| Konteks |
: |
Agama Buddha diketahui telah berkembang di Jawa pada abad ke-8. Hal ini diketahui melalui keterangan Prasasti Hampra (750 M) yang ditemukan di Salatiga. Prasasti tersebut mengabarkan tentang pendirian tanah perdikan untuk kepentingan bangunan keagamaan bercorak Buddha oleh Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran merupakan raja Mataram Kuno yang diperkirakan memerintah pada tahun 746 M - 784 M. Melalui Prasasti Kalasan (778 M) dan Prasasti Kelurak (782 M) yang ditemukan di Kalasan dan Candi Sewu, dapat diketahui bahwa wilayah kekuasaannya mencakup wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa sekarang. Kedua prasasti tersebut berkaitan dengan pendirian tanah perdikan untuk bangunan keagamaan Tara dan biara Buddha, serta pekerjaan dharma di Candi Sewu. Dalam Prasasti Manjusrigrha (792 M) dituliskan bahwa penerus takhta Mataram Kuno berikutnya, yakni Rakai Panaraban (784 M - 803 M), memerintahkan dilakukannya pekerjaan dharma berupa pendirian menara di Candi Sewu. Pada tahun yang sama Rakai Panaraban juga memberikan persembahan untuk biara Buddha di perbukitan Ratu Boko (Prasasti Ratu Boko 792 M). Prasasti Plaosan (Abad 9) juga menuliskan persembahan Rakai Panaraban untuk kepentingan biara Buddha Mahayana yang dibangun untuk para biksu dari Gujarat. Memberikan persembahan merupakan praktik yang umum dilakukan penguasa pada masa Jawa Kuno. Persembahan merupakan tanda kebaktian dan dharma kepada dewa yang diharapkan dapat melancarkan kehidupan di akhirat. Prasasti-prasasti di atas memberikan keterangan mengenai persembahan yang dilakukan oleh Rakai Panangkaran dan Rakai Panaraban untuk biksu-biksu yang didatangkan dari berbagai wilayah di India, yakni dari Bengal (Prasasti Kelurak 782 M), Sri Langka (Prasasti Ratu Boko 792 M), dan Gujarat (Prasasti Plaosan Abad ke-9). Persembahan yang diberikan berupa tanah perdikan, bangunan biara, dan arca. Arca merupakan perwujudan atau personifikasi dari dewa dan pada umumnya ditempatkan di dalam bilik maupun relung candi dalam ukuran besar. Arca yang dibuat berukuran kecil pada umumnya merupakan arca istadewata, yakni arca yang diperuntukkan bagi individu maupun keluarga. Dalam aliran Buddha Mahayana, Dhyani Buddha Wairocana dikenal sebagai bodhisattwa utama. Wairocana menguasai pusat mandala dan melambangkan elemen kosmik Rupa atau bentuk. Wairocana merupakan perwujudan dari pengetahuan yang ideal dan mewakili musim Hemanta atau musim gugur. Wairocana digambarkan dengan simbol berupa cakram dan warna putih. Arca Dhyani Buddha Wairocana ditemukan pada bulan Agustus 1995, saat dilakukan kegiatan ekskavasi tahap I di Situs Gampingan. Situs tersebut secara administratif berada di Dusun Gampingan, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Secara geografis terletak pada koordinat 110°26'10,06" Bujur Timur dan 7°50'09,50" Lintang Selatan, dengan ketinggian 56,47 dari permukaan air laut. Selain Arca Dhyani Buddha Wairocana, temuan lain dari ekskavasi ialah ditemukan 4 (empat) deret struktur bangunan candi dari bahan batu putih, struktur stupa, dua arca perunggu, arca Bodhisattwa dari batu andesit, fragmen arca Aksobhya dari keramik, fragmen keramik, lempengan emas, serta periuk. Arca Dhyani Buddha Wairocana masuk sebagai koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nomor inventaris BG. 1470b pada 8 April 1996. |