Pesanggrahan Ambarrukma merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan cagar budaya, saat ini hanya tinggal 8 bangunan yang tersisa, yaitu Pendhapa, Paretan, Dalem Ageng, Bale Kambang, Selasar, Gandhok Tengen dan sebagian Pagar serta Gapura. Bangunan yang pernah ada dan dihilangkan karena adanya pembangunan hotel adalah Gandok Kiwa dan Selasar Timur. Pembangunan Plaza Ambarrukmo juga menghilangkan beberapa bangunan serta memotong sebagaian Gandhok Tengen.
Selain itu juga ada temuan berupa Struktur Cagar Budaya yang berada di seberang Jalan Laksda Adi Sucipto. Awalnya Pesanggrahan Ambrrukma merupakan komplek yang luas dengan bangunan-bangunan yang masih ada, yaitu:
a. Pendhapa merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa tipe Joglo. Atapnya terdiri atas atap brunjung, atap pananggap, dan emper pada keempat sisinya, serta atap paningrat di ketiga sisi kiri-kanan dan depan.
b. nDalem Ageng merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa dengan dhapur griya limasan. Molonya membujur dari arah depan ke belakang.
c. Paretan merupakan bangunan yang terdapat di antara Pandhapa dengan Dalem Ageng. Disebut Paretan karena berfungsi untuk berhenti kereta kuda sebagai sarana transportasi pada masa lalu. Bangunan semacam ini banyak dijumpai pada rumah-rumah pangeran.
d. Bale Kambang merupakan bangunan dengan atap tajug, dengan delapan bidang atap berbentuk segitiga atau dalam bahasa Jawa disebut kejen. Di bagian atas atap terdapat mahkota seperti lazimnya bangunan dengan atap tajug di Kraton Yogyakarta.
e. Selasar merupakan bangunan penghubung antara nDalem Ageng dengan Gandhok. masih ada dua selasar yang menghubungkan nDalem Ageng dengan Gandhok Tengen.
f. Gandhok yang masih tersisa saat ini adalah Gandhok Tengen, yang berada di sebelah barat nDalem Ageng. Atap gandhok berbentuk limasan dengan emper di bagian depan. Gandhok merupakan bangunan dengan beberapa ruangan termasuk kamar mandi atau kulah.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Komponen Pelengkap | : |
|
Peristiwa Sejarah | : | Keberadaan Pesanggrahan Ambarrukma tidak terlepas dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, diawali dari Perjanjian Giyanti yang menghasilkan keputusan dilakukannya palihan nagari atau pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Ngayogyakarta. Perjanjian Giyanti dilaksanakan pada hari Kemis Kliwon tanggal 29 Rabingulakir Be 1680, dengan sengkalan candrasengkala: Nir Brahmana Angoyag Bumi, atau pada tanggal 13 Februari 1755, dengan suryasengkala : Tataning Pandhawa Pinandhita Ratu. Sebulan pasca Perjanjian Giyanti, pada tanggal 29 Jumadilawal Be 1680 atau tanggal tanggal 13 Maret 1755 diumumkan berdirinya KaratonNgayogyakarta Hadiningrat dengan Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifattullah I, sebagai raja yang berkuasa. Setelah mengumumkan berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwana I bermaksud mendirikan kraton, tempat berburu, dan tamansari.Sultan kemudian membuat pesanggrahan di desa Talaga, yang terletak di sebelah barat Kota Yogyakarta dengan nama Ngambar Ketawang pada tahun Wawu 1681 dengan candrasengkala Narendra ning Kawicaksanan Amayang Jagad, atau tahun masehi 1756 dengan suryasengkala Surasaning Pandhawa Palenggahaning Datu. Semula Ngambar Ketawang direncanakan sebagai calon kraton, tetapi atas nasehat para sesepuh akhirnya tanah yang dipilih untuk kraton adalah tanah Desa Pacethokan. Lokasi yang