Arca Agastya Nomor Inventaris BG. 1815 Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta digambarkan dengan sirascakra (lingkaran penanda kedewaan) di belakang kepala, berdiri di atas lapik batu berbentuk segi empat dalam posisi samabhanga (berdiri tegak), dan disertai oleh dua tokoh gana (pendamping) di kedua sisinya dalam posisi menyembah. Arca Agastya memegang kama??alu (kendi) di tangan kiri dan ak?am?l? (tasbih) di tangan kanan. Di sisi kanan tokoh Agastya terdapat trisula. Pada umumnya di bagian kiri tokoh Agastya terdapat camara (kebut lalat) akan tetapi sandaran bagian kiri arca patah.
Agastya digambarkan memiliki rambut terurai di atas bahu dengan mahkota berbentuk ja??makuta. Arca memakai kundala (subang), keyura (kelat bahu), ka?kana (gelang tangan dan gelang kaki), upavita (selempang) yang digantungkan dari bahu kiri menyilang ke pinggang kanan, udarabandha (ikat pinggang arca laki-laki), dan kañcid?ma (hiasan pinggang) berbentuk genta kecil.Bahan Utama | : | Batu Andesit |
Keterawatan | : | Utuh dan Terawat,Tidak Utuh / |
Dimensi Benda | : |
Panjang - Lebar 40 Tinggi 57 Tebal 29 Diameter - Berat - |
Peristiwa Sejarah | : | Agama Hindu telah berkembang di tanah Jawa pada abad ke-5. Hal ini diketahui melalui Prasasti Ciareteun. Prasasti tersebut mengabarkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara yang rajanya dipersamakan dengan Wisnu. Prasasti Ciareteun ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Keterangan mengenai perkembangan agama Hindu berikutnya diperoleh dari Prasasti Dakawu/ Tukmas yang ditemukan di Grabag, Magelang, yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 hingga ke-7. Prasasti tersebut juga dituliskan dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Di dalam prasasti disebutkan tentang mata air suci yang mengalirkan sungai selayaknya Sungai Gangga. Melalui Prasasti Canggal (732 M) yang ditemukan di Salam, Magelang, dapat diketahui bahwa pada abad ke-8 telah berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang raja bernama Sanjaya. Sanjaya mendirikan lingga untuk Siwa di atas Gunung Wukir (Muntilan, Magelang). Prasasti Canggal ditulis dalam bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa. Bahasa dan aksara tersebut juga digunakan untuk Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun 778 M. Prasasti Canggal bercorak Hindu, sedangkan Prasasti Kalasan bercorak Buddha. Meskipun demikian hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Pada masa itu agama Hindu dan Buddha berkembang secara bersamaan dalam masyarakat. Bukti dari toleransi tersebut terdapat pada pendirian bangunan keagamaan bercorak Hindu dan Buddha dalam lokasi yang saling berdekatan, contohnya Candi Prambanan/ Siwagrha (856 M) yang dikelilingi oleh candi-candi bercorak Buddha seperti: Candi Kalasan (778 M) dan Candi Sewu/ Manjusrigrha (792 M). Agastya merupakan salah satu dewa dalam panteon agama Hindu. Pemujaan Agastya pertama kali disebutkan dalam prasasti Dinoyo (760 M) yang ditemukan di Malang. Prasasti Dinoyo menuliskan tentang seorang raja bernama Limwa yang memerintahkan supaya arca Agastya dari kayu di bangunan suci Maharsibhawana diganti dengan batu hitam. Indikasi pemujaan Agastya berikutnya diperoleh secara tersirat pada Prasasti Ratu Baka A (856 M) yang ditemukan di lereng bukit Boko sebelah selatan Candi Prambanan. Prasasti tersebut berisi keterangan mengenai pendirian lingga atas perintah seorang penguasa (rakai) di Walaing yang bernama Pu Kumbhayoni. Dalam konsepsi kosmologi agama Hindu, raja merupakan titisan atau jelmaan dewa yang digambarkan melalui jumlah permaisuri, pejabat, menteri, pendeta istana; penempatan wilayah kekuasaan; serta pengambilan nama dan gelarnya. Kumbhayoni merupakan salah satu nama dari Agastya. Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan adanya pemujaan Agastya pada masa itu. Pemujaan Agastya tidak terlepas dari panteon agama Hindu. Selain Agastya, dewa yang biasanya dipuja antara lain: Siwa, Ganesha, dan Durga. Dewa-dewa ini menempati arah mata angin dan relung tersendiri dalam bangunan candi. Pada umumnya Agastya menempati relung di sisi selatan. Arca Agastya ditemukan pada tanggal 8 Februari 2002. Arca merupakan hasil penyelamatan di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Masuk sebagai koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 01 Mei 2002 dengan nomor inventaris BG. 1815. Dengan adanya temuan Arca Agastya Nomor Inventaris BG. 1815 dapat diketahui bahwa di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul pernah berkembang agama Hindu. |
Nilai Sejarah | : | merupakan informasi tentang kehidupan masa lalu, bahwa di Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, sudah ada masyarakat yang menganut agama Hindu dalam tata kehidupan yang terstruktur |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | mempunyai potensi untuk diteliti dalam rangka menjawab masalah di bidang ilmu arkeologi, sejarah dan seni arca |
Nilai Agama | : | menunjukkan adanya benda yang masih terikat dengan aktivitas keagamaan atau religi agama Hindu pada abad ke-8 hingga abad ke-10 |
Nilai Budaya | : | memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, yaitu sebagai karya unggul yang mencerminkan puncak pencapaian budaya dan benda yang mencerminkan jati diri bangsa dan daerah yakni kebudayaan Hindu di Jawa pada abad ke-8 hingga abad ke-10 |
Nama Pemilik Terakhir | : | Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Museum Purbakala Pleret |