121/TACBGK/11/2020


Lokasi Batu Dakon Di Pura Santi Loka Banaran Playen di Peta

Bahan Utama : Batu Batu Putih
Keterawatan : /
Dimensi Benda : Panjang 80
Lebar 46
Tinggi -
Tebal 14
Diameter -
Berat -
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Penemuan Batu Dakon Di IndonesiaBatu berlubang atau batu dakon atau pitmarked stone merupakan bongkahan batu yang diberi lubang pada bagian permukaannya dengan jumlah lebih dari satu. Istilah dakon diberikan oleh masyarakat setempat khususnya di Jawa karena bentuk lubangnya yang banyak menyerupai alat permainan yang disebut sebagai dakon. Perbedaan antara batu dakon dan lumpang batu dapat dilihat dari bentuk dan ukuran lubangnya. Untuk lubang batu dakon berupa lingkaran-lingkaran konsentris dan mempunyai ukuran yang relatif lebih kecil dan dangkal dibandingkan dengan lubang lumpang batu yang dalam dan lebih besar. Fungsi batu dakon menjadi perdebatan dari sejumlah ahli arekeologi. Max Ebert menduga bahwa batu peninggalan pada masa prasejarah periode Megalitik tersebut merupakan batu pengorbanan bagi orang yang meninggal dunia. Sedangkan Joseph Dechellete menyatakan bahwa batu dakon kadang-kadang berfungsi sebagai batu pengorbanan dan kadang-kadang sebagai batu peringatan atau paling tidak mempunyai makna keagamaan dan karakter simbolik. Benda Megalitik seperti ditemukan di berbagai tempat di Indonesia, diantaranya di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Di Yogyakarta, batu dakon ditemukan di wilayah Gunungkidul. Batu dakon tersebut umumnya dibuat pada bongkahan batu dari bahan batu putih. Batu dakon tersebut umumnya masih dianggap oleh masyarakat setempat benda yang sakral dan dapat mendatangkan kesejahteraan atau mempengaruhi keselamatan. Penelitian yang intensif terhadap penemuan batu dakon di Gunungkidul sejauh ini belum pernah dilakukan. Namun kajian yang sama yaitu terhadap batu dakon di Indonesia pernah dikemukakan oleh Balai Arkeologi Makasar pada tahun 2011. Batu dakon merupakan hasil budaya Megalitik yang disusun dari batu besar sebagai sarana pemujaan. Meskipun demikian, dalam bagian-bagian tertentu, unsur Megalitik juga dapat dilihat tanpa menggunakan media batu besar. Sebagai contohnya adalah penggunaan batu dakon.Hasil kajian terhadap pemanfaatan batu dakon di daerah Sulawesi oleh Balai Areologi Makassar dapat digunakan sebagai kajian analogi terhadap proses budaya yang sama yang terjadi dengan batu dakon di tempat lain. Hal demikian bisa terjadi, karena hasil peninggalan Megalitik yang terjadi pada masa Prasejarah menjadi sebuah bukti adanya inovasi yang cukup besar dalam sejarah budaya manusia di Indonesia. Inovasi terjadi karena dari sisi teknologi, manusia telah menemukan berbagai macam penemuan baru. Kehidupan masyarakat yang menetap dengan teknologi baru telah meciptakan kehidupan sosial dalam tatanan masyarakat yang teratur. Pada periode Mgalitik, masyarakat berkembang sebagai masyarakat pedesaan yang mengelompok yang hidup dengan tatanan sosial yang dipimpin oleh pemuka adat. Di daerah Soppeng Sulawesi selatan, budaya penggunaan benda Megalitik dalam kegiatan pertanian rupanya masih bisa ditemukan beberapa puluh tahun yang lalu. Budaya tersebut saat ini sudah hilang, namun masyarakat setempat masih bisa menceritakan adat tradisi yang pernah terjadi di daerah tersebut. Salah satunya adalah penggunaan batu dakon dalam menghitung masa bercocok tanam.Pendekatan etnoarkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Makassar terhadap adat tradisi penggunaan batu dakon di masyarakat Soppeng membuktikan bahwa benda tersebut digunakan