Loading

Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto menghadap ke arah selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini ditanami berbagai macam pohon dan dibatasi pagar dari pasangan bata berplester semen. Kompleks rumah tersebut terdiri atas beberapa bagian yaitu pendopo, pringgitan, dalem, longkangan, dan pawon.

Pendopo

Pendopo adalah bangunan yang digunakan untuk kegiatan bersifat publik seperti menerima tamu dan pertemuan. Bangunan pendopo berada di bagian paling selatan atau bagian depan dari kompleks rumah. Menurut Setyo Pranyoto konstruksi kayu pendopo masih asli, seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati. Bagian pendopo yang telah direhab adalah lantai dan tambahan undakan di sisi selatan.

Bangunan pendopo menggunakan bangunan tipe joglo yang terbuka, tanpa dilengkapi dengan dinding maupun pagar. Denah pendopo berbentuk persegi panjang dengan ukuran 10,63 m x 9,72 m; sedangkan arah hadapnya ke selatan.

Atap pendopo ditutup menggunakan genteng tanah liat jenis genteng kripik. Genteng menumpu pada reng di atas usuk. Wuwungan di atas dudur brunjung ditutup dengan wuwungan seng, sedangkan wuwungan di atas molo dan dudur penanggap hingga cukit tritis ditutup dengan wuwung tanah liat. Pada atap paling atas terdapat hiasan atap berbentuk ayam dan mahkota. Dahulu hiasan ayam ada dua, mengapit mahkota tetapi salah satu hiasan jatuh dan pecah. Hiasan atap berbentuk ayam mengandung arti atau lambang kejantanan, keberanian, dan kelaki-lakian. Jadi merupakan lambang/ gambaran orang yang menjadi andalan baik dalam kekuatan fisik maupun batin atau andalan di segala bidang.

Semula lantai pada bagian joglo, pringgitan, dan dalem berupa floor, saat ini diganti dengan tegel warna merah berukuran 30 cm x 20 cm. Perubahan menjadi tegel dilakukan pada tahun 1980-an oleh Setyo Pranyoto. Lantai joglo dahulu lebih tinggi, tetapi dikurangi tingginya saat perubahan lantai floor menjadi tegel.

Di sebelah utara pendopo terdapat undakan dengan ukuran lebar 30 cm dan tinggi 16 cm. Di sisi barat pendopo posisi lantai lebih tinggi 63 cm dari tanah halaman, sedangkan sisi timur lantai lebih tinggi 53 cm dari lantai tatanan batu di halaman sisi timur. Di sisi selatan pendopo terdapat struktur baru dari pasangan bata dengan plesteran semen yang direncanakan menjadi kuncungan. Struktur baru tersebut berukuran 390 cm x 510 cm. Lantai lebih rendah 19 cm dibanding lantai pendopo, terdapat tiga undakan di sisi timur, selatan, dan barat. Lebar undakan 28 cm, tinggi masing-masing undakan 17 cm, 17 cm, dan 10 cm.

Sokoguru atau tiang utama berjumlah empat batang berukuran 30 cm x 29 cm, tinggi 323 cm. Sokoguru menggunakan bahan kayu jati, dilapisi plitur warna coklat. Sokoguru berdiri di atas umpak batu putih, dicat warna hitam, berbentuk limas terpancung, polos tanpa ragam hias. Menurut Setyo Pranyoto, neneknya bercerita bahwa sokoguru joglo berasal dari empat penjuru mata angin.

Di bagian atas sokoguru terdapat dua batang kili dan dua batang sunduk, yang menghubungkan dua sokoguru menggunakan teknik sambungan purus. Sunduk kili bagian bawah dicat warna hijau. Di atas kili dan sunduk adalah belandar pamidhangan terdiri dari dua batang belandar pamidhangan panyelak atau belandar pamidhangan yang ukurannya pendek, dan dua batang belandar pamidhangan pamanjang atau belandar pamidhangan yang ukurannya panjang. Di antara sunduk kili dan belandar pamidhangan terdapat sesanten yang dihias tatah sungging.

