Loading

Fragmen Lingga Di Ladang Mujarohmat Karangasem B Paliyan

Status : Benda Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Lingga adalah benda buatan manusia berbentuk tiang dengan bahan yang umumnya dari batu, digunakan sebagai salah satu media pemujaan agama Hindu. Lingga sebagai media pemujaan merupakan manivestasi dari Dewa Siwa, yang memiliki banyak pengikutnya pada periode Klasik Hindu Jawa Tengah atau abad IX – X Masehi. Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa ditemukan banyak sekali batu lingga yang berasal dari pengaruh kebudayaan Hindu. Pada umumnya, Benda Cagar Budaya tersebut ditemukan menyatu dengan Yoni, namun ada pula yang ditemukan secara terpisah.
Fragmen Lingga di Ladang Mujarohmat (79 tahun) berada di tempat terbuka di tengah ladang pertanian yang cukup luas di Padukuhan Karangasem B. Lokasi tersebut merupakan tanah hak milik Keraton atau biasa disebut tanah Sultan Ground (SG). Seperti umumnya tanah SG di Gunungkidul, sebagin besar tanahnya dikelola oleh warga sebagai lahan pertanian. Mujarohmat dan salah seorang warga lain yang bernama Sukimin (67 tahun) merupakan petani penggarap tanah SG, dengan mendapatkan surat kekancingan dari keraton. Sebagai petani penggarap tanah milik keraton, Mujarohmat dan Sukimin tidak pernah mengetahui bahwa di atas lahan yang mereka garap terdapat lingga. Mereka hanya mengetahui bahwa sejak dahulu benda-benda tersebut adalah benda kuno peninggalan leluhur yang disakralkan oleh warga.
Mujarohmat menjelaskan bahwa di daerah tersebut pernah dikunjungi oleh pihak Keraton Yogyakarta. Pada sekitar tahun 1980, tanah di sebelah utara lahan garapannya, didirikan bangunan oleh sejumlah orang yang berasal dari Wonosari. Bangunan tersebut berupa sebuah petilasan yang menyerupai makam. Menurut Mujarohmat, meskipun berbentuk seperti makam, namun tidak ada tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut. Pada bagian atas makam terdapat nisan yang bertuliskan “Ki Ageng Guwocco”.
Fragmen lingga di ladang Mujarohmat ditemukan kurang lebih 40 meter di sebelah barat daya petilasan “Ki Ageng Guwocco”. Fragmen lingga tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
- Terdiri atas dua bagian : bagian bawah dan atas,
- Bagian bawah berupa batu berbentuk balok yang berukuran lebar 9 cm, panjang 9 cm dan tinggi 29 cm,
- Pada bagian atas benda tersebut terdapat lubang. Lubang berukuran panjang 7 cm, lebar 7 cm, kedalaman 3 cm. Lubang digunakan sebagai tempat meletakkan batu yang menjadi bagian atas dari fragmen lingga,
- Bagian atas berupa batu kecil berukuran panjang 13 cm, tebal 7 cm dan ujungnya yang diduga menyerupai phallus,
- Posisi fragmen lingga yang berbetuk balok, diduga masih insitu, karena sebagian kaki lingga masih tertanam di dalam tanah,
- Posisi lingga berada di gundukan batu,
- Kondisi lingga sudah sangat aus.
Menurut penjelasan Mujarohmat, benda tersebut oleh warga disebut sebagai kuncung dan bawuk. Kedua benda dikaitkan dengan legenda Ki Ageng Giring.


Kondisi Saat Ini : Kondisi fragmen lingga sangat aus dan rapuh.



