Loading

Batu Dakon A di Kali Gowang Paliyan

Status : Benda Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Batu dakon Kali Gowang merupakan batu alam dengan sejumlah lubang yang terdapat di pinggir kali atau sungai Gowang di Kapanewon Paliyan Gunungkidul. Batu dakon yang terdapat di Kali Gowang dikelompokkan menjadi dua, yaitu batu dakon A dan batu dakon B. Batu dakon A merupakan batu dakon yang hingga saat ini masih dikeramatkan warga, sementara itu batu dakon B berada dalam posisi agak diabaikan dan berada sejauh 7 meter ke arah timur dari batu dakon A.
Kali Gowang merupakan sungai dengan debit air yang tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. Air yang mengalir di Kali Gowang merupakan air yang bersumber dari sejumlah mata air yang berasal dari wilayah utara. Berdasarkan informasi, sumber mata air terbesar Kali Gowang berasal dari mata air Soka. Mata air Soka berada sekitar dua kilometer di sebelah barat laut lokasi batu dakon Kali Gowang. Air yang mengalir di Kali Gowang selama ini dimanfaatkan oleh warga di tiga padukuhan (Kendal, Candi dan Giring) di Kalurahan Giring untuk memenuhi kebutuhan. Aktifitas yang sehari-hari dilakukan warga diantaranya adalah mandi, mencuci pakaian dan memancing ikan. Besarnya manfaat air Kali Gowang menyebabkan daerah tersebut selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Topografi di sekitar Kali Gowang berupa perbukitan kapur dengan tebing yang cukup curam, sementara itu aliran air sungai berada di bawah membentuk alur sungai yang berkelok-kelok di kaki bukit. Lokasi batu dakon Kali Gowang berada di sudut sebuah tikungan sungai dengan alur dari arah utara membelok ke arah timur. Lokasi tersebut berada sejauh 200 meter dari jalan besar Giring–Wonosari. Untuk menuju lokasi telah disediakan jalan cor blok yang menurun menuju sungai. Di ujung jalan cor blok merupakan bantaran kali yang agak datar, yang digunakan sebagai lahan parkir kendaraan bermotor bagi warga. Lokasi batu dakon berada sejauh kurang lebih 20 meter dari lahan parkir tersebut, dengan posisi batu dakon berada di tempat yang lebih rendah dari lahan parkir.
Batu dakon A Kali Gowang merupakan tonjolan batu yang memiliki bentuk tidak beraturan yang merupakan bagian dari batu besar di tepi sungai. Batu inti dari batu dakon tersebut merupakan sebuah bongkahan batu dengan ukuran yang cukup besar. Disekitar bongkahan batu tersebut air sungai mengalir. Batu dakon A Kali Gowang dapat dideskripsikan sebagai berikut :
- Terbuat dari bahan batu putih dengan bentuk tidak beraturan dan menyatu dengan alam,
- Bagian yang menonjol dari batu alam tersebut terdapat lubang-lubang di bagian atas, membentuk semacam lubang yang terdapat pada permainan dakon. Bagian yang menonjol tersebut berbentuk tidak beraturan, berukuran panjang 280 cm, lebar 115 cm dan tebal 39 cm,
- Terdapat 35 buah lubang dengan ukuran kedalaman yang bervariasi,
- Ukuran diameter lubang antara 7 hingga 9 cm,
- Dikeramatkan dan diberi sesaji.


Kondisi Saat Ini : Sangat aus karena berada di tempat terbuka, serta kotor karena sesaji atau tabur bunga.

Status : Benda Cagar Budaya
Alamat : Dusun Kendal, RT 04/RW XI, Giring, Paliyan, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
8.0141666666667° S, 110.56444444444° E

