Tugu Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX didirikan di tengah pertigaan jalan, di pertemuan jalan antara jalan Pontjodirjan dan Jalan Mangkubumi, di tengah kota kecamatan Ponjong. Tugu dibuat dengan denah persegi berbentuk tiang tegak. Pada keempat sisi persegi terdapat 4 buah candra sengkala. 2 buah Candra Sengkala bertuliskan huruf latin, 2 buah Candra Sengkala bertuliskan huruf jawa. Bangunan tugu di cat dengan warna putih. Material bata dan semen bligon merupakan bahan untuk membuat tugu. Pada bagian bawah, di buat semacam selasar yang berbentuk bulat dengan ketinggian 15 Cm dari atas tanah. Pada bagian puncak tugu bentuk mahkota kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta (Lambang Keraton Yogyakarta).
Bahan Utama | : | Batu Batu Putih |
Keterawatan | : | / |
Dimensi Benda | : |
Panjang 100 Lebar 100 Tinggi 310 Tebal - Diameter - Berat - |
Peristiwa Sejarah | : | Salah satu budaya tertua yang masih dilakukan oleh manusia adalah penghormatan kepada leluhur dengan mendirikan Tugu peringatan. Dalam kamus Istilah Arkeologi, Tugu berarti bangunan yang dibuat untuk memperingati suatu peristiwa atau tokoh; dapat disebut monumen bila dikaitkan dengan peristiwa atau tokoh sejarah. Tugu secara fisik merupakan sebuah Benda bangun yang terdiri atas beberapa material yang disusun dengan cara dan kaidah tertentu. Tugu sebagai monumen diciptakan dan dilestarikan karena unsur sejarah yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu tugu didirikan di tempat-tempat strategis yang bisa disaksikan oleh masyarakat banyak. Tugu tersebut umunya berbentuk bangunan, menara, tiang, patung dan sebagainya yang didirikan guna memperingati suatu kejadian besar dan penting, dalam sejarah atau “menghidupkan†serta memelihara peringatan kepada seorang tokoh yang diagungkan. Kegiatan mendirikan tugu dan monumen peringatan masih terus berlangsung hingga saat ini. Tugu dan monumen tersebut didirikan dengan alasan tidak hanya untuk memperingati arwah nenek moyang namun digunakan sebagai peringatan sejarah. Bahkan ada pula tugu yang didirikan hanya sebagai menambah fungsi keindahan sebuah tepat. Tugu sebagai monumen peringatan yang didirikan untuk menghomati seorang tokoh yang berkuasa, sangat lazim dilakukan oleh sebagai masyarakat yang merasa menjadi bagian (ngawulo) dari sebuah negara atau kerajaan. Sebagai peringatan atas berkuasanya seorang raja, tugu peringatan di cantumkan beberapa pesan yang tersirat melalui bentuk dan tulisan. Bentuk tugu yang didirikan bisa meniru bentuk yang sedang berkembang pada masa tersebut. Sementara tulisan diwujudkan ke dalam bentuk sebuah Candra Sengkala. Untuk melegitimasi keberadaan tokoh sejarah yang dihormati maka pada bangunan tugu ditambahkan bentuk simbol-simbol kerajaan atau penguasa tersebut. Dengan demikan, sebuah tugu peringatan diharapkan akan menjadi sebuah bangunan yang selalu diingat dan dilestarikan oleh sekelompok masyarakat yang menjadi bagian dari kesatuan kehidupan yang lebih besar, yaitu sebuah negara atau kerajaan. Pada masa yang akan datang tugu menjadi sebuah artefak sejarah yang mengandung peristiwa penting yang terjadi pada suatu masyarakat.Tugu Jumenengan Sultan Hamengku Buwono IX di dusun Kerjo 2, Desa Genjahan, Kecamatan Ponjong, sesuai dengan tulisan Candra Sengkalanya didirikan pada tahun 1940. Menurut keterangan Bapak Sukar (80thn), seorang tokoh terkemuka (Mantan Anggota DPRD Gunungkidul) dari daerah Genjahan Ponjong, tugu tersebut didirikan atas prakarsa Keraton Kasultanan Yogya dalam rangka memperingati jumenengan (pengangkatan menjadi raja) Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada waktu itu, tugu peringatan