Peristiwa Sejarah |
: |
A. Sejarah Pasar Tradisional Di YogyakartaPasar atau marketplace merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Secara etimologi, istilah “pasar†berasal dari bahasa Persia yakni bazaar yang maknanya pasar tertutup. Pasar telah dikenal sejak lama, hal itu dapat diketahui dalam Prasasti Pagumulan (abad ke-5), maupun ditunjukan dalam sumber artefaktual lainnya seperti yang terdapat dalam salah satu relief di Candi Borobudur. Pasar terus berkembang seiring dengan semakin pesatnya perdagangan terutama sejak abad ke-16. Hanya saja pasar tidak lantas secara spesifik merujuk pada infrastruktur bangunan tertutup tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi. Kebanyakan pasar merupakan ruang terbuka atau open-air space dan bersifat sementara dalam arti tanpa perlu bangunan permanen. Pasar dapat diselenggarakan di pinggir jalan, tengah kota atau kampung di bawah pohon rindang, bahkan di sungai seperti yang banyak didapati di Kalimantan. Terkait dengan hal tersebut, Los Pasar Unggas (Eks Pasar Sapi) Semanu memiliki makna historis yang penting karena merupakan bangunan pasar permanen yang didirikan sejak masa kolonial. Secara historis pasar sebagai infrastruktur permanen terutama yang berada di Yogyakarta berkaitan dengan dua hal. Pertama, secara umum keberadaan pasar yang dibangun di pusat kerajaan merupakan wujud dari konsep catur tunggal kota kerajaan. Berdasar konsep ini, pasar merupakan salah satu pilar beserta masjid, alun-alun dan penjara yang melengkapi keberadaan keraton. Oleh sebab itu, keberadaan pasar tradisional dengan bentuk bangunan permanen yang saat itu dikenal sebagai Pasar Gede (Kota Gede) telah hadir sebagai elemen penting dalam pembangunan keraton Mataram Islam. Pasca Perjanjian Giyanti 1755, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta melanjutkan konsep ini, dengan demikian keduanya sama-sama membangun pasar di sekitar istana sebagai perwujudan konsep catur tunggal, yakni Pasar Beringharjo di Yogyakarta; dan Pasar Gede di Solo. Selain menjadi penanda simbolis-filosofis sebuah kota kerajaan, pasar di Yogyakarta juga bersifat fungsional sebagai pusat aktifitas ekonomi. Kedua, pasar merupakan bagian penting untuk mempromosikan “komersialisme†dan “modernitas†pada masa kolonial. Dalam hal ini, pemerintah kolonial bukan hanya membangun lebih banyak pasar hingga menjangkau wilayah-wilayah di luar pusat kota, namun juga memperbaiki arsitektur bangunan pasar sehingga menjadi bangunan modern. Oleh karena itu, desain pasar mengacu pada standar yang dimiliki oleh pemerintah kolonial, namun juga tetap memperhatikan kebiasaan cara berdagang masyarakat sekitar. Sehingga mendapatkan bentuk bangunan dengan struktur modern namun tanpa dinding yang menutup bangunan, hal ini menyesuaikan kebiasaan warga masyrakat yang hanya berjualan pada hari tertentu. Sehingga mereka tidak memerlukan bangunan yang tertutup untuk menyimpan barang yang mereka bawa untuk diperdagangkan, karena mereka akan membawa kembali barang dagangannya.Berdasarkan staadblad No. 37, tanggal tanggal 15 Juli 1873, pasar harus memiliki Loods (bangsal, yang diadopsi menjadi los dalam Bahasa Indonesia). Pasar dari masa kolonial, terutama yang dibangun pada awal abad ke-20, memiliki bentuk yang relatif seragam yakni berupa bangunan terbuka dengan atap yang ditopang oleh kerangka besi. Adapun material berupa besi digunakan untuk menggantikan struktur kayu yang lazim dipakai dalam arsitektur tradisional. Kebutuhan material besi diproduksi oleh perusahaan besar seperti NV. Braat Surabaya, dan Gutehoffnungshütte (GHH) Munchen Jerman, adapun untuk pembangunan turut dikerjakan oleh sejumlah perusahaan konstruksi seperti N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta (CAV). Material besi pada bangunan pasar kolonial digunakan untuk memperkuat kesan modern. Penggunaan loods atau los juga ditujukan untuk menciptakan ruang yang lebih luas, tidak tersekat-sekat, sehingga dapat menampung lebih banyak orang maupun barang, sekaligus memfasilitasi interaksi yang lebih longgar. Penggunaan loods atau los juga diarahkan untuk menggantikan bango (warung kecil) yang cenderung mengokupasi banyak ruang namun untuk peruntukan yang terbatas karena hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. B. Sejarah Pasar Unggas SemanuPasar semanu pada masa lalu merupakan pasar yang besar dan menjadi tempat berkumpulnya para pedagang