Benda
Nama Lainnya : BG 349
Arca Siwa Nomor Inventaris BG. 349 digambarkan duduk di atas padmasana yakni tempat duduk berbentuk bunga teratai, serta berada dalam posisi vajrasana, yaitu dalam posisi bersila dengan kaki kiri ditumpangkan ke atas paha kanan. Siwa digambarkan bertangan empat. Tangan kanan belakang Siwa membawa aksamâlâ (tasbih), tangan kiri belakang memegang camara (kebut lalat), tangan kanan bersikap varamudra (sikap tangan memberi hadiah, telapak tangan dalam sikap terbuka, diarahkan ke bawah), serta tangan kiri depan diletakkan di atas pangkuan dan menghadap ke atas membawa bivalfala (kawista/ wood apple). Di belakang kepala Siwa terdapat bulan sabit. Siwa memakai mahkota jatamakuta, vaijayanti (kalung), keyura (kelat bahu) di keempat lengan, dan upawita (pita kasta/ tali kasta) dari bahu kiri ke pinggang kanan.
Lokasi Penyimpanan Benda | : |
Padukuhan Bintaran Wetan
Kel. Srimulyo
Kec. Piyungan
Kab. Bantul
Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta
Koordinat ; |
Koordinat Penemuan | : | -; - |
Bahan Utama | : | Batu Batu Putih |
Keterawatan | : | Utuh dan Terawat,Utuh / |
Dimensi Benda | : |
Panjang - Lebar 26 Tinggi 52.5 Tebal 25 Diameter - Berat - |
Peristiwa Sejarah | : | Agama Hindu telah berkembang di tanah Jawa pada abad ke-5. Hal ini diketahui melalui Prasasti Ciareteun. Prasasti tersebut mengabarkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara yang rajanya dipersamakan dengan Wisnu. Prasasti Ciareteun ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Keterangan mengenai perkembangan agama Hindu berikutnya diperoleh dari Prasasti Dakawu/ Tukmas yang ditemukan di Grabag, Magelang, yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 hingga ke-7. Prasasti tersebut juga dituliskan dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Di dalam prasasti disebutkan tentang mata air suci yang mengalirkan sungai selayaknya Sungai Gangga. Melalui Prasasti Canggal (732 M) yang ditemukan di Salam, Magelang, dapat diketahui bahwa pada abad ke-8 telah berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang raja bernama Sanjaya. Dituliskan dalam prasasti bahwa Sanjaya mendirikan lingga untuk Siwa di atas Gunung Wukir (Muntilan, Magelang). Prasasti Canggal ditulis dalam bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa. Bahasa dan aksara yang tersebut juga digunakan untuk Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun 778 M. Prasasti Canggal bercorak Hindu, sedangkan Prasasti Kalasan bercorak Buddha. Meskipun demikian hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Pada masa itu agama Hindu dan Buddha berkembang secara bersamaan dalam masyarakat. Bukti dari toleransi tersebut terdapat pada pendirian bangunan keagamaan bercorak Hindu dan Buddha dalam lokasi yang saling berdekatan, contohnya Candi Prambanan/ Siwagrha (856 M) yang dikelilingi oleh candi-candi bercorak Buddha seperti: Candi Kalasan (778 M) dan Candi Sewu/ Manjusrigrha (792 M). Selain candi, bangunan suci agama Hindu lainnya ialah pertirtaan. Petirtaan merupakan bangunan suci yang dibangun untuk menghadirkan dewa-dewa supaya memberi berkah dan kemakmuran bagi masyarakat. Untuk menghadirkan dewa, petirtaan ditanami pripih yang berfungsi untuk menghidupkan bangunan suci, serta arca, yang digunakan sebagai penggambaran perwujudan dewa. Seperti halnya dengan candi, petirtaan juga digunakan sebagai tempat untuk menyelenggaraan upacara keagamaan. Hal ini diketahui melalui penemuan pripih dan fragmen gerabah yang diperkirakan dulunya digunakan dalam prosesi upacara keagamaan. Situs Payak merupakan salah satu situs petirtaan masa klasik di Yogyakarta yang sampai saat ini masih dapat dijumpai. Struktur bangunan yang masih tersisa berupa kolam dari batu putih berukuran 312 cm x 124 cm yang dilengkapi dinding berdenah ‘U’, serta saluran-saluran air berukuran 25 x 25 cm di dinding kolam sisi barat daya. Pada dasar kolam terdapat lubang pembuangan air. Pada dinding sisi barat laut bangunan terdapat relung untuk arca Siwa dari batu putih. Arca Siwa menunjukkan langgam yang berasal dari abad ke-9. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-1983, di bawah arca ditemukan wadah pripih dengan lubang sebanyak 17 buah. Lubang tersebut melambangkan wastupurusamandala, yakni diagram yang berfungsi sebagai rancangan metafisika dan tata letak bangunan. Di dalam pripih terdapat lempengan emas dan perak. Arca Siwa dari Situs Payak masuk sebagai koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1979 Nomor Inventaris BG. 349. Arca merupakan hasil penyelamatan di Situs Payak. |
Nilai Sejarah | : | merupakan informasi tentang kehidupan masa lalu, bahwa di Bintaran Wetan, Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul sudah ada masyarakat yang menganut agama Hindu dalam tata kehidupan yang terstruktur. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | mempunyai potensi untuk diteliti dalam rangka menjawab masalah di bidang ilmu arkeologi, sejarah, dan seni arca. |
Nilai Agama | : | menunjukkan adanya benda yang masih terkait dengan aktivitas keagamaan atau religi agama Hindu pada abad ke-8 hingga abad ke-10. |
Nilai Budaya | : | memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, yaitu sebagai karya unggul yang mencerminkan puncak pencapaian budaya dan benda yang mencerminkan jati diri bangsa dan daerah yakni kebudayaan Hindu di Jawa pada abad ke-8 hingga abad ke-10. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta |
Catatan Khusus | : | Arca Siwa Nomor Inventaris BG. 349 merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Bintaran Wetan, Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. |