Loading

Masuk Jogjacagar


Deskripsi Singkat

Bangunan Kolonial 1800 M 1900 M

Stasiun Palbapang adalah salah satu stasiun kecil yang berada di jaur kereta api Yogyakarta-Brosot. Stasiun tersebut merupakan stasiun yang melayani penumpang serta pengangkutan barang-barang atau hasil perkebunan tebu dan pabrik gula.

                       

Stasiun Palbapang dulu juga dilengkapi dengan adanya rumah dinas. Beberapa bangunan rumah dinas masih ada dan saat ini untuk rumah hunian keluarga pensiunan PT KAI. Sebelum kendaraan bermotor merajai jalanan, maka mobilitas warga di Pulau Jawa umumnya dilakukan dengan menggunakan kereta api. Demikian pula dengan warga Yogyakarta. Pengangkutan kereta api jurusan Yogyakarta–Palbapang, pada waktu itu menjadi andalan transportasi bagi warga kebanyakan untuk mobilitas Yogyakarta-Bantul. Baik itu untuk mobilitas pulang-pergi kerja, sekolah, ataupun sekadar jalan-jalan. Pada waktu itu waktu tempuh kereta api hanya dua kali, yakni pagi dan sore.

                       

Pada masa operasional kereta yang pertama di Hindia Belanda lokomotif yang digunakan adalah lokomotif uap air untuk mengisi ketel lokomotif. Air untuk keperluan tersebut diambil dari menara yang tersedia di setiap stasiun. Bahan bakar lokomotif uap adalah batu bara dan kayu jati.

                       

Malaise yang terjadi tahun 1931-1935 yang melanda dunia mempengaruhi perusahaan-perusahaan pertanian asing yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk pabrik gula Sewu Galur dan Pundong. Oleh karena itu mereka menyerahkan kembali hak konversinya baik sebagian maupun seluruhnya. Akibatnya hal ini berpengaruh pula pada sepinya lalu lintas kereta api. Hal ini disusul dengan pembongkaran rel-rel yang terjadi pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-an, maka berakhirlah jalur kereta api jurusan kota Yogyakarta-Pundong dan Palbapang-Sewu Galur serta jaur kereta api ke tenggara. Hal ini disebabkan oleh karena jaringan rel yang ada dibongkar untuk kepentingan Asia Raya.

                       

Pada waktu pendudukan tentara Belanda (Clash II) pada tahun 1948/1949 tanah-tanah yang semula digunakan untuk jalan kereta api diubah sifatnya oleh rakyat untuk merintangi perjalanan tentara Belanda yang akan menuju ke pelosok-pelosok, bahkan gedung-gedung bangunan yang dulu digunakan sebagai stasiun turut serta dihancurkan. Dengan demikian pada masa Clash II Stasiun Palbapang untuk sementara tidak digunakan. Pada tahun 1954 Stasiun Palbapang kembali aktif digunakan. Akan tetapi jalur kereta api yang sampai ke Brosot sudah tidak difungsikan lagi. Secara sosial ekonomi keberadaan kereta api juga sangat menguntungkan bagi para pelajar maupun para pekerja yang suka nglajo serta untuk pengangkutan barang hasil pertanian.

                       

Sekitar tahun 1970-an dengan semakin berkembangnya sarana transportasi umum seperti angkutan colt, bus mengakibatkan kereta api kurang efektif dan mulai menurun peranannya. Masyarakat Bantil tidak lagi tergantung pada kereta api yang jalur waktunya hanya dua kali tempuh.

 

Mulai tahun 1975/1976 jalur kereta api dari Stasiun Ngabean ke jalur selatan tidak difungsikan lagi sebagaimana peruntukannya. Tanah stasiun telah berubah fungsi menjadi hunian atau warung-warung. Bangunan eks Stasiun Palbapang juga sudah mengalami alih fungsi. Pernah dimanfaatkan sebagai Kantor Markas Legiun Veteran Kabupaten Bantul dan mulai tahun 1990-an digunakan untuk terminal transit bus antar Bantul-Yogyakarta.

                       

Stasiun pertama yang dibangun oleh NV. NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij) di Yogyakarta adalah Stasiun Lempuyangan. Stasiun Lempuyangan dulu dikenal dengan nama Stationsgebouw Semarang-Vorstenlanden. Disebut demikian karena jaur yang dieksploitasi adalah jalur dari Semarang ke Yogyakarta dan melaui Solo.