Status : Benda Cagar Budaya
Alamat : Dusun Karangasem B, RT 01/RW 8, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
8.0058333333333° S, 110.52638888889° E

SK Walikota/Bupati : R0129/TACBGK/12/2020


Lokasi Fragmen Lingga Di Ladang Mujarohmat Karangasem B Paliyan di Peta

Bahan Utama : Batu Batu Putih
Keterawatan : /
Dimensi Benda : Panjang -
Lebar -
Tinggi -
Tebal -
Diameter -
Berat -
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : A. Sejarah Pemujaan Terhadap Lingga Di IndonesiaPemujaan kepada Dewa Siwa melalui Lingga sangat populer baik di India maupun di Indonesia. Pada masa lalu, banyak peninggalan purbakala berupa Saila lingga, yaitu lingga yang dibuat dengan bahan dasar batu. Peninggalan lingga banyak tersebar dihampir seluruh Indonesia. Menurut pendapat Zoetmneder menjelaskan bahwa lingga berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu. Seorang tokoh intelektual Hindu Swami Harshananda pada Sri ramakrishna Ashrama menyebutkan Lingga dan Yoni sebagai simbol Tuhan bagi umat Hindu yang universal secara literal Siva artinya keberuntungan dan Lingga artinya suatu tanda atau suatu simbol. Dari sini Sivalingga adalah suatu simbol Tuhan yang agung dan semesta yang sepenuhnya adalah keberuntungan. Mengingat pernyataan tersebut di Bali hingga saat ini ritual pemujaan terhadap lingga masih kental dilakukan, pemujaan ini dilakukan tidak lain untuk menyembah dan menghadirkan kekuatan dari Tuhan sebagai Dewa Siwa, pelaksanaan ini dilakukan melalui jalan bhakti marga salah satunya berupa arcanam, yaitu pemujaan yang dilakukan dengan cara menghadirkan esensi Tuhan dalam sebuah media atau simbol berupa arca. Peninggalan purbakala berwujud lingga banyak ditemukan di Bali dan Jawa, ada yang masih tetap difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada Sang Hyang Siwa (disucikan) dan ada yang ditempatkan sedemikian rupa tidak difungsikan lagi, karena umat Hindu setempat tidak mengenal lagi cara melakukan pemujaan melalui lingga. Pura Batumadeg, Besikalung dan sejenisnya mengisyaratkan adanya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa melalui sebuah linggaDi Bali banyak ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga, yang juga dibuat dalam bentuk upacara terdapat bentuk sesajen atau upacara yang disebut Déwa-déwi sebagai penggambaran sebuah lingga. Lingga adalah salah satu hasil karya manusia melalui proses wujud ide dan menggunakan wujud aktivitas atau tingkah laku pendukungnya. Pembuatannya tidak semata-mata mengekspresikan keindahan bentuk, melainkan diupayakan agar memiliki nilai lain, yakni berkaitan dengan persepsi sistem budaya yang melatarbelakanginya. Diantara peninggalan lingga yang berhasil didokumentasikan ternyata masing-masing mempunyai perbedaan bentuk dan bahkan bervariasi. Penggambaran bentuk lingga secara visual adalah berbentuk phallus yang lazim dilukiskan dalam bentuk bulat panjang atau silinder yaitu menyerupai kelamin orang laki-laki. Pembagian lingga yang lengkap dapat dijelaskan sebagai berikut: dasar lingga yang paling bawah umumnya berbentuk segiempat, bagian ini disebut Brahmabhaga; di atas segi empat adalah segi delapan, bagian ini disebut Wisnubhaga; sedangkan bagian yang paling atas umumnya berbentuk bulatan atau 2 silinder adalah penanda Siwa atau disebut Siwabhaga. Bagian bawah lingga terdapat lapik, pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran atau cerat disebut yoni. Di Indonesia ditemukan berbagai macam bentuk lingga dengan ragam hias yang beraneka bentuk. Dengan beraneka ragamnya bentuk dan padatnya populasi persebaran temuan lingga, ini berarti bahwa lingga mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat yang