untuk penetapan awal untuk mengerjakan sawah. Batu-batu dakon yang ditemukan di daerah tersebut memiliki jumlah lubang yang bervariasi, yaitu 12, 14, 16 dan 49. Batu dakon yang terdapat di Sungai Maccope (memiliki 49 lubang) digunakan untuk menghitung musim dalam satu tahun. Penghitungan tersebut dilakukan oleh seorang biksu dengan sebuah upacara adat. Masyarakat setempat akan menuruti segala hasil yang diperoleh dalam upacara melalui media batu dakon. Dalam ritual tersebut, biksu akan memberi informasi mengenai masa penanaman padi dan jenis padi yang harus ditanam oleh penduduk pada satu musim tanam. Melalui kajian terhadap penggunaan batu dakon di Sulawesi Selatan maka dapat digambarkan bahwa batu dakon difungsikan untuk menghitung hari-hari yang cocok dalam kaitannya dengan pertanian. B. Sejarah Batu Dakon Di Pura Santi Loka BanaranMenurut kesaksian narasumber yang bernama Sujatmiko (51 tahun), Batu Dakon di Pura Santi Loka semula ditemukan di Sendang Mojo. Sendang tersebut berada kurang lebih 1,5 Km dari Lokasi Pura Santi Loka. Batu Dakon sebelum dibawa ke Pura Santi Loka pada tahun 1991, semula berada di dekat sebuah pohon yang pada bagian bawahnya terdapat sebuah mata iar besar di Sendang Mojo (lihat foto lokasi). Oleh penduduk setempat, batu dakon dianggap keramat dan memiliki penunggu perempuan yang disebut sebagai Nyi Riwut. Nyi Riwut dipercaya tetap berada di dalam batu dakon meskipun telah berpindah tempat ke Pura Santi Loka. Pada tahun 1985 Pura Santi Loka didirikan oleh umat Hindu Banaran. Pada tahun 1991, batu dakon dibawa ke Pura Santi Loka atas prakarsa Suwandi Dwijo Marwoto (orang tua Sujatmiko) yang merupakan kamituo atau tokoh Kalurahan Banaran yang dihormati. C. Sejarah Pelestarian Batu Dakon Di Pura Santi Loka BanaranSendang Mojo digunakan sebagai tempat memulai acara Rasulan Banaran.Banyak warga yang kirim sesaji untuk Nyi Riwut di Pura Banaran (tidak Hindu saja)Di Pura Banaran, batu dakon digunakan sebagai sarana untuk menghidupkan Pura. Penempatan sebuah batu dakon di sebuah Pura, bukan merupakan kejadian yang pertama di Indonesia. Di Wilayah Kintamani Bali, ada tradisi menempatkan sebuah atau lebih batu Megalitik di dalam sebuah pura. Penempatan batu Megalitik di dalam pura di daerah Kintamani berfungsi untuk memohon kesuburan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Kasus yang terjadi di Kintamani menunjukkan bahwa tinggalan budaya Megalitik yang merupakan warisan leluhur masih dimanfaatkan oleh masyarakat hingga saat ini. Dengan demikian terjadi transformasi budaya berupa pelestarian tradisi leluhur yaitu dengan masih melakukan pemujaan terhadap tinggalan Megalitik yang ditempatkan di dalam bangunan suci, menyatu dengan bangunan msa Hindu Budha. Masyarakat Hindu di Kintamani masih menganggap bahwa bentuk tinggalan Megalitik sebagai media pemujaan yang sakral dapat mempengaruhi keselamatan dan kesejahteraan umat Hindu dan masyarakat sekitarnya.
Nilai Sejarah : Bahwa masyarakat Gunungkidul telah mengenal kebudayaan M dan masih digunakan sebagai sarana atau media pemujaan hingga saat ini.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Sebagai sarana pembelajaran tentang kebudayaan Megalitik terutama batu dakon untuk merekonstruksi kehidupan masa lampau.
Nilai Pendidikan : Sebagai pembelajaran bagi masyarakat Gunungkidul akan adanya karya budaya masa Megalitikum yang pernah digunakan oleh masyarakat untuk menentukan waktu tanam dan jenis tanaman.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Pemerintah
Pengelolaan
Nama Pengelola : Umat Hindu di Pura Santi Loka Kapanewon Playen.