Konteks |
: |
Megalitik adalah Tradisi kebudayaan “batu besar”, yang muncul setelah tradisi bercocok tanam mulai meluas. Hasil kebudayaan Megalitik (kemudian disebut sebagai benda Megalit) berupa batu batu berukuran besar yang digunakan atau di buat oleh manusia untuk kepentingan pemujaan pada tradisi Megalitik. Batu-batu ini merupakan bentukan alam atau sengaja di bentuk menjadi Menhir, Kubur Batu, Peti Batu, atau Dolmen. (Permana, 2016 : 212) Pendukung tradisi Megalitik percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal, masih hidup terus di dunia arwah. Mereka juga percaya bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang. Kemanan, kesehatan, kesuburan dan lain-lain sangat dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan mereka terhadap arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal. Dengan perlakuan yang baik, mengereka mengharapkan perlindungan sehingga selalu terhindar dari ancaman bahaya. (Sukendar, 1996: 1)Peninggalan tradisi Megalitik di Daerah Istimewa Yogyakarta di ketemukan di daerah Gunungkidul. Peninggalan tersebut berupa Kubur Peti Batu, batu-batu tegak, arca-arca menhir serta lumpang batu. Kubur Peti Batu di Gunungkidul ditemukan di daerah Kajar, Wonobuda, Playen, Bleberan, Sokoliman, Gunungbang, dan Gondang.Sejak zaman penjajahan Belanda, keberadaan situs-situs Megalitikum di Gunungkidul telah menarik ahli-ahli arkeologi, antara lain arkeolog Belanda bernama JL. Moens pada tahun 1934, kemudian Van der Hoop ( Heekeren, 1951:51 dalam Sumiati AS, 1980: 27) . Kemudian pada tahun 1968 Haris Sukendar melakukan pengamatan kembali terhadap obyek-obyek penelitian Van Der Hoop (Sumiati AS, 1980: 27). Dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Van Der Hoop dapat diketahui bahwa Kubur Peti Batu digunakan untuk beberapa individu yang dikubur dalam posisi lurus. Kubur Peti Batu di situs Sokoliman merupakan wadah penguburan yang memiliki karakter berbeda dengan tradisi Megalitik daerah lain di Indonesia. Budaya Megalitikum situs Sokoliman memiliki keistimewaan terutama pada konstruksi kubur batu yang disebut Sponningen. Sponningen atau takikan pada lempeng batu kubur berupa pahatan lurus membujur pada salah satu sisi (tepi batu) yang memiliki fungsi sebagai pengikat atau pengunci lempeng batu yang lain ketika dipasang. Pada bulan November tahun 1985 dilakukan penelitian sistematis dan terencana terhadap situs Sokoliman oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut telah digali 3 buah Kubur Peti Batu yang berkode D22A, D22B, dan D24B. Ketiga kubur peti batu ini dipilih dengan asumsi memiliki keadaan yang paling baik, ditinjau dari prosentase kondisi kerusakan dengan perbandingan kubur peti batu yang lain. Hasil penemuan penggalian ke-3 buah kubur peti batu tersebut diketemukan pecahan gerabah atau kereweng, tulang manusia, tulang hewan, fragmen logam, manikmanik dan arang. (Goenadi NH, 1989: 63) Temuan terhadap gerabah yang menyertai temuan kerangka manusia, berhasil mengidentifikasi berbagai bentuk gerabah sebagai bekal kubur pada masa lalu.Temuan fragmen rangka manusia dari ekskavasi terhadap Kubur Peti Batu D22A dan D22b menunjukkan bahwa pada Kubur Peti Batu D22A terdapat 4 individu, sementara D22B terdapat 5 individu. Pada beberapa diantara individu diketemukan bukti adanya mutilasi gigi atau pangur. Selain temuan tulang manusia juga diketemukan fragmen tulang hewan, yaitu banteng, rusa, dan babi. Temuan lain yang menarik adalah manik manik sejumlah 42 biji berwarna merah dan 6.193 fragmen pecahan gerabah atau kereweng. Identifikasi terhadap temuan kereweng di duga berasal dari gerabah yang berbentuk periuk, mangkuk, jun, dan kendi. (Laporan Pemetaan Situs Sokoliman 2017, hal. 2)Hasil penelitian terhadap tulang manusia menghasilkan kesimpulan bahwa pada Kubur Peti Batu di Sokoliman paling sedikit telah terjadi 5 tahap penguburan. Perkiraan tentang terjadinya penguburan bertahap itu didukung oleh hasil analisa terhadap temuan tulang manusia, yang dapat mengidentifikasi setidaknya ada 4-5 individu dalam Kubur Peti Batu. (Goenadi Nh dan H. Sukendar, 1986). Hasil penelitian yang sistematis yang dilakukan oleh Goenadi dan Sukendar di atas, di dukung oleh hasil penilitan Van Der Hoop pada tahun 1935. Kubur Peti Batu Bleberan diketemukan 3 kerangka manusia yang bertumpuk, sementara di Kajar terdapat 33 rangka manusia yang bertumpuk. (Goenadi Nh, 1989: 71)Dengan demikian, Kubur Peti Batu D24 Situs Sokoliman menyimpan berbagai informasi yang sangat penting bagi sejarah perkembangan budaya Megalitikum di Indonesia. Namun, keberadaan Kubur Peti Batu sebagai sebuah peninggalan budaya tidak didukung oleh banyaknya riset dan tindak lanjut penanganan terhadap benda ini sendiri. Terbukti dari rentang waktu penelitian terhadap Struktur Cagar Budaya Kubur Peti Batu dari Sokoliman yang cukup lama serta hasil penelitian yang tidak mewadahi untuk segera di tindak lanjuti dengan penanganan terhadap penyelamatan terhadap Kubur Peti Batu D24 sebagai Struktur Cagar Budaya. |