Di atas belandar pamidhangan, terdapat belandar lar-laran di bagian pamanjang dan panyelak masing-masing terdiri dari tiga batang bersusun tumpangsari membentuk piramida terbalik. Sambungan antar belandar menggunakan teknik cathokan. Pertemuan belandar antara bagian pamanjang dan panyelak di bagian sudut menyisakan bagian gimbal. Gimbal ini tidak dibuat pada belandar lar-laran paling atas karena bagian sudut pertemuan antara belandar lar-laran panyelak dan belandar lar-laran pamanjang bersambungan dengan dudur pananggap di keempat sudut.

Pengunci emprit gantil berada di keempat sudut belandar lar-laran, digunakan untuk mengunci dua belandar lar-laran paling atas dengan dudur brunjung. Emprit gantil sekaligus berfungsi sebagai ornamen pada bagian tumpangsari. Emprit gantil diukir dan dicat sunggingan.

Di bagian tengah pamidhangan terdapat dhadha peksi yaitu pangeret atau balok melintang pada bagian panyelak pamidhangan yang berupa kayu berornamen ukiran dan dilapisi cat warna hijau. Dhadha peksi berfungsi teknis memperkuat sambungan belandar pamidhangan di bagian tengah dan sebagai elemen penghias bagian tengah uleng, yaitu rongga yang terbentuk oleh pamidhangan. Di tengah uleng terdapat satu belandar singup yang dicat warna hijau. Di bagian atas ditutup dengan plafond pamidhangan ditutup dengan papan kayu dicat warna putih gading.

Soko pananggap atau tiang pada bagian pananggap berjumlah 12 batang, bahan dari kayu jati berukuran 14 cm x 14 cm, tinggi 249 cm. Soko dicat warna hijau dengan hiasan plisiran warna kuning. Soko diberi alas umpak batu putih, dicat warna hitam, berbentuk limas terpancung, tanpa ragam hias. Ukuran umpak bagian bawah 21 cm x 21 cm, bagian atas 17 cm x 17 cm, tinggi umpak rata-rata 21 cm. Tinggi umpak soko penanggap tidak sama, karena beberapa umpak tampaknya telah diganti menyesuaikan tinggi tiang setelah lantai direnovasi.

Di atas soko pananggap terdapat geganja dengan detail ornamen profil. Geganja berfungsi sebagai landasan pertemuan antara soko dengan belandar pananggap dan sebagai ornamen di atas soko. Belandar pananggap, yaitu kayu balok panjang yang disangga oleh soko, berukuran 14 cm x 14 cm dari kayu jati polos dilapisi plitur warna coklat. Sambungan belandar menggunakan teknik cathokan dengan pengunci sindik kayu. Pertemuan belandar pananggap di bagian sudut menyisakan bagian gimbal, yaitu bagian lebihan dari cathokan belandar di bagian pamanjang dan bagian panyelak.

 Bahan rangka atap pendopo terbuat dari kayu jati polos tanpa cat maupun pelitur. Usuk di bagian brunjung, pananggap, dan cukit tritis menggunakan model ri gereh. Pangkal usuk brunjung menumpu pada belandar lar-laran paling atas.

Ujung usuk pada bagian pananggap menumpu pada belandar lar-laran yang paling atas. Usuk yang berukuran pendek, ujung usuk menumpu pada dudur pananggap. Bagian pangkal usuk pananggap menumpu pada belandar penanggap. Ujung tumpuan usuk menggunakan model mulut ikan, jadi bentuknya agak meruncing agar pas menumpu pada balok kayu.

Cukit tritis berukuran lebar ± 100 cm. Usuk pada bagian cukit tritis pada bagian atas menumpu pada belandar penanggap. Pada ujung usuk ditutup dengan lisplank dari papan kayu.

 

Longkangan

Longkangan adalah area terbuka di dalam kompleks rumah. Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto memiliki satu longkangan, yaitu berada di belakang pendopo dan dalem yang berukuran 323 cm beralaskan batu putih persegi berukuran 30 cm x 30 cm.

