Peristiwa Sejarah |
: |
A. Sejarah Candu Dan Penggunaan Bedudan di IndonesiaCandu atau opium atau popi (istilah tidak resmi dalam Bahasa Inggris) adalah getah tanaman opium yang diekstrak menjadi bahan utama candu. Getah tersebut memiliki nama latin Papaver Somniferum L. Atau P. Paeonofllorum. Ekstraksi getah dari bunga Poppi menjadi bahan candu yang berbahaya, karena disalahgunakan sebagai bahan sejenis narkotika. Barang haram tersebut sudah dikenal manusia sejak ratusan tahun yang lalu, dan menyimpan sejarah yang kelam perjalanan hidup manusia. Mata rantai perdagangan candu dunia merupakan jaringan yang tidak pernah terputus yang berasal dari puluhan abad yang lalu. Jaringan candu terbesar dunia berasal dari tiga tempat yaitu Amerika Selatan, Pegunungan Afganistan dan Pakistan, dan Segi Tiga Emas Asia Tenggara (Thailand, Burma dan Vietnam). Dari ketiga tempat tersebut perdagangan candu menyebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sejarah perdagangan candu di Indonesia merupakan salah satu sejarah penting yang mengungkapkan sisi kejahatan pemerintah kolonial pada periode waktu 1860-1942. Menurut catatan sejarah, Belanda pernah menjadikan candu sebagai alat kontrol masyarakat. Selain melalui kekuasaan politik dan militer, pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 menggunakan candu sebagai senjata pembodohan sekaligus komoditas perdagangan. Perdagangan candu yang dilegalkan oleh Belanda menciptakan keuntungan besar bagi pemerintah koloni dan pedagang candu. Bagi rakyat Indonesia keuntungan yang sebaliknya dirasakan oleh rakyat Indonesia yaitu kemelaratan dan kebodohan. Candu pernah menjadi sumber devisa negara Belanda. Pada tahun 1860 pemerintah kolonial memberlakukan monopoli terhadap peredaran candu di negeri Hindia Belanda (Indonesia). Pada masa tersebut pemerintah kolonial “melegalkan†perdagangan opium dengan menyerahkan penjualan candu tersebut kepada bandar-bandar sebagai agen. Bandar-bandar yang mayoritas terdiri dari orang-orang Tionghoa mendapatkan tender untuk menjadi bandar melalui lelang tender yang terbuka. Para bandar tersebut menjadi semacam opsir resmi dari pemerintah Belanda, yang berhak menyalurkan dan memperdagangkan candu di seluruh negeri Hindia Belanda. Keuntungan pemerintah kolonial dalam melakukan monopoli candu terbukti memberikan pemasukan yang besar pada negara, demikian pula dengan para agen yang menjadi mata rantai distribusinya. Sementara itu, masyarakat Indonesia menjadi bodoh dan mudah diatur. Peredaran candu menjadi keuntungan ganda bagi pemerintah kolonial pada masa itu.Pada awal abad ke-20 hingga menjelang masa peralihan kedatangan Jepang, di negeri Hindia Belanda marak dengan pembangunan rumah singgah atau rumah khusus untuk perdagangan candu. Umumnya rumah-rumah tersebut digunakan oleh para pejabat pemerintah dan pedagang besar yang melakukan transaksi perdagangan sekaligus memakai candu. Pada masa tersebut penggunaan candu merupakan hal yang wajar, karena tidak dilarang oleh pemerintah. Hasil pendapatan yang besar dari sektor monopoli candu diperoleh dari menyewakan tanah (sekaligus penduduknya) untuk perkebunan opium, menjual pajak borongan, menyewakan monopoli opium, dan sebagainya. Banyaknya orang mengkonsumsi candu di Jawa (termasuk Yogyakarta) pada masa kolonial mengakibatkan kerusakan moral dan mental yang luar biasa di tengah masyarakat. Pada masa tersebut candu tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan orang kaya saja melainkan hingga ke seluruh lapisan masyarakat yang tersebar dari kota hingga ke desa-desa. Tinggat kebobrokan moral terlihat pada kehidupan keluarga pecandu yang terjadi pada masa itu. Pecandu yang ketagihan akan menjual apa saja yang dimiliki untuk mendapatkan candu. Perilaku hedonisme pada masa itu mengakibatkan kemiskinan luar biasa pada masayarakat. Banyak pecandu (beserta keluarganya) yang hidup tidak terurus karena harta benda yang habis untuk membeli candu. Para pecandu pada masa itu terlihat hidup seenaknya dengan pandangan mata yang kosong tanpa masa depan dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya (lihat foto). Dalam buku “nyeret†Bagi Orang Jawa (Kajian Serat Erang-Erang) yang dicetak pada tahun 1919 dituliskan mengenai gambaran kehidupan pecandu yang sangat menyedihkan. Kajian Serat Erang-Erang merupakan kumpulan 15 kisah hidup masyarakat dari berbagai lapisan sosial yang hidup dengan menyalahgunakan candu. Dari seluruh cerita yang ditulis dalam Kajian Serat Erang-Erang membuktikan bahwa bedudan menjadi alat utama yang digunakan oleh pecandu pada masa tersebut. Bedudan sebagai alat wajib bagi pecandu juga terlihat dalam sebuah foto yang diambil pada tahun 1897 di dalam buku Een Blik in Het Javaansche Volksleven, karangan L. Th. Mayer. Bedudan merupakan istilah Jawa untuk menyebutkan sebuah alat yang digunakan menghisap candu. Pada masa kolonial, alat tersebut digunakan oleh pengguna narkotika jenis candu dengan cara dihisap. Kegiatan seperti itu dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah “nyeretâ€. Penghisap candu dengan cara “nyeret†akan mengalami fantasi kesenangan berlebihan (hingga tidak sadarkan diri) yang mengakibatkan keinginan untuk mengulang kembali perbuatan tersebut. Dalam kondisi demikain pengguna narkotika jenis candu kemudian umum disebut sebagai pecandu. Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan candu yang berulang-ulang akan mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya. Jika tidak terpenuhi, seorang pecandu akan mengalami kondisi yang buruk seperti sakit luar biasa di seluruh tubuh, mabuk dan melakukan perbuatan diluar kontrol. Kondisi tersebut kemudian umum disebut sebagai kecanduan. Dalam situasi tersebut satu-satunya cara penyembuhan paling mudah yaitu dengan mencium aroma candu atau melakukan “nyeret†lagi. Demikian berlangsung terus menerus hingga seorang pecandu akan jatuh pada pilihan membeli candu hingga kehabisan harta benda atau menderita sakit yang luar biasa.Bedudan merupakan alat tradisional yang terdiri dari dua bagian yaitu pipa dan clupak. Pipa umumnya dibuat dari bahan bambu yang berukuran kecil. Bentuk bambu demikian terdapat pada bambu berjenis wulung atau bisa juga dengan bambu biasa yang dipilih pada bagian ujungnya. Clupak merupakan istilah untuk menyebutkan benda bulat yang terbuat dari bahan gerabah dengan bentuk sedemikian rupa (lihat foto). Clupak berfungsi sebagai tempat menyimpan asap hasil pembakaran candu. Dalam sebuah kegiatan “nyeretâ€, proses pembakaran candu berlangsung di lubang kecil yang terletak pada sisi atas clupak. Proses tersebut menghasilkan asap di dalam rongga clupak. Asap yang “berharga†tersebut tersimpan sementara di dalam clupak, kemudian akan mengalir melalui leher clupak di sisi bawah melalui pipa dengan cara dihisap secara perlahan oleh pecandu. Jika dilakukan secara berulang-ulang, asap hasil pembakaran candu tersebut akan menimbulkan efek fly atau mabuk bagi pecandu. Dalam proses “nyeretâ€, sebuah bedudan tidak berdiri sendiri. Benda tersebut memiliki kelengkapan yang terdiri dari berbagai alat. Satu set alat “nyeretâ€, umum disimpan para pecandu di rumah. Kegiatan “nyeret†umumnya dilakukan sendiri secara diam-diam ataupun bersama-sama dengan pecandu yang lain. Pada masa sekitar akhir tahun 1970-an, kegiatan “nyeret†masih dilakukan oleh sedikit warga di Gunungkidul. Saat ini kegiatan “nyeret†dengan alat bedudan sudah hilang di masyarakat. Pengaruh agama dan pendidikan menyebabkan kegiatan tersebut tidak mendapatkan tempat lagi di masyarakat. Namun sejumlah alat yang tersisa dari pengguna candu diduga masih tersimpan di sejumlah rumah warga di Gunungkidul.B. Sejarah Bedudan Wongsotaruno Pada masa sebelum Indonesia merdeka di daerah Saptosari tepatnya di pesisir selatan terjadi wabah malaria. Salah seorang yang menderita sakit karena wabah tersebut adalah Wongsotaruno. Beliau mendapatkan pengobatan medis, namun seringkali kambuh ketika kondisi tubuhnya sedang lelah. Suatu saat, Wongsotaruno bertemu dengan Kartosentono, seorang petani dari daerah Kanigoro yang berasal dari Ponjong. Atas nasehat Kartosentono, Wongsotaruno disarankan untuk menyembuhkan malaria dengan cara menghisap candu. Bahan candu didapatkan dengan