akan didirikan kraton merupakan sebuah mata air yang diberi nama Umbul Pacethokan dan berada di tengah hutan Beringan. Pada masa Sinuwun Paku Buwana II, di hutan ini pernah didirikan pesanggrahan bernama Garjitawati. Pesanggrahan Garjitawati digunakan untuk tempat istirahat ketika mengiringi jenazah raja-raja Mataram yang akan dimakamkan di Imogiri pada saat Kraton Mataram ada di Kartosura dan Surakarta.Sri Sultan Hamengku Buwono I setelah mendirikan kraton pada tanggal 13 Suro 1682 Jw (7 Oktober 1756), yaitu ditandai dengan candra sangkala Dwi Naga Rasa Tunggal, kemudian mendirikan fasilitas-fasilitas lainnya. Beberapa fasilitas itu diantaranya beberapa pesanggrahan dan tempat berburu, yaitu Tamansari di dalam Komplek Kraton, Toya Tumpang sebelah tenggara kota, dan Krapyak sebagai tempat berburu terletak di sebelah selatan kraton. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II ada beberapa pesanggrahan yang didirikan, antara lain Rejowinangun, Purworejo, Wonocatur, dan Cendhanasari terletak disebelah timur kota, Ngarjokusumo di sebelah tenggara kota, Sonopakis Tlogoaji di sebelah barat kota serta Pengawatrejo. Pesanggrahan-pesanggrahan tersebut juga dimanfaatkan oleh Sri Sultan Hamengku Bowono III (1810 s.d. 1814) dan Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814 s.d. 1822). Sri Sultan Hamengku Buwono IV dikenal sebagai raja yang gemar berlibur atau besiar, wafatnya pun setelah melakukan acara belibur sehingga sering disebut sebagai Sinuwun Seda Besiar. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1855 s.d. 1877) mendirikan pesanggrahan Ambarbinangun terletak di sebelah Barat kota. Pesanggrahan tersebut kemudian diselesaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1877 s.d. 1921).Sri Sultan Hamengku Buwono VI, di samping menyelesaikan pembangunan pesanggrahan Ambarbinangun, pada tahun Alip 1787 Jw (1859) merintis pendirian Pesanggrahan Harja Purna. Pembangunan Pesanggrahan Harja Purna dapat diselesaikan pada Ehe, 1788 Jw (1860). Pesanggrahan tersebut terletak di sebelah Timur Laut kota atau jalan menuju ke arah Surakarta tepatnya di Timur Sungai Gajahwong. Nama Harja Purna mengandung dua makna, yaitu Harja arti keselamatan atau kesejahteraan dan Purna berarti kesempurnaan. Dengan demikian arti Harja Purna, yaitu keselamatan atau kesejahteraan yang sempurna.Pesanggrahan Harja Purna kemudian direnovasi dan disempurnakan yang pelaksanaannya diawasi oleh Pangeran Mangkubumi atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1825 Jw (1895 M) dan dapat diselesaikan tahun 1827 Jw (1897 M). Nama Harja Purna kemudian diganti menjadi Ambarrukma, dari kata ambar dan rukma. Ambar berarti harum dan rukma berarti segala yang cemerlang dan kemilau, emas, atau dari emas.. Dengan demikian Ambarrukma dapat diartikan sebagai keluhuran atau kemuliaan yang harum, Pesanggrahan Ambarrukmo pada awalnya merupakan tempat istirahat bagi keluarga kerajaan dan digunakan sejak Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Pada waktu kereta api belum masuk ke wilayah kota Yogyakarta, pesanggrahan tersebut juga berfungsi untuk tempat tinggal sementara Gubernur Jenderal Belanda yang datang dari arah Surakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dilakukan renovasi dan penyempurnaan bangunan, mengingat tempat tersebut tidak hanya sebagai tempat istirahat, tetapi akan digunakan sebagai kediaman. Peresmian penggunaan pesanggrahan untuk pertama kali dilakukan