Pringgitan

Di sebelah utara longkangan terdapat bangunan tipe limasan yang berfungsi sebagai pringgitan. Pringgitan dahulu biasa digunakan untuk pementasan wayang. Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9,66 m x 3 m dan tinggi bangunan 8,50 m. Bagian depan atau sisi selatan tidak terdapat dinding, jadi pringgitan merupakan bangunan terbuka. Komponen kayu untuk pringgitan berasal dari Gamplong. Diwariskan pada keluarga yang tinggal di Kemetiran, kemudian dibawa ke Tungkak, dan terakhir dibawa ke Sungapan hingga saat ini.

Lantai berupa tegel warna abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm. Lantai pringgitan lebih tinggi 70 cm daripada lantai di longkangan. Akses naik melewati dua buah undakan di sisi selatan. Undakan berukuran lebar 29 cm, serta tinggi 23 cm.

Bangunan limasan ditopang oleh dua soko dan dinding batu bata berplester. Soko dari kayu berukuran 13 cm x 13 cm, tinggi 260 cm. Soko dicat warna biru dengan hiasan plisir di bagian pinggir kayu dicat warna kuning. Soko ditopang umpak batu putih, dicat warna hitam. Umpak berukuran 15 cm x 15 cm, dengan ketinggian 7 cm. Di sisi barat, utara, dan timur pringgitan berupa dinding tembok bata berplester bligon, tembok dicat warna putih, berukuran tebal 30 cm, tinggi 275 cm.

Molo pada bagian atap ditopang oleh dua ander. Ander menumpu pada belandar pangeret. Belandar pada sisi selatan ditopang oleh soko kayu sedangkan pada sisi utara ditopang oleh dinding pada bagian pananggap ndalem ageng. Bagian langit-langit ditutup plafond raguman dari susunan batang bambu yang disatukan dengan tali ijuk. Bambu untuk ragum sudah dilakukan penggantian karena bambu lama telah rapuh. Bahan penutup atap menggunakan genteng kripik. Wuwungan di atas molo ditutup dengan krepus.

Dalem Ageng

nDalem ageng merupakan bangunan tipe limasan yang tepat berada di belakang pringgitan. Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9,66 m x 19,89 m. nDalem ageng difungsikan sebagai tempat menyimpan gamelan dan senthong.

Lantai di dalam ndalem ageng dibuat dari tegel semen ukuran 20 cm x 20 cm warna abu-abu. Lantai hanya berselisih tinggi 5 cm dengan lantai di bagian pringgitan. Lantai di ruang tengah dan senthong tidak berbeda  tingginya.

Atap ndalem ageng disangga oleh dinding tembok dan empat soko. Soko dari kayu berukuran 16 cm x 16 cm, tinggi 340 cm. Soko berdiri di atas umpak batu putih, bentuk dasar limas terpancung, tanpa ragam hias. Umpak soko berukuran lebar bawah 30 cm x 30 cm, lebar atas 23 xm x 23 cm, tinggi 29 cm.

Dinding ndalem ageng berupa tembok dari pasangan bata berplester bligon, dicat warna putih. Dinding berukuran tebal 30 cm, tinggi 358 cm. Bagian depan atau sisi selatan merupakan dinding yang berbatasan dengan pringgitan. Pintu di bagian tengah yang merupakan pintu utama menggunakan model dua daun pintu dengan kusen kayu. Di samping kanan kiri pintu terdapat jendela panil kaca. Kusen pintu dan jendela merupakan satu rangkaian dengan ukuran kayu kusen 6 cm x 12 cm, lebar 240 cm, dan tinggi 207 cm. Dua pintu di samping kanan dan kiri pintu utama menggunakan model pintu berdaun dua dengan tebeng di bagian atas.