                       

Perluasan jaur NISM di Yogyakarta mulai dikerjakan pada tahun 1887. Jalur rel dari Stasiun Lempuyangan diperpanjang sejauh 1 kilometer ke arah barat sampai ke Stasiun Tugu. Stasiun Tugu sendiri merupakan stasiun yang dibangun oleh perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatsspoorweg (SS). Dari Stasiun Tugu, NISM memperluas jalur ke selatan menuju Brosot. Jalur kereta api Yogyakarta-Brosot merupakan jalur trem NISM dari jalur utama Semarang-Vorstenlanden. Pembangunan jalur ini berdasarkan GB No.9 tahun 1893 tangal 20 April 1893 untuk pengajuan konsesi selama 50 tahun.

 

Pembangunan jalur trem Yogyakarta-Brosot terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dibangun dari Yogyakarta (Tugu) ke Srandakan sepanjang 23 kilometer dan mulai beroperasi pada tahun 1895. Sepanjang jalur ini didirikan stasiun-stasiun kecil di Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Bantul, Paal Bapang, dan Srandakan. Bagian ke-2 dari Sradakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer, mulai beroperasi pada tahun 1915. Stasiun kecil didirikan di Sewugalur. Bekas stasiun, jaringan rel kereta api, dan perumahan pejabat kereta api masih dapat diidentifikasi. Salah satu stasiun tersebut adalah.

 

EMPLASEMEN STASIUN PALBAPANG (PAAL BAPANG)

Kompleks Staisun Palbapang ketika masih berfungsi berada dalam suatu kawasan yang disebut emplasemen. Emplasemen adalah kawasan yang berada di antara tanda sinyal masuk sampai dengan tanda sinyal keluar. Di dalam kawasan emplasemen dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang menunjang operasional kereta api. Stasiun Palbapang termasuk stasiun besar karena memiliki emplasemen yang luas dengan sarana rel kereta api yang kompleks.

 

Dulu batas kawasan emplasemen stasiun diberi pagar berupa kawat berduri. Sejak 20 Juli 1990 emplasemen Stasiun Palbapang digunakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul sebagai terminal bus antar kota/propinsi. Perubahan tersebut ditandai dengan prasasti yang terpasang di dinding sisi utara bangunan stasiun. Beberapa bagian sarana dan prasarana yang dahulu digunakan untuk menunjang terselenggaranya operasional angkutan kereta api sudah tidak terlihat.

 

Beberapa sarana yang masih dapat ditemukan antara lain bangunan stasiun, toilet, gudang bahan bakar dan alat-alat, rumah dinas, serta sisa jalur rel. Sarana yang tidak lagi terlihat/ditemukan adalah tanda sinyal masuk dan sinyal keluar, peron, jalur rel di dalam emplasemen, serta menara air.

 

A.1. Bangunan Stasiun Palbapang

 

Bangunan Stasiun Palbapang menggunakan tipe limasan. Lantai menggunakan teraso bermotif dengan warna dasar putih dan berukuran 20 x 20- cm. Lantai dikombinasikan dengan teraso sejenis berwarna dasar merah. Lantai bagian luar bangunan/bagian emper sudah tidak tampak karena tertutup trotoar dan aspal. Saat ini ketinggian trotoar 40 cm dari lantai stasiun. Sedangkan ketinggian aspal 25 cm dari lantai stasiun. Oleh karena itu bangunan stasiun tampak tenggelam di tengah trotoar dan aspal. Pembuatan trotoar sekaligus sebagai upaya untuk mengatasi limpahan air hujan dari jalan raya masuk ke dalam bangunan stasiun. Hal ini terjadi karena posisi jalan raya semakin lama semakin tinggi akibat pengaspalan.

 

Emper bagian selatan tidak ada lantai, tetapi hanya berupa tanah. Emperan ini dulunya untuk tempat parkir andong dan dokar. Selain itu juga digunakan untuk para pedagang yang berjualan minuman dan makanan. Emper bagian utara merupakan peron stasiun. Peron adalah halaman atau teras stasiun, tempat naik turunnya penumpang dan barang. Lantai peron menggunakan plesteran semen yang diberi garis-garis membentuk persegi sehingga menyerupai tegel. Panjang peron sama dengan panjang bangunan stasiun, kurang lebih 22,30 m, sedangkan lebarnya kurang lebih 2 m sama persis dengan lebar atap bagian emper. Di sebelah utara peron terdapat beberapa jalur kereta api. Teras peron saat ini tidak tampak karena tertutup trotoar dan aspal.

