Loading

Masuk Jogjacagar

Lokasi Peninggalan Pangeran Diponegoro

No. Reg. 3471011003.4.2022.375 Status Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Situs (2022)

Lokasi Peninggalan Pangeran Diponegoro terletak di Jalan HOS Cokroaminoto TRIII/430 Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, merupakan bekas kediaman Diponegoro dan keluarganya. Lokasi tersebut merupakan bekas kompleks ndalem Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I, Gusti Kanjeng Ratu Hageng/Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo yang didirikan sekitar Abad 18. Salah satu peninggalan terpenting dari lokasi tersebut adalah dinding tembok keliling kompleks ndalem yang sampai sekarang masih tersisa, terdapat bagian struktur tembok dalam kondisi berlubang.
Lokasi pada masa lalu, seperti halnya ndalem pangeran pada umumnya memiliki cepuri, regol, langgar, halaman depan, pendapa, ndalem ageng, gandhok, gadri, pawon, dan pakiwan. Keluasan lokasi diperkirakan 2 kali keluasan kondisi saat ini.

Informasi Cagar Budaya

Lokasi Situs : Jalan HOS Cokroaminoto TR III/430 Kel. Tegalrejo Kec. Tegalrejo Kab. Kota Yogyakarta Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta

Lokasi Lokasi Peninggalan Pangeran Diponegoro


Koordinat Penemuan : ;
Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Jumlah WBCB : -
Peristiwa Sejarah : Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari garwo selir Bendara Raden Ayu Mangkorowati, dengan nama kecil Raden Mas Mustahar. Pada tanggal 3 September 1805 menerima nama gelar Raden Mas Ontowiryo. Pangeran Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya Gusti Kangjeng Ratu Hageng (Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I) di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro diasuh dalam pendidikan agama Islam dan kebatinan Jawa. Beliau dikenal sebagai sosok yang alim, sederhana, berani, dan akrab dengan rakyatnya. Perebutan tahta di kalangan Kerajaan Mataram Islam dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mengadu domba keluarga kerajaan. Sebelum Sultan HB III wafat, ia hendak menyerahkan Tahta kerajaan kepada Pangeran Diponegoro, akan tetapi Pangeran Diponegoro menolaknya, dan akhirnya tahta diberikan kepada adik Pangeran Diponegoro yaitu Sultan Hamengkubuwono IV yang pada saat penobatan sebagai Sultan tahun 1814, masih berumur 10 tahun. Karena Sultan Hamengkubuwono IV masih anak-anak maka tampuk kepemimpinan (wali negeri) dijalankan oleh Pangeran Notokusumo (Pakualam I). Pada tanggal 6 Desember 1823, Sultan HB IV wafat karena diracun oleh Belanda saat di sebuah pesta, namun Belanda menyebarkan fitnah bahwa yang meracun HB IV adalah Pangeran Diponegoro karena ingin menjadi Sultan. Setelah Sultan HB IV wafat Belanda menobatkan putera Sultan HB IV menjadi raja pada usia 3 tahun. Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi menolak hal tersebut karena dianggap Belanda menyalahi adat dan Agama Islam. Pangeran Diponegoro menganggap bahwa Belanda akan menghapuskan Kerajaan Jawa. Sebaliknya Belanda menggangap Pangeran Diponegoro menghalangi maksudnya menjajah, oleh karena itu harus dilenyapkan. Residen Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan untuk pembuatan jalan yang melintasi halamandepan rumah Pangeran Diponegoro, hal tersebut memicu kemarahan Pangeran Diponegoro. Patok yang telah dipasang oleh Belanda dicabut dan diganti dengan tombak. Hal tersebut berdampak pada penyerbuan kampung Tegalrejo dan usaha penangkapan Pangeran Diponegoro. Pada saat penyerbuan tersebut, pintu gerbang