menganut agama Hindu. Hal itu menyebabkan banyak ahli arkeolog atau ilmuwan tertarik mengadakan penelitian terhadap lingga. Namun hingga saat ini penemuan yang terjadi masih bersifat umum. Pemujaan terhadap lingga sebagai lambang Dewa Siwa yang tertua di Indonesia mulai terlihat pada Prasasti Canggal (732 masehi) di Jawa Tengah yang isinya antara lain memperingati didirikannya sebuah lingga di atas bukit di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Dengan didirikannya sebuah lingga, sedangkan lingga sebagai lambang Dewa Siwa. Sejak Prasasti Canggal, itu muncul atau mulai dikenal sekte Siwa di Indonesia. Di Indonesia khususnya di Bali, walaupun ditemukan peninggalan dalam bentuk lingga dalam jumlah yang cukup banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Kebanyakan mereka memandang lingga sebagai benda yang keramat. Dalam Kamus Umum Indonesia disebutkan bahwa lingga sesungguhnya merupakan tiang batu sebagai tanda peringatan atau media pemujaan sebagai 4 wujud kemaluan laki-iaki dan dimasukkan sebagai simbol Siwa. Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan linggih, yang artinya tempat duduk. Pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan yang diberikan dalam ilmu arkeologi, dikatakan bahwa lingga pada zaman dahulu berfungsi sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Siwa. Sejalan dengan pengertian tersebut diatas didalam Kitab Jnanasiddhanta disebutkan bahwa lingga terbagi menjadi dua bagian yaitu Siwa Lingga dan Atma Lingga. Siwa Lingga merupakan unsur partikel terkecil dari Siwa, yang kemudian termasuk makhluk hidup khususnya manusia dan menyatu dengan Atma Lingga. Atma Lingga itu sendiri adalah unsur penggerak yang menjiwai kehidupan manusia. Mengenai Atma Lingga perlu juga dijelaskan disini bahwa sebenarnya merupakan puncak ajaran Siddhanta. Sebab dalam ajaran ini kelahiran Atma sendiri disebut Siwa Lingga. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa Sanghyang Atma Lingga adalah dapat diibaratkan dengan bunyi OM, beserta ketiga suku kata, yakni ANG, UNG dan MANG. Inti dari ketiga suku kata tersebut adalah OM. Jadi kata OM inilah yang merupakan pemunculan lingga, yang tercermin dalam batin dan inilah sebagai Siwa Lingga yang terbesar dan yang tertinggi. Oleh karena itu dalam ajaran Siwasiddhanta, Atma dikatakan muncul dengan sendirinya, sehingga bagi orang bijaksana pemujaan yang utama adalah langsung ditujukan kepada-Nya, yaitu pada Atma Lingga. Dalam kebudayaan Hindu terdapat keyakinan bahwa manusia mempunyai 5 keterbatasan yang hakiki di dalam membayangkan Tuhan dalam wujud yang sebenarnya. Untuk itu diperlukan alat bantu baik berupa lingga, area maupun simbol lainnya sebagai sarana penyatuan konsentrasi. Ini berarti masyarakat Hindu tidak menyembah batu, melainkan kekuatan yang terselubung lewat bentuk simbol tersebut. Dengan kata lain masyarakat menyembah Atma atau Siwa melalui simbol bentuk tersebut. Manusha Lingga atau lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci. lingga ini dikatakan dibuat langsung oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Berdasarkan uraian tersebut maka lingga yang ditemukan di Indonesia dan Bali khususnya seperti yang ditemukan pada pelinggih suatu pura, gua dan tempat lainnya termasuk kelompok Chala Lingga sedangkan pandangan gunung sebagai pelinggih dewa-dewi tersebut dapat digolongkan dalam Achala Lingga. Pada hakekatnya semua lingga yang dimaksud diatas adalah sama, yaitu sebagai media atau simbol untuk melukiskan Dewa Siwa dan sekaligus sebagai media untuk memuja-Nya. Ini disebabkan karena untuk melukiskan Siwa dalam wujud yang sebenarnya belum mampu, seperti halnya pandangan agama Hindu masa