 

Dinding stasiun berupa tembok batu berplester berukuran satu batu atau tebal 30 cm. Dinding luar sisi selatan, sisi timur, dan sisi barat dicat warna putih. Demikian pula dinding luar sisi utara dicat warna putih. Dinding bagian bawah sisi luar terdapat ornamen batu kerikil tempel dicat warna hitam setinggi 35 cm dari lantai trotoar. Jika tidak tertutup trotoar, tinggi ornamen tersebut berukuran kurang lebih 80 cm. Dinding bagian atas terdapat beberapa plint plester semen sehingga membentuk profil dinding.

 

Bangunan stasiun terbagi menjadi empat ruangan antara lain:

 

a.Ruang Tunggu Calon Penumpang Kereta Api

Ruang tunggu calon penumpang kereta api berada di bagian barat, berukuran 7,90 x 4,30 cm. Dahulu ruangan ini merupakan ruang terbuka yang digunakan untuk ruang tunggu dan tempat pembelian tiket bagi calon penumpang kereta api. Dinding bagian dalam dicat warna putih. Dinding bagian bawah terdapat plint dan sisi selatan terdapat masing-masing sebuah pintu berbetuk persegi tanpa daun dan dua jendela semu. Pintu persegi tanpa daun berukuran 2,50 x 1,80 m. Kusen jendela dari kayu dicat warna biru, ukuran kusen 12 x 6 cm sedanghkan daun jendela panil kaca bening berukuran 1,52 x 1,37 cm.

 

Sebelumnya ambang pintu berbentuk trapesium. Demikian menurut Ibu Hadi Sumarto (narasumber yang dulu biasa naik kereta untuk berdagang). Setelah Stasiun Pabapang tidak beroperasi lagi, dilakukan renovasi bentuk pintu dan pemasangan pintu gulung (rolling door). Pintu di sisi selatan menghubungkan antara ruang tunggu dengan emper merupaka sisi selatan dan jalan raya. Pintu di sisi utara menghubungkan antara ruang tunggu dengan peron. Jendela semu dahulu merupakan jendela berdaun empat panil krepyak kayu di bagian luar dan panil kaca di bagian dalam.

 

Di atas jendela masing-masing terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran berdiameter 40 cm dengan jalusi besi. Selain di atas jendela, ventilasi sejenis juga terdapat pada dinding sisi barat. Ventilasi berfungsi sebagai lubang sirkulasi udara dan ornamen pada dinding. Pada dinding sisi timur terdapat satu buah jendela semu dengan lubang kecil, berfungsi sebagai tempat pelayanan tiket kereta api. Kusen jendela berukuran 12 x 8 cm. Sedangkan daun jendela berukuran 0,60 x 1,18 m. Dulu di dekat loket terdapat pagar kayu yang membentuk dua jalur antrian pembeli tiket. Pagar kayu berfungsi sebagai pembatas agar antrian pembeli menjadi teratur.

 

Pada dinding bagian dalam ruang tunggu teradapat papan kayu yang dipasang sekeliling tembok, berfungsi untuk tempat duduk calon penumpang. Tempat duduk ini berukuran tinggi 45 cm dari lantai dan lebar dudukan 20 cm. Bekas ruang tunggu sekarang digunakan oleh Bina Marga Kabupaten Bantul untuk penarikan retribusi kendaraan. Pada dinding terpasang papan jalur trayek bus antarkota dan jadwal bus. Selain itu juga ada beberapa meja dan kursi untuk pelayanan retribusi kendaraan.

 

a.Ruang Administrasi dan Loket Penjualan Tiket Kereta Api

Ruang administrasi dan loket penjualan tiket kereta api berukuran 6,10 x 4,30 m, berada di sebelah timur ruang tunggu. Dinding bagian dalam dicat warna putih, pada bagian bawah terdapat plint dari teraso bermotif warna dasar putih ukuran 20 x 18 cm. Pada dinding sisi utara terdapat satu pintu berdaun dua buah. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu dicat warna biru. Ukuran kusen 14 x 8 cm sedangkan ukuran daun pintu 0.90 x 2,12 m. Di atas pintu terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran dengan jausi besi. Dinding sudut timur laut terdapat pasangan batu bata berplester setinggi 75 cm yang digunakan untuk meletakkan brankas.