depan telah ditutup oleh kompeni Belanda. Pangeran Diponegoro kemudian menjebol tembok sisi barat ndalem untuk menyelamatkan diri beserta keluarga dan pengikutnya. Tindakan menjebol tembok pagar ini disamping untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi juga merupakan bagian dari strategi perang. Tegalrejo dibakar oleh musuh dan kediaman Pangeran Diponegoro diserbu, namun pangeran tidak ditemukan. Pangeran Diponegoro beserta rakyat pengikutnya menyingkir ke Selarong. Setelah sempat menitipkan keluarganya, anak-anak dan orang tua yang sudah lanjut usia di Desa Dekso, Kabupaten Kulonprogo. Dari Selarong inilah dimulai Perang Diponegoro/Perang Jawa (Java Oorlog) yang berlarut-larut hingga 5 tahun yaitu tahun 1825-1830. Pangeran Diponegoro kemudian membentuk pasukan perang dengan beliau sebagai pimpinan perang, Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran Hangabei sebagai pimpinan siasat perang. Kemudian menyusul Sentot Prawirodirjo dan Kyai Mojo. Rakyat dilatih menggunakan senjata seperti tombak, pedang, parang, panah dan bandil. Maklumat tentang perang ini disiarkan oleh kurir-kurir di hampir sebagian wilayah Jawa. Keadaan Kerajaan menjadi mencekam, penduduk panik dan ketakutan. Keluarga kerajaan mengungsi di dalam Benteng Vredeburg. Rakyat menjalankan siasat perang gerilya seperti zaman Pangeran Mangkubumi (HB I). Kolonel Von Jett segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang Gua Selarong, namun selalu gagal karena Pangeran Diponegoro telah mengetahui sebelumnya. Pangeran Diponegoro dan pasukannya bersembunyi di Gua Secang yang tidak jauh dari Gua Selarong. Dari tahun 1825-1826 Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan. Jenderal Van Kock merasakan berat untuk meneruskan perang militer yang lama. Belanda mendirikan benteng-benteng untuk bertahan dan bergerak maju. Antara Banyumas hingga Madiun Belanda membangun sistem benteng stelsel dengan puluhan ribu serdadu, meskipun demikian pada triwulan pertama tahun 1828 Belanda belum berhasil mematahkan kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro. Siasat perang perundingan ditempuh oleh Belanda. Perundingan pertama dilakukan oleh Belanda dengan Kyai Mojo yang saat itu mewakili Pangeran Diponegoro yang berakhir dengan ditangkapnya Kyai Mojo kemudian beliau diasingkan ke Manado dan wafat pada 21 Desember 1849. Perundingan berikutnya dilakukan dengan Sentot Prawirodirjo yang gagal pula dan Sentot Prawirodirjo kembali ke medan perang. Dengan berbagai siasat akhirnya Sentot Prawirodirjo menyerah dengan syarat. Beliau dan pasukannya dikirim ke Sumatera untuk bertempur melawan Kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Setelah itu muncul jiwa nasionalisme dari Sentot dan ia berbalik ke barisan Paderi. Oleh karena itu ia ditangkap dan diasingkan ke Cianjur Jawa Barat dan akhirnya ke Bengkulu hingga wafat pada tahun 1855. Pada 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro dengan diiringi pasukannya menuju markas Belanda untuk berunding namun tidak mendapat kesepahaman dengan Belanda. Atas kelicikan Belanda, Pangeran Diponegoro, keluarga dan pengikutnya ditangkap, kemudian diberangkatkan dari Magelang ke Jakarta. Pada tanggal 3 Mei 1830 dengan kapal Pollux, Pangeran Diponegoro dan keluarga diasingkan ke Manado. Kemudian dipindahkan ke Beteng Rotterdam di Makasar hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Jalan Diponegoro Kampung Melayu Makasar.
Nama Pemilik Terakhir : Kodam IV Diponegoro
Riwayat Pengelolaan
Nama Pengelola : Kodam IV Diponegoro