kini, terutama Tuhan. Beliau dikatakan bersifat Achintya, yang artinya tidak terpikirkan oleh akal pikiran manusia.B. Sejarah Keberadaan Lingga Di Karangasem BFragmen lingga yang berada di Padukuhan Karangasem B, merupakan benda peninggalan Hindu periode Klasik abad IX-X Masehi. Benda tersebut terpisah dari masyarakat pendukungnya dalam waktu yang relatif lama yaitu ratusan tahun lamanya. Ditinjau dari fungsi fragmen lingga, maka diduga kedua obyek Cagar Budaya tersebut merupakan benda yang pernah digunakan sebagai sarana ritual pemujaan terhadap dewa Siwa di daerah Karangasem. Atau minimal, lokasi tempat ditemukannya kedua benda memiliki indikasi sebagai lokasi suci yang dipakai untuk tempat beribadat umat Hindu pada masa lalu. Berdasarkan wawancara terhadap warga Karangasem B, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat tidak pernah tahu bahwa kedua benda yang ditemukan daerahnya merupakan lingga semu dan fragmen lingga. Kedua orang yang memiliki ladang yaitu Sukimin dan Mujarohmat, hanya bisa menceritakan bahwa kedua benda tersebut memiliki kaitan dengan legenda setempat yaitu batu : Kuncung dan Bawuk. Legenda yang berkembang di masyarakat, merupakan sebuah cerita rakyat yang diyakini kebenarannya dan merupakan rangkaian sejarah Ki Ageng Giring. Batu Kuncung dan Bawuk atau fragmen lingga mengandung sejumlah cerita mistik, dan menyebabkan kedua benda tersebut cukup dikeramatkan.Menurut penjelasan Mujarohmat (79 tahun), batu kuncung dan bawuk tetap berada di ladang garapannya. Sejak beliau kecil, kedua benda tersebut tidak pernah berpindah tempat karena tidak ada orang yang berani mengusik. Namun pada malam satu suro sejumlah orang yang berasal dari daerah lain, sering mengunjungi ladang garapannya, dengan tujuan untuk melakukan ritual tertentu. Meski kegiatan tersebut tidak lagi ramai dilakukan, namun Mujarohmat mengetahui bahwa dulu ada sejumlah orang Bali yang datang ke daerah disekitar ladangnya untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan. Dalam hal ini, Mujarohmat menyebut istilah “Ngudhunke”. Kata tersebut mengandung pengertian melakukan sesembahan dengan membawa aneka masakan yang dibagi ke warga sekitar, setelah didoakan.Berdasarkan observasi di lokasi dan wawancara dengan narasumber, tidak ditemukan lagi sisa-sisa peninggalan Budaya Hindu baik di ladang Mujarohmat maupun Sukimin. Namun berdasarkan analisa foto yang diambil oleh Google earth (lihat lampiran Foto), terdapat indikasi adanya perbedaan bentuk lingkungan di ladang tersebut yang dilakukan dengan sengaja. Berdasarkan analisa gambar tersebut, ladang tempat ditemukannya kedua benda Cagar Budaya, berada di sebuah lahan berbentuk persegi yang dikelilingi oleh pohon. Perlu kajian arkeologi lebih lanjut untuk menganalisa adanya indikasi ini.
Nilai Sejarah : Merupakan bukti keberadaan pengaruh Kebudayaan Hindu yang berlangsung sejak abad IX-X Masehi.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Bagi ilmu arkeologi memiliki arti penting untuk merekonstruksi kebudayaan Hindu yang pernah berkembang di wilayah Kabupaten Gunungkidul.
Nilai Pendidikan : sebagai pembelajaran masyarakat dan generasi penerus untuk bisa memahami dan melestarikan warisan budaya yang ada di Gunungkidul khususnya peninggalan kebudayaan Hindu abad IX – X Masehi.
Nilai Budaya : Fragmen lingga menjadi bukti keberadaan sebuah bangunan suci.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Milik Negara
Pengelolaan
Nama Pengelola : Milik Negara
Catatan Khusus : A. Fragmen batu 1 (bagian bawah)Tinggi : 29 cmPanjang : 9 cmLebar : 9 cmB. Fragmen batu 2 (bagin atas)Tinggi : 13 cmPanjang : 7 cmLebar : 8 cmC. Lubang Panjang : 7 cmLebar : 7 cmKedalaman : 3 cm