 

Pada dinding sisi timur terdapat sebuah pintu berdaun satu buah yang menghubungkan antara ruang administrasi dan ruang kepala stasiun. Kusen dan daun pintu dari bahan kayu dicat warna biru. Ukuran kusen 12 x 8 cm, sedangkan ukuran daun pintu 0,80 x 2,20 m. Dinding sisi selatan terdapat dua jendela berdaun empat dicat warna biru, kusen berbahan kayu dengan panil krepyak kayu. Kusen berukuran 12 x 8 cm, sedanghkan daun jendela berukuran 1,00 x 1,37 m. Di atas jendela sebelah timur t           erdapat dua vetilasi berbentuk lingkaran dengan jalusi besi. Sedangkan pada jendela sebelah barat hanya terdapat sebuah ventilasi dengan model sama. Pada dinding sisi barat terdapat satu buah jendela semu untuk tempat pelayanan tiket kereta api.

Ruang administrasi dan loket penjualan tiket ini selain untuk melayani penjualan tiket juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pegawai stasiun. Di dalam ruangan terdapat beberapa meja dan kursi untuk para pegawai. Ketika kereta api akan berangkat, seorang pegawai stasiun yang disebut sep, keluar dari ruangan tersebut membawa tongkat kecil dengan ujung berbentuk lingkaran. Jika kereta siap berangkat, ia akan mengangkat tanda tersebut sebagai tanda kereta api diizinkan untuk memulai perjalanan.

 

Ruang Kepala Stasiun

a.Ruangan untuk kepala stasiun diperkirakan dulunya berada di sebelah timur ruang administrasi karena ruangan tersebut berhubuingan langsung dengan ruangan administrasi melalui sebuah pintu berdaun satu. Ruangan untuk kepala stasiun berukuran 4,15 x 4,30 m. Dinding bagian dalam dicat warna putih. Pada bagian bawah terdapat pint dari teraso bermotif warna dasar putih ukuran 20 x 18 cm.

 

Pada dinding sisi utara terdapat satu pintu berdaun dua buah. Kusen dan daun pitu terbuat dari kayu dicat warn biru. Ukuran kusen 14 x 8 cm, sedangkan ukuran daun pintu 0,90 x 2,12 m. Di atas pintu terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran dengan jalusi besi. Dinding sisi selatan terdapat satu jendela berdaun dua, dicat warna biru, kusen berbahan kayu dengan panil krepyak kayu. Kusen jendela berukuran 12 x 8 cm, sedangkan daun jendela berukuran 1,00 x 1,37 m. Di atas jendela terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran dengan jalusi besi. Pada dinding sisi barat terdapat satu pintu berdaun kayu yang menghubungkan dengan ruang administrasi.

 

a.Ruang untuk Gudang

Ruangan paling timur digunakan untuk gudang, berukuran 4,15 x 4,30 m. Dinding bagian dalam dicat warna putih, pada bagian bawah terdapat plint dari teraso bermotif warna dasar putih ukuran 20 x18 cm. Pada dinding sisi utara terdapat satu pintu berdaun dua buah.Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu dicat warna biru. Ukuran kusen 14 x 8 cm, sedangkan ukuran daun pintu 0,90 x 2, 12 m. Di atas pintu terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran dengan jalusi besi. Dinding sisi timur terdapat satu jendela berdaun dua, kusen berbahan kayu dengan panil krepyak kayu, jendela dicat warna biru. Kusen jendela berukuran 12 x 8 cm, sedangkan daun jendela berukuran 1,00 x 1,37 m. Di atas jendela terdapat dua ventilasi berbentuk lingkaran dengan jalusi besi. Jendela ini seharusnya punya empat daun, namun daun jendela bagan dalam sudah tidak ada.

