| Peristiwa Sejarah |
: |
Pada bulan Juli 1812 Raden Ontowiryo diangkat sebagai pangeran oleh ayahnya, Sultan Hamengku Buwana III (yang memerintah pada kurun waktu 1812-1814) dengan gelar Bendoro Pangeran Ario Diponegoro atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Sebagai pangeran, ia diberikan tanah lungguh atau tanah jabatan sejumlah 500 cacah. Ukuran satu cacah sering dipersamakan dengan satu bahu= 7096,5 m2. Salah satu tanah lungguh tersebut berada di Selarong yang saat ini secara administratif berada di wilayah Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Selarong di sebelah barat Kali Bedog kemudian menjadi tempat yang sering dikunjungi Pangeran Diponegoro. Setiap Kamis dan Jumat, ia rutin datang ke Selarong. Ia berada di Selarong selama sebulan penuh saat bulan Ramadhan dan melakukan berbagai kegiatan antara lain bercocok tanam, beternak ikan wader, dan belajar mengaji dengan para Kyai. Peter Carey dalam bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), hlm.16-17 menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro juga rela bersusah payah menata kebun buah, kebun sayur, dan semak belukar di tanahnya di Selarong, dekat Gua Secang, Kabupaten Bantul di selatan Yogyakarta. Ia juga menggunakan tempat ini sebagai tempat semadi selama bulan puasa dan kemudian memperluas fasilitasnya secara besar-besaran. Menurut laporan Belanda kebunnya di Selarong dikelilingi tembok setinggi manusia. Pangeran Diponegoro membangun tempat semadi pribadi di Gua Selarong yang berdekatan dengan perbukitan kapur (Peter Carey, 2014, hlm. 188). Gua yang lebih populer dengan nama Gua Selarong tersebut dulunya bernama Gua Secang karena banyak ditumbuhi pohon Secang. Akan tetapi karena keletakannya berada di tanah lungguh Diponegoro yang dinamakan Selarong, maka gua tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Gua Selarong. Pangeran Diponegoro tinggal di pesanggrahan yang berada di dekat masjid Kembangputihan. Masjid Kembangputihan yang saat ini masih berdiri, kemungkinan adalah masjid yang dulu digunakan untuk tempat mengaji karena di sebelah barat terdapat makam-makam kuno. Pada saat itu wilayah Kembangputihan digambarkan sudah seperti kota, tempat yang sejahtera, ada pasar yang besar dimana setiap orang yang berdagang tidak pernah rugi, tetapi juga tidak ada barang yang dijual dengan harga mahal. Menurut Babad Diponegoro, saat Perang Jawa dimulai, pesanggrahan di Kembangputihan menjadi tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan keluarga. Ketika Tegalrejo diserang, Pangeran Diponegoro beserta keluarganya mengungsi ke arah barat, melalui Sungai Suko dan pada pagi harinya sampai di Selarong. Selarong kemudian menjadi markas Pangeran Diponegoro yang pertama dalam Perang Jawa (1825-1830). Pada Perang Jawa, di Gua Selarong Pangeran Diponegoro membentuk kesatuan-kesatuan militer untuk menghadapi pasukan Belanda. Di tempat tersebut ia juga bertemu dengan Kyai Mojo dan Kyai Kwaron sebagai penasehat agama. Kedua tokoh tersebut berperanan penting sebagai penasehat Diponegoro dalam menjalankan perang agar tidak menyimpang dari ajaran Al Quran. Selama berada di Selarong Pangeran Diponegoro sempat menikah dengan seorang putri ulama Kyai Guru Kasong. |