di berbagai daerah di wilayah timur Kabupaten Gunungkdul. Para pedagang dari Kapanewon Semanu, Ponjong, Rongkop, Wonosari, bahkan Pracimantoro – Wonogiri berdatangan di setiap pasaran kliwon meramaikan Pasar Munggi. Selain melakukan perdagangan berupa komoditas pertanian, di Semanu juga terdapat Pasar Sapi yang berlokasi di sebelah barat Pasar Munggi. Pasar tersebut memiliki hari pasaran yang sama dengan Pasar Munggi. Pada masa kolonial, Pasar Sapi Semanu juga mendapatkan perbaikan dari pemerintah pada masa tersebut. Bangunan yang didirkan di Pasar Munggi Semanu terdiri atas pembuatan sebuah los besi, enam buah batang besi sebagai tambatan ternak (sapi) dan sebuah bangunan kantor untuk petugas pasar.Berdasarkan wawancara dengan narasumber yang bernama Mudiman (78 tahun) dan Wasinah (78 tahun), Pasar Unggas Semanu semula merupakan Pasar Sapi Semanu. Menurut Mudiman yang menjelaskan kembali cerita dari orang tuanya, pasar tersebut semula didirikan oleh Belanda pada saat yang sama dengan pembangunan jembatan Jirak. Seperti diketahui, jembatan Jirak merupakan jembatan besar yang yang berada di Jalan Raya Semanu – Wonosari. Jembatan tersebut berjarak 205 meter di sebelah utara Pasar Sapi Semanu. Mudiman dan Wasinah adalah suami istri yang berjualan di sebelah barat Pasar Unggas. Mereka berdua semula berdagang di dalam Pasar, namun pada tahun 1970 membeli lahan di sebelah barat Pasar Unggas dan mendirikan warung makan sekaligus rumah sebagai tempat tinggal. Menurut kesaksian mereka berdua, Pasar Sapi sangat ramai dikunjungi penjual dan pembeli ternak di setiap pasaran kliwon. Kebiasaan yang terjadi di Pasar Sapi, biasanya pasar sudah buka sejak subuh dan tutup jam 17.00 sore. Los besi Pasar Sapi digunakan oleh pedagang makanan dan minuman. Komoditas hewan yang diperjualbelikan di pasar hanya terbatas hewan sapi. Transaksi perdagangan yang bisa digambarkan pada masa itu yaitu : sehari sebelum hari pasaran (yaitu wage) dagangan sapi sudah datang ke pasar tersebut. Sapi-sapi dari berbagai daerah dikirim terlebih dahulu oleh para pengirim (biasa naik truk atau mobil) ke pelataran pasar, sehingga pasar sudah ramai oleh sapi pada malam sebelum kliwon (wage malam). Pagi harinya, pasar sudah buka sesudah subuh. Para pedagang dan pembeli mulai transaksi sepanjang hari, hingga pasar tutup pada sore hari. Demikian yang terjadi di hari pasaran kliwon di Pasar Sapi Semanu.Pada tahun 1995, karena alasan pasar yang tidak bisa menampung para pedagang, pemerintah memindah Pasar Sapi Semanu ke lokasi yang baru. Sejak tahun 1995, lokasi Pasar Sapi dalam keadaan kosong. Menurut kesaksian Wasinah bangunan los besi menjadi terlantar, karena tidak ada aktivitas di tempat tersebut hingga tahun 2016. Pemerintah melalui Dinas Pasar Kabupaten Gunungkidul kemudian melakukan revitalisasi pasar yaitu dengan membangun lokasi Eks Pasar Sapi menjadi Pasar Unggas Semanu. Pembangunan Pasar Unggas yang berlangsung sejak 2016 menyebabkan sejumlah perubahan di lokasi pasar tersebut. Terutama pada bagian pagar dan peninggian atau pengurugan lahan pasar sisi utara. Dampak dari pembangunan tersebut, Los Besi Pasar Unggas menjadi rusak dan terendam air jika musim hujan.C. Sejarah Rehabilitasi Pasar Unggas SemanuBerdasarkan wawancara dengan narasumber setempat dan informasi yang diperoleh dari Dinas Perdagangan Gunungkidul, tidak terdapat informasi yang berkaitan dengan rehabilitasi los besi Pasar Unggas. Demikian bisa terjadi karena bangunan tersebut pernah terbengkalai selama 21 tahun dan baru digunakan kembali pada tahun 2016. TACB Gunungkidul yang meninjau di lokasi tersebut menemukan fakta bahwa bangunan los besi Pasar Unggas tidak banyak mengalami perubahan material. Karena berada dalam keadaan terbengkalai yang cukup lama, kondisi bangunan yang ada saat ini diuntungkan dengan tidak mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan bentuk. Meski dalam keadaan rusak, los besi Pasar Unggas sebagian besar dalam kondisi masih asli. Jika terjadi rehabilitasi, diduga terjadi pada bagian batur dan wuwung atau bubungan. Batur yang berada dalam kondisi rusak, masih terlihat sisa pasangan tegel di sebagian sisi timur. Sementara bubungan yang ditutup oleh semen krepus, diberi pasangan genteng wuwung dengan jenis yang lebih baru. Namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut, untuk mengetahui waktu terjadinya rehabilitasi pada kedua bagian tersebut. |