 

Bagian langit-langit seluruh ruangan dan bagian emper bangunan stasiun ditutup dengan eternit ukuran 1 x 1 m dicat warna putih. Sambungan antareternit dipasang lis kayu warna coklat yang berfungsi sebagai penguat dan hiasan. Atap bangunan berbentuk limasan terdiri atas bagian gajahan (atap utama) dan bagian emper (bagian atap terluar). Atap utama berukuran tinggi 1,9 m. Kerangka atap ditopang oleh kuda-kuda yang terbuat dari kayu. Di tengah atap utama terdapat gording. Kuda-kuda dan gording dibuat dari balok kayu berukuran 8 x 12 cm. Kayu untuk usuk berukuran 5 x 7 cm dipasang sejajar model ri gereh. Ujung usuk menumpu pada nok/molo sedangkan pangkal usuk menumpu pada balok kayu/balandar di atas tembok.

 

Bagian emper berukuran lebar 2 m. Ujung usuk emper menumpu pada balandar. Pangkal usuk ditutup dengan lisplank dari papan kayu selebar 10 cm dan 20 cm, dicat warna biru. Atap menggunakan genteng dan bubungan model kodok tanpa cat. Genteng menumpu pada reng yang dipasang di atas usuk. Di puncak atap terdap[at hiasan dari pasangan batu bata berplester.Pada pinggiran atap dipasang lembaran seng sebagai talang yang disalurkan ke pipa di samping bangunan.

 

A.2. Toilet

 

Bangunan untuk toilet berada di sisi utara jalan raya. Toilet berada 9,75 m di sebelah timur bangunan Stasiun Palbapang. Denah bangunan toilet berbentuk persegi, memiliki ukuran bangunan 4,25 x 3,25 m, tinggi bangnan 4,10 m. Lantai bagian dalam saat ini menggunakan tegel bermotif kotak-kotak warna kuning, berukuran 30 x 30 cm. Lantai bagian luar toilet tertutup trotoar dan aspal. Seperti halnya bangunan stasiun, bangunan toilet juga tampak tenggelam di tengah trotoar dan aspa, namun bagian lantai sudah direnovasi sehingga pada saat ini ketinggian lantai di dalam toilet sejajar dengan trotoar.

 

Dinding sisi selatan, sisi timur, dan sisi baraty berupa tembok batu bata berplester, ukuran satu batu, sekitar 30 cm. Ketiga sisi dinding tersebjut pada bagian luar terdapat ornamen batu kerikil tempel setinggi 55 cm dari lanttai trotoar dan plint plesteran yang membentuk profil dinding. Katiga sisi dinding yang menghadap ke jalan raya tersebut dicat putih. Model ventilasi seperti pada bangunan stasiun juga digunakan pada bangunan untuk toilet. Pada dinding sisi timur terdapat satu ventilasi, sisi selatan ada dua ventilasi, dan sisi barat ada satu vetilasi.

 

Susunan roster bermotif berbentuk persegi panjang di sebelah barat pintu. Roster berfungsi sebagai sirkulasi udara dan pencahayaan alami di dalam ruangan toilet. Bangunan ini terbagi dalam tiga buah ruang toilet, masing-masing berukuran 1,40 x 1,95 m, dan masing-masing ruangan dibatasi oleh dinding batu bata setinggi 2 m. Dinding di dalam toilet dilapisi tegel warna kuning setinggi 1,5 m. Masing-masing toilet terdapat bak air, WC, dan pintu terbuat dari kayu yang dicat warna coklat dengan ukuran 0,95 x 2 m.

 

Dulunya lantai toilet sebelum direnovasi berupa plesteran semen. Dinding di sisi utara adalah dinding tambahan. Dulu tidak dinding. Di sebelah utara berupa emper dan tampak deretan tiga toilet dengan pintu kayu.

 

Bagian langit-langit ditutup dengan eternit berukuran 1 x 1 m dicat warna putih. Sambungan antareternit dipasang lis kayu warna coklat. Atap bangunan berbentuk limasan terdiri atas bagian gajahan dan bagian tritisan. Atap utama berukuran tinggi 1 x 1 m sampai ke bagian puncak. Sedangkan tritisan berukuran lebar 1 m. Kayu usuk berukuran 5 x 7 cm dipasang sejajar model ri gereh, Pangkal usuk menumpu pada balok kayu/balandar di atas tembok. Atap menggunakan genteng dengan bubungan model kodok tanpa cat. Di atas puncak atap terdapat hiasan dari pasangan batu bata berplester.

 

Kondisi bangunan kurang terawat dan beberapa bagian mengalami kerusakan. Lantai dan dinding ditumbuhi rumput dan jamur. Panil kayu pada pintu berlubang. Atap di bagian timur melesak karena kayu penopangnya keropos dan beberapa genteng.        