SK Walikota/Bupati : R0123/TACBGK/12/2020


Lokasi Batu Dakon A di Kali Gowang Paliyan di Peta

Bahan Utama : Batu Batu Putih
Keterawatan : /
Dimensi Benda : Panjang 280
Lebar 115
Tinggi -
Tebal 39
Diameter -
Berat -
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih dan cokelat kehitaman
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih dan cokelat kehitaman
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Penemuan Batu Dakon Di IndonesiaBatu berlubang atau batu dakon atau pitmarked stone merupakan bongkahan batu yang diberi lubang pada bagian permukaannya dengan jumlah lebih dari satu. Istilah dakon diberikan oleh masyarakat setempat khususnya di Jawa karena bentuk lubangnya yang banyak menyerupai alat permainan yang disebut sebagai dakon. Perbedaan antara batu dakon dan lumpang batu dapat dilihat dari bentuk dan ukuran lubangnya. Untuk lubang batu dakon berupa lingkaran-lingkaran konsentris dan mempunyai ukuran yang relatif lebih kecil dan dangkal dibandingkan dengan lubang lumpang batu yang dalam dan lebih besar. Fungsi batu dakon menjadi perdebatan dari sejumlah ahli arekeologi. Max Ebert menduga bahwa batu peninggalan pada masa Prasejarah periode Megalitik tersebut merupakan batu pengorbanan bagi orang yang meninggal dunia. Sedangkan Joseph Dechellete menyatakan bahwa batu dakon kadang-kadang berfungsi sebagai batu pengorbanan dan kadang-kadang sebagai batu peringatan atau paling tidak mempunyai makna keagamaan dan karakter simbolik. Benda Megalitik seperti ditemukan di berbagai tempat di Indonesia, diantaranya di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Di Yogyakarta, batu dakon ditemukan di wilayah Gunungkidul. Batu dakon tersebut umumnya dibuat pada bongkahan batu dari bahan batu putih. Batu dakon tersebut umumnya masih dianggap oleh masyarakat setempat benda yang sakral dan dapat mendaatangkan kesejahteraan atau mempengaruhi keselamatan. Penelitian yang intensif terhadap penemuan batu dakon di Gunungkidul sejauh ini belum pernah dilakukan. Namun kajian yang sama yaitu terhadap batu dakon di Indonesia pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Makasar pada tahun 2011. Batu dakon merupakan hasil budaya Megalitik yang disusun dari batu besar sebagai saran pemujaan. Meskipun demikian, dalam bagian bagian-bagian tertentu, unsur Megalitik juga dapat dilihat tanpa menggunakan media batu besar. Sebagai contohnya adalah penggunaan batu dakon.Hasil kajian terhadap pemanfaatan batu dakon di daerah Sulawesi oleh Balai Areologi Makassar dapat digunakan sebagai kajian analogi terhadap proses budaya yang sama yang terjadi dengan batu dakon di tempat lain. Hal demikian bisa terjadi, karena hasil peninggalan Megalitik yang terjadi pada masa Prasejarah menjadi sebuah bukti adanya inovasi yang cukup besar dalam sejarah budaya manusia di Indonesia. Inovasi terjadi karena dari sisi teknologi, manusia telah menemukan berbagai macam penemuan baru. Kehidupan masyarakat yang menetap dengan teknologi baru telah meciptakan kehidupan sosial dalam tatanan masyarakat yang teratur. Pada periode Megalitik, masyarakat berkembang sebagai masyarakat pedesaan yang mengelompok yang hidup dengan tatanan sosial yang dipimpin oleh pemuka adat. Di daerah Soppeng Sulawesi Selatan, budaya penggunaan benda Megalitik dalam kegiatan pertanian rupanya masih bisa ditemukan beberapa puluh tahun yang lalu. Budaya tersebut saat ini sudah hilang, namun masyarakat setempat masih bisa menceritakan adat tradisi yang pernah terjadi di daerah tersebut. Salah satunya adalah pengguanan batu dakon dalam menghitung masa bercocok tanam.Pendekatan etnoarkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Makassar terhadap adat tradisi penggunaan batu dakon di masyarakat Soppeng membuktikan bahwa benda tersebut digunakan untuk penetapan awal untuk mengerjakan sawah. Batu-batu dakon yang ditemukan di daerah tersebut memiliki jumlah lubang yang bervariasi, yaitu 12, 14, 16 dan 49. Batu dakon yang terdapat di Sungai Maccope (memiliki 49 lubang) digunakan untuk menghitung musim dalam satu tahun. Penghitungan tersebut dilakukan oleh seorang biksu dengan sebuah upacara adat. Masyarakat setempat akan menuruti segala hasil yang diperoleh dalam upacara melalui media batu dakon. Dalam ritual tersebut, biksu akan memberi informasi mengenai masa penanaman padi dan jenis padi yang harus ditanam oleh penduduk pada satu musim tanam. Melalui kajian terhadap penggunaan batu dakon di Sulawesi Selatan maka dapat digambarkan bahwa batu dakon difungsikan untuk menghitung hari-hari yang cocok dalam kaitannya dengan pertanian. B. Sejarah Batu Dakon di Kali Gowang PaliyanBatu dakon di Kali Gowang merupakan benda Prasejarah yang langka karena ketika