cara membeli kepada pedagang jenewer (sejenis minuman keras) yang berasal dari Semin. Dalam melakukan kegiatan nyandu, Wongsotaruno melakukannya Bersama-sama dengan sejumlah teman yang berasal dari sekitar rumahnya. Menurut Mardiyo, seiring berjalannya waktu Wongsotaruno menjadi pecandu berat sehingga sering kali merasa ketagihan. Untuk memperoleh bahan candu, Wongsotaruno tidak segan-segan menjual tanah baik pekarangan maupun lahan pertanian, demi memenuhi keinginannya untuk menghisap candu. Sebagai contoh: sebagian lahan pekarangan di rumahnya telah terjual pada saat Wongsotaruno masih hidup. Tanah tersebut dibeli oleh saudaranya sendiri yang bernama Poncokaryo. Manurut Mardiyo, pada masa lalu di daerah Saptosari banyak pengguna Candu. Umumnya mereka melakukan kegiatan menghisap candu bersama-sama. Bahan candu yang telah diolah menjadi ramuan siap digunakan (bentuknya butiran kecil sebesar biji kapas atau klentheng). Bagi para pecandu, istilah untuk menyimpan stok candu adalah “ngrumatâ€. Waktu bagi menhisap candu secara bebas, tidak mengenal waktu tertentu. Mardiyono menjelaskan bahwa bentuk tubuh para pecandu yang sudah kecanduan berat selalu bertubuh kurus. Masyarakat yang mengetahui adanya pecandu umumnya membiarkan saja dan mengabaikan para pecandu narkoba. Harga candu yang mahal, umumnya hanya bisa dibeli oleh masyarakat yang bukan petani. Wongsotaruno dan para pecandu narkoba berhenti dan meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi candu sejak muncul larangan dari pemerintah untuk menggunakan benda haram tersebut. Sekitar tahun 1950, seorang saudaranya yang menjabat sebagai lurah (Dipowikromo) tertangkap menjual candu dan dipenjara selama 2 tahun, para pecandu obat terlarang di Kalurahan Kepek berangsur-angsur menghilang. Dan sejak saat itu, Wongsotaruno berhenti menghisap candu. Bedudan tidak digunakan lagi dan disimpan oleh keluarga hingga saat ini.Menurut Mardiyo, alat bedudan merupakan alat yang dibeli dari pedagang jenewer. Diduga clupak gerabah dibuat dari Tembayat Klaten. Sebenarnya dahulu ada 2 macam clupak : clupak lampu untuk menyalakan api, dan clupak untuk membakar candu. Tapi Menurut Mardiyo, clupak lampu untuk menyalakan api sudah lama hilang.C. Cara Penggunaan Bedudan Menurut penjelasan Mardiyo, proses untuk melaksanakan ritual “nyeret†bagi pecandu meliputi beberapa tahapan, yaitu :- Persiapan Bahan yang dipersiapkan adalah candu yang dibeli dalam bentuk impling-an (sebuah tube dari bahan timbal) sebesar jari kelingking. Selain candu sebagai bahan utama, juga dipersiapkan sepotong daun awar-awar (lihat foto) dan kapas.- Meracik candu menjadi bahan siap pakaiUntuk meracik ramuan candu diperlukan dua buah alat yaitu cukit (stik bambu) dan lepek. Prosesnya : daun awar-awar yang sudah dirajang lalu digoreng kering, diremas menjadi bubuk dimasukkan bersama dengan candu yang masih dalam bentuk cair. Kedua bahan diaduk dengan menggunakan cukit di atas lepek, hingga campuran menjadi kalis. Setelah itu campuran kedua bahan tadi diambil sedikit dengan sobekan kapas kecil dipilin-pilin sehingga berbentuk bulat. Ukuran bulat sebesar isi biji kapas atau klenteng. Satu impling racikan candu dengan daun awar-awar akan menjadi 10 butiran candu siap pakai. Menyimpan ramuan candu siap pakai disebut sebagai ngrumat.- “nyeretâ€Aktifitas “nyeret†dilakukan dengan cara meletakkan butiran candu siap pakai di lubang clupak sisi atas. Kemudian candu dinyalakan denga api. Api sebagai pembakar candu diusahakan menggunakan api yang kecil. Bagi para pecandu, api yang kecil diperoleh dengan cara menyalakan clupak lampu dengan bahan bakar minyak kelapa. Asap hasil pembakaran candu akan dihirup oleh pecandu dengan sangat hati-hati. Hal demikian bisa terjadi karena harga candu yang cukup mahal. Sehingga dirasa eman-eman (sayang) jika asapnya terbuang percuma. Setelah itu, pecandu akan tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama. Efek candu yang kuat akan menyebabkan pecandu tidur nyenyak selama berjam-jam.Demikian penuturan Mardiyo, berdasarkan kesaksian beliau ketika Wongsotaruno menggunakan bedudan. |