A.3. Menara Air

Menara air merupakan tempat menyimpan kebutuhan air yang digunakan untuk mengisi ketel-ketel lokomotif. Pada awal beroperasi kereta api ditarik lokomotif yang digerakkan dengan tenaga uap. Kebutuhan air untuk mengisi ketel-ketel penggerak lokomotif harus selalu tersedia di setiap stasiun.

Menara air di Emplasemen Stasiun Palbapang sudah dibongkar sehingga sisa-sisa bangunannya sudah tidak ditemukan. Sisa pompa air sebagai alat memompa dan menyalurkan air dari sumur bor ke menara air pada saat ini dipajang di eks Emplasemen Stasiun Palbapang.

A.4. Sarana Rel Kereta Api

Jalur rel yang digunakan NISM untuk jalur trem Yogyakarta-Brosot memakai ukuran lebar rel 1.067 mm dengan bantalan rel menggunakan kayu jati. Rel-rel tersebut diikat pada bantalan dengan menggunakan paku ulir yang disekrup di atas pelat baja ke dalam bantalan kayu. Rel dipasang di atas badan jalan yang dilapisi dengan batu kricak atau dikenal sebagai balast. Balas berfungsi untuk meredam getaran dan lenturan rel akibat tekanan berat kereta api. Rel yang ada di Emplasemen Stasiun Palbapang saat ini sudah tertimbun tanah urug untuk bangunan dan aspal. Sekalipun demikian beberapa rel lain masih tampak ada di sekitar rumah warga di Dusun Karasan.                                                                                        


Informasi Cagar Budaya

Lokasi Bangunan : Jl. Panembahan Senopati No.22 Dusun Karasan Kel. Palbapang Kec. Bantul Kab. Bantul Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta
Koordinat -7.90548 ; 110.31843
SK Gubernur : SK Gubernur DIY 2002