ditemukan masih digunakan sebagai media pemujaan. Benda tersebut berada di tepi sungai yang masih digunakan untuk beraktifitas masyarakat yaitu : mandi, mencuci, dan memancing ikan. Berdasarkan observasi langsung terhadap obyek, ditemukan sisa-sisa sesaji berupa taburan bunga mawar dan sisa pembakaran kemenyan di atas batu dakon A. Menurut penuturan warga yang berada di tempat tersebut, diketahui bahwa batu dakon merupakan benda asli yang diakui sebagai peninggalan leluhur. Benda tersebut seringkali dikaitkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat, seperti dalam cerita Joko Tarub atau cerita kehidupan Ki Ageng Giring. Seperti diketahui, lokasi ditemukannya batu dakon berada kurang lebih 500 meter dari petilasan Ki Ageng Giring, salah seorang tokoh sentral dalam sejarah berdirinya Keraton Mataram .Batu dakon dari sisi Prasejarah memiliki nilai penting, terutama benda tersebut diketahui saat ini masih berada di sebuah tempat yang disakralkan bagi warga setempat. Kali Gowang tempat ditemukannya batu dakon diduga merupakan lokasi kuno yang telah digunakan oleh masyarakat pada masa Prasejarah. Hal itu bisa dibuktikan dengan fakta bahwa lingkungan Kali Gowang memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia masa Prasejarah. Sumber daya tersebut adalah : adanya aliran air yang bisa memenuhi kebutuhan manusia sepanjang tahun. Bukti-bukti arkeologi menyebutkan bahwa masyarakat Prasejarah mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Pada masyarakat yang telah tinggal menetap, mereka sangat menggantungkan diri pada terjaminnya ketersedian sumber daya alam yang terus menerus. Dimana daerah yang mereka tempati harus dapat memberikan persediaan yang cukup untuk kelangsungan hidup. Batu dakon yang berada di Kali Gowang diduga merupakan benda yang dibuat oleh masyarakat Prasejarah yang mengembangkan tradisi Megalitik. Salah satu ciri budaya Megalitik adalah, adanya pemanfaatan media pemujaan menggunakan batu-batu besar. Tradisi Megalitik merupakan bentuk ekspresi yang berkembang karena adanya kepercayaan akan kekuatan magis atau non-fisik dan didukung oleh ketersediaan sumber daya di sekitarnya. Budaya ini telah berkembang luas di Indonesia pada masa sebelum kedatangan budaya Hindu Budha. Bahkan hingga abad ke-20, di Indonesia masih terdapat sebagian suku bangsa yang masih mengembangkan tradisi Megalitik. Sebagai contohnya di Nias. C. Sejarah Pelestarian Batu Dakon di Kali Gowang PaliyanMenurut penjelasan perangkat desa dan pelestari adat tradisi budaya di Kalurahan Giring, diperoleh informasi bahwa batu dakon Kali Gowang memiliki nilai penting sejarah yang tinggi. Kali Gowang diyakini memiliki keterkaitan dengan tokoh Ki Ageng Giring, karena lubang-lubang yang terdapat di batu dakon dipercaya merupakan lubang yang terbentuk karena tetesan air mata Ki Ageng Giring. Terlepas dari cerita legenda tersebut, batu dakon A masih dilestarikan sebagai media pemujaan terutama setiap hari Selasa dan Jum’at di Pasaran Kliwon. Mereka yang melakukan ritual pemujaan, umumnya meyakini bahwa batu dakon bisa menjadi media perantara untuk mendatangkan kebaikan, kesuburan dan ketentraman. Bahkan menurut Sunardi (52 tahun), air yang mengalir di Kali Gowang diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit (seperti gatal).Masyarakat Kalurahan Giring masih menghormati leluhur dan menganggap bahwa petilasan Giring termasuk Kali Gowang merupakan milik leluhur yang harus dilestarikan. Sebagian masyarakat masih mempercayai penghormatan leluhur dengan media yang tersedia di Kali Gowang yaitu : batu dakon dan pohon besar yang tumbuh disekitar sungai. Menurut Sigit Handoyo (35 tahun) sejumlah orang yang merasa berhasil karena pernah mendapatkan berkah dari adanya batu dakon (melalui ritual yang sedemikian rupa), membangun sarana berupa perbaikan jalan dan pengecoran di sebelah utara batu dakon B. Sejumlah orang memberi donasi dan melakukan pembangunan di Kali Gowang pada tahun 1994 atau 1995. Kemudian pembangunan yang lain adalah pendirian gazebo di bantaran Kali Gowang pada tahun 2019.
Nilai Sejarah : Bahwa masyarakat Gunungkidul sudah mengenal cara penghitungan waktu untuk bercocok tanam dengan media batu dakon sejak masa Prasejarah.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Sebagai sarana pembelajaran tentang kebudayaan Megalitik terutama batu dakon untuk merekonstruksi kehidupan masa lampau.
Nilai Pendidikan : sebagai pembelajaran bagi masyarakat Gunungkidul akan adanya karya budaya masa Megalitikum yang pernah digunakan oleh masyarakat untuk menetukan waktu tanam dan jenis tanaman.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Pemerintah
Pengelolaan
Nama Pengelola : Masyarakat Kalurahan Giring