Pada dinding sisi barat dan timur masing-masing terdapat sebuh pintu berdaun dua. Pintu dilengkapi dengan tebeng di bagian atas berhias kayu bentuk persegi. Di depan pintu terdapat empat undakan, tiap undakan berukuran lebar 36 cm, tinggi 23 cm. Pintu di sisi barat menuju ke halaman sebelah barat. Pintu pada dinding sisi timur menuju ke bangunan baru yang digunakan untuk tempat tinggal dan tempat usaha keluarga Setyo Pranyoto. Dinding di atas pintu terdapat ventilasi berbentuk segitiga dengan hiasan semacam alis di atas lubang ventilasi sisi luar.

Di dalam ndalem ageng terdapat tiga buah senthong yaitu: tiga ruang berjajar yang dipisahkan dengan dinding tembok setebal 15 cm. Tiga buah senthong tersebut dalam budaya Jawa biasa disebut dengan senthong kiwa (kiri), senthong tengah, dan senthong tengen (kanan). Senthong kiwa dan tengen berukuran panjang 297 cm, lebar 227 cm. Senthong tengah berukuran panjang 353 cm, lebar 227 cm. Masing-masing senthong memiliki pintu di sisi selatan, dengan ukuran lebar 101 cm, tinggi 195 cm. Pintu tanpa dilengkapi kusen dan daun pintu, hanya ditutup dengan kain. Saat ini senthong di rumah Setyo Pranyoto kurang terawat, hanya digunakan menyimpan gamelan yang rusak.

Rangka atap pada bagian atap ditopang oleh dua ander. Ander menumpu pada belandar pangeret. Belandar ditopang oleh soko kayu sedangkan pada sisi utara ditopang oleh dinding pada bagian pananggap ndalem ageng. Bagian langit-langit ditutup plafond raguman dari susunan batang bambu yang disatukan dengan tali ijuk. Bahan penutup atap menggunakan genteng kripik. Wuwungan di atas molo ditutup dengan krepus.

Status : Bangunan Cagar Budaya
Alamat : Padukuhan Sungapan RT 68, Argodadi, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.8526337494612° S, 110.24635444881° E

SK Walikota/Bupati : Keputusan Bupati Bantul No 693 Tahun 2020


Lokasi Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Jenis Struktur : Tradisional
Dimensi Struktur
Jenis Bangunan : Tradisional
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Prawiro Diharjo
Peristiwa Sejarah : Joglo dibangun oleh Prawiro Diharjo, orang tua dari Ibu Subiratun. Prawiro Diharjo adalah kakek dari Setyo Pranyoto. Prawiro Diharjo dulu menjabat sebagai Mantri Tani. Prawiro Diharjo oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Den Bei, yang dermawan karena sering menampung orang yang membutuhkan tempat tinggal, membagi makanan. Pada masa perjuangan Prawiro Diharjo menyediakan dapur umum bagi para pejuang yang mempertahankan jembatan Bantar di Sedayu melawan penjajah Belanda. Kompleks rumah Setyo Pranyoto saat ini telah dibagi waris, tetapi khusus pendopo diwasiatkan untuk tidak dibagi dan tetap dimanfaatkan untuk kegiatan publik. Joglo dan pringgitan dimanfaaatkan untuk berbagai kegiatan seperti pentas wayang, ketoprak, pengajian, syawalan, merti dusun, suran, resepsi, karawitan, dan pentas budaya. Kegiatan rutin masyarakat yang masih dijalankan adalah latihan gamelan dan latihan gamelan untuk siswa SMP setiap hari jumat. Gandok kiwa dan gandok tengen pernah digunakan untuk Sekolah Rakyat dari tahun 1947. Gandok kiwa bahkan digunakan sebagai sekolah SD Sungapan hingga taun 1985.
Nilai Sejarah : merupakan informasi tentang kehidupan masa lalu, bahwa di Kalurahan Argodadi, Kapanewon Sedayu sudah ada sekolah yang diselenggarakan di rumah penduduk
Nilai Ilmu Pengetahuan : mempunyai potensi untuk diteliti dalam rangka menjawab masalah di bidang arkeologi, sejarah, arsitektur dan teknik bangunan
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Prawiro Diharjo
Pengelolaan
Nama Pengelola : Prawiro Diharjo
Catatan Khusus : Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto merupakan bangunan tradisional di Kabupaten Bantul.