Lokasi Stasiun Palbapang


Koordinat Penemuan : ;
Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Fungsi Bangunan : Perkantoran
Komponen Pelengkap :
  1. Pintu,Ditambahkan
  2. Ventilasi,Asli
  3. Jendela,Asli
  4. Kolom/Tiang,Asli
  5. Lantai,Asli
  6. Plafon,Asli
  7. Atap,Asli
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Fungsi Situs : Perkantoran
Fungsi : Perkantoran
Peristiwa Sejarah : Pada akhir abad ke-19 kebutuhan sistem transportasi massal dirasakan oleh para pengusaha swasta menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Sarana transportasi tradisional yang ditarik binatang (kuda, sapi, dan kerbau) dirasakan tidak memadai lagi. Pemerintah Belanda merasa perlu untuk mencari alternatif sarana transportasi yang bisa mengangkut hasil bumi yang lebih banyak, kuat, dan cepat atau mobilitas yang tinggi. Ide untuk mengoperasikan kereta api awalnya menimbulkan perdebatan. Akan tetapi dengn pertimbangan berbagai pihak pemerintah Belanda akhirya mengizinkan dibukanya jaringan kereta api di Hindia Belanda. Pada tahun 1862 pemerintah melalui Gubernur Jenderal Mr. L.A.J.W. Baron Sloet van den Beele mengeluarkan Surat Keputusan No. 1 tertanggal 1862 mengeluarkan peraturan bahwa pihak swasta dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh konsesi. Akhirnya pemerintah Belanda menerbitkan suatu konsesi pembuatan jalan kereta api yang dimulai dari Semarang. Konsesi tersebut diberikan kepada NV.NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) yang dipimpin oleh J.P. de Bordes. Perusahaan tersebut mendapatkan konsesi untuk membangun jaringan kereta api oleh pemerintah Belanda pada tahun 1863. Jalur kereta api pertama dibangun pada tanggal 17 Juni 1864 yakni jalur Kemijen-Tanggung, Semarang. Jalur tersebut sepanjang 26 km. Dapat disebutkan bahwa pertumbuhan kereta api di wilayah Yogyakarta dimulai pada akhir abad ke-19, yakni pada masa peralihan kekuasaan pemerintahan dari Sultan Hamengku Buwana VI kepada Sultan Hamengku Buwana VII. Pada masa itu arus industrialisasi semakin deras. Perkebunan-perkebunan tumbuh pesat terutama dalam bidang penanaman indigo, tembakau, nila, dan tebu. Pada waktu itu Yogyakarta menjadi penghasil gula pasir yang besar di kawasan vorstenlanden. Sampai dengan tahun 1912 telah berdiri 17 pabrik gula. Enam belas pabrik gula berdiri di afdeeling Mataram dan satu pabrik gula berdiri di wilayah afdeeling Kulon Progo. Untuk hasil-hasil perkebunan/industri tersebut, maka sarana transportasi modern yang efektif, cepat, dan bermobilitas tinggi semakin diperlukan. Pada tahun 1872 dibangunlah stasiun kereta api pertama di Yogyakarta oleh NV. NISM, yakni Stasiun Lempuyangan. Dengan adanya aktivitas yang semakin padat maka pada tahun 1887 pemerintah Hindia Belanda mendirikan stasiun baru yang berlokasi sekitar 1 kilometer di sisi barat Stasiun Lempuyangan, yakni Stasiun Tugu. Stasiun Tugu dibangun oleh perusahaan pemerintah, Staats Spoorwegen (SS) yang berdiri pada 10 April 1869. Pada awalnya stasiun ini hanya digunakan untuk transit kereta pengangkut hasil bumi dari daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun sejak tanggal 1 Februari 1905 stasiun tersebut mulai digunakan untuk trasnsit kereta penumpang. Pada tahun 1893 NV. NISM mulai memperluas jaringan rel kereta api dari Stasiun Tugu ke pedalaman sampai dengan wilayah Srandakan. Jalur berjarak 23 km tersebut diresmikan tanggal 21 Mei 1895. Sepanjang jalur kereta api Yogyakarta-Srandakan kemudian didirikanlah stasiun-stasiun kecil untuk memperpendek jalur pengangkutan kereta api. Pada dasarnya pendirian stasiun kereta api dan jaringan infrastrukturnya memanfaatkan tanah Keraton Yogyakarta. Sampai dengan tahun 1914 stasiun-stasiun kecil yang sudah beroperasi antara lain Stasiun Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Palbapang, dan Srandakan. Pada tanggal 1 April 1915 jalur kereta dikembangkan dari Srandakan ke arah Brosot, Kulon Progo. Jalur ini sepanjang 2 km dengan stasiun pemberhentiannya di Sewu Galur. Pada tanggal 15 Desember 1917 jalur tersebut juga dikembangkan ke arah tenggara Yogyakarta. Hal itu dimulai dari Stasiun Ngabean ke selatan dengan persimpangan rel di Suryobrantan (Suryowijayan) ke timur melalaui selatan benteng keraton menuju Kotagede. Sedangkan jalur ke arah Pabrik Gula Kedaton Pleret dan Pabrik Gula Pundong dibuka pada tanggal 15 Januari 1919. Stasiun-stasiun kecil tersebut di samping digunakan untuk melayani naik-turun penumpang juga terutama untk melancarkan atau mempermudah pengangkutan barang-barang atau hasil perkebunan tebu dan hasil produksi dari pabrik gula yang ada di Padokan, Gesikan, Pundong, Gondanglipuro, dan Sewu Galur. Jalur relnya menggunakan lebar rel berukuran 1435 mm, sama dengan lebar rel yang digunakan pada jalur utama Semarang-Vorstenlanden. NISM menggunakan lebar rel 1435 mm dengan maksud untuk mempertahankan eksistensi monopoli pengangkutan hasil-hasil perkebunan di wilayah Yogyakarta dan Surakarta agar bisa bersaing dengan perusahaan kereta api milik pemerintah (Staatspoorweg). Dasar hukum pembangunan rel kereta api ialah Gouvermenbesluit (DB) nomor 13 tahun 1913 tertanggal 29 Oktober. Dalam besluit diterangkan bahwa pembangunan rel kereta api merupakan hasil perjanjian antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Kasultanan Yogyakarta.  
Nama Pemilik Terakhir : PT KAI DAOP 6/DISHUB Bantul
Riwayat Pengelolaan
Nama Pengelola : PT KAI DAOP 6/DISHUB Bantul
Catatan Khusus : Dimanfaatkan sebagai terminal bus dan tempat ujian SIM oleh POLRES Bantul Menerima Penghargaan Pelestari dan Penggiat Cagar Budaya tahun 2002