didirikan bersama-sama dengan pembuatan sebuah sumur untuk warga Genjahan yang terletak 100 meter ke arah selatan dari tugu. Sumur yang dibuat oleh keraton Kasultanan Yogyakarta tersebut saat ini disebut sebagai Sumur Sumberinten. Berdasarkan penjelasan Bapak Sukar, keberadaan Sumur Sumberinten dan Tugu peringatan merupakan satu kesatuan sejarah yang tidak bisa dilepaskan. Di jelaskan lebih lanjut, pada masa lalu, tugu peringatan Jumenengan Sultan Hamengku Buwono didirikan di tengah pertigaan jalan di sebelah selatan kantor Kepenewonan (setara kecamatan) Ponjong. Tetapi kantor kepenewonan tersebut saat ini sudah tidak ada. Kantor kecamatan Ponjong pindah ke arah timur sekitar 1km dari lokasi tugu peringatan. Tidak diketahui dengan pasti kapan perpindahan kepenewonan tersebut, tapi menurut Bapak Sukar, letak dan posisi tugu jumenengan dari dulu tidak pernah berubah. Peristiwa pengangkatan Gusti Raden Mas Dorojatun menjadi Raja Kasultanan Yogyakarta (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) pada tanggal 18 Maret 1940 merupakan peristiwa penting bagi seluruh rakyat Yogyakarta. Khususnya di wilayah Ponjong, peristiwa besar tersebut memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Desa Genjahan yang merasa Ngawulo kepada Rajanya. Pembuatan sumur untuk masyarakat atas prakarsa Kasultanan menjadi bukti kepedulian Raja kepada rakyat Genjahan. Tugu peringatan yang didirikan menjadi wujud bakti dan cinta kawulo (atau rakyat) kepada Gusti (Rajanya). Candra Sengkala yang bertuliskan jawa dengan terjemahan latin “Tanwinarno Troestaning Para Kawoela 1940†dan “SriNarendra Soeka Basoeki Kawoela 1871†diduga merupakan sengkalan atau candra sengkala yang mengandung makna tertentu sebagai pesan bagi semua orang yang melewati monumen tersebut. Angka tahun 1940 M dan 1871 (Jawa) memberi pengertian tahun berdirinya tugu yang merupakan tahun penobatan Hamengku Buwono menjadi Raja. Bentuk bangunan yang menyerupai tugu pal putih atau Tugu Yogya menunjuk sebagai manifestasi pengaruh keraton Yogya hingga ke daerah Genjahan. Pada bagian puncak Tugu dibuat semacam mahkota raja. Bentuk mahkota tersebut jika diperhatikan dari keempat sisi menyerupai bentuk lambang keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Ha Ba). Pada bagian puncak Tugu terdapat bentuk bulat. Tugu peringatan menjadi monumen peringatan sebuah peristiwa besar bersejarah Keraton Yogyakarta yang selalu diperingati dan dipelihara oleh masyarakat Genjahan dan generasi penerusnya. Analisa Sengkalan dari tulisan Jawa :SriNarendra : Raja (1)Suka : senang (7)Basuki : Selamat (8)Kawula : saya, rakyat (1)1871 (Jawa)TanWinarno : Tak lagi tergambarkan (0) Troestaning : kesenangan (4) Para : para (9)Kawoela : saya, rakyat (1)1940 |
Nilai Sejarah | : | Sebagai peringatan naik tahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono HB IX dan menjadi penanda batas dengan wilayah lain. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Sebagai artefak sejarah pada peristiwa dilantiknya Hamengku Buwono ke IX. |
Nilai Pendidikan | : | Memiliki obyek pembelajaran bagi masyarakat tentang pentingnya rasa memiliki dan bangga kepada pemimpin (raja). |
Nilai Budaya | : | Menjadi bukti pentingnya daerah Ponjong ini di masa itu, karena Tugu Jumenengan ini tidak diketemukan di daerah lain di Gunungkidul. Menjadi bukti adanya sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah (Kraton dengan masyarakat Ponjong). |
Nama Pemilik Terakhir | : | Milik masyarakat desa Genjahan |
Nama Pengelola | : | Milik masyarakat desa Genjahan |
Catatan Khusus | : | Ukuran :Panjang Bangunan Bawah : 100 CmLebar Bangunan bawah : 100 CmTinggi Bangunan : 310 Cm |