dengan mengadakan acara resmi, yang diundang, antara lain: Residen, Amtenaar, para pembesar militer, dan Sri Paku Alam V. Secara berkala Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengunjungi Pesanggrahan Ambarrukmo bersama permaisuri dan para pangeran. Mengunjungi Pesanggrahan Ambarrukma juga dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX beserta keluarga sebagai mana diceritakan oleh KGPH Hadiwinoto, bahwa dalam salah satu kunjungan tersebut BRM Herjunodarpito (sekarang Sri Sultan Hamengku Buwono X) mendapat ikan yang cukup besar di Kolam Bale Kambang.Pada tanggal 27 Januari 1921 Pangeran Hangabehi (kepala Kori) Kraton mendapat perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk mempersiapkan kepindahannya ke pesanggrahan Ambarukma. Pada tanggal 29 Januari 1921 (Sabtu Kliwon, 19 Jumadilawal, Alip 1851 Jawa), Sri Sultan Hamengku Buwono VII berhenti sebagai sultan atau lengser keprabon. Raja yang telah lengser keprabon kemudian mandhita, yaitu lebih menekuni hal-hal yang bersifat spiritual dan religius. Sri Sultan Hamengku Buwono VII bersama permaisuri GKR. Kencana kemudian menetap di pesanggrahan Ambarrukma mulai tanggal 30 Januari 1921. Pesanggrahan Ambarrukma sebagai tempat tinggal raja yang lengser keprabon tersebut kemudian disebut sebagai kedaton dan merupakan satu-satunya bangunan di luar kraton yang mempunyai hiasan putri mirong. Keberadaan ragam hias putri mirong dibagian saka merupakan bukti bahwa pesanggrahan ini sebagai bangunan yang mempunyai ikatan erat dengan sultan.Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921, Pesanggrahan Ambarrukmo dimanfaatkan oleh GKR. Kencono sampai dengan wafatnya pada tahun 1931. Pesanggrahan tersebut tetap dimanfaatkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921 s.d. 1939) dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940 s.d. 1988). Pemanfaatan kompleks pesanggrahan setelah masa kemerdekaan dapat dilakukan atas izin keraton, baik untuk kepentingan masyarakat, lembaga maupun instansi pemerintah. Pada bulan Juni 1949 sampai dengan Maret 1950 kompleks tersebut difungsikan untuk pendidikan Inspektur Polisi Republik Indonesia. Pada tahun 1947 sampai tahun 1964 kompleks tersebut difungsikan untuk kantor Pemda Kabupaten Sleman. Para Bupati yang pernah menggunakan Pesanggrahan Ambarrukma antara lain, KRT. Projodiningrat (1947 s.d. 1950), KRT. Dipodiningrat (1950 s.d. 1955). KRT. Prawiradiningrat (1955 s.d. 1959). Dan KRT. Murdodiningrat (1959 s.d. 1964). Oleh karena itulah setiap tahun dilakukan prosesi kirab dari Pesanggrahan Ambarrukma ke Beran ketika Kabupaten Sleman menyelenggarakan peringatan Hari Jadinya.Pada tahun 1957 mulai dirintis pendirian hotel di sisi timur komplek Pesanggrahan Ambarrukma. Pendirian tersebut dibeayai dengan dana perampasan perang dari Pemerintah Jepang. Ambarrukmo Palace Hotel dibangun bersamaan beberapa hotel lainnya yaitu Hotel Indonesia, Hotel Pelabuhan Ratu, dan Bali Beach Hotel. Bangunan Ambarrukmo Palace sayap timur diresmikan pada tahun 1966, sedangkan sayap barat yang membujur ke utara diresmikan pada tahun 1972. Bangunan hotel sayap barat dibangun dengan membongkar bangunan gandhok kiwa Pesanggrahan Ambarrukma. Dalam perkembangannya pada tahun 2005 di sebelah barat didirikan Ambarrukmo Plaza yang memotong sebagian Gandok Tengen. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kraton Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Kraton Yogyakarta |