Peristiwa Sejarah |
: |
Bangunan ruang isolasi merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem. Keberadaan kompleks tersebut berkaitan dengan sejarah pemberantasan penyakit tuberculosis di masa lalu, dimana pada saat itu obat dan vaksin untuk menyembuhkan penyakit pernapasan yang menular tersebut belum ditemukan. Oleh karena itu, supaya penularan tidak meluas, maka penderita tuberculosis dikarantina di rumah sakit khusus yang disebut sanatorium. Kehadiran sanatorium di Hindia-Belanda baru muncul pada tahun 1900an karena adanya pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Pembangunan kompleks Sanatorium Pakem dilatari oleh melonjaknya pasien tuberculosis yang ditampung di rumah sakit zending di Solo, Klaten, Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Wonosobo, Purbalingga, dan Purwokerto. Para pasien tuberculosis umumnya dirujuk ke rumah sakit di Wonosobo, namun rumah sakit tersebut tidak mampu lagi menampung pasien tuberculosis. Oleh karena itu, salah satu rumah sakit zending di Yogyakarta, Petronella Hospitaal (kini RS Bethesda), memutuskan untuk membuka rumah sakit khusus penderita tuberculosis di Pakem yang berada 19 kilometer ke utara dari kota Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih karena tempatnya jauh dari pusat keramaian sehingga mengurangi resiko penularan penyakit. Di samping itu, keadaan udara di sini dinilai dapat membantu pemulihan pasien. Sejak bulan Oktober tahun 1935, pembangunan sanatorium Pakem mulai dipersiapkan supaya sanatorium siap dipakai pada bulan Mei tahun 1936. Kantor arsitektur Sindoetomo ditunjuk untuk merancang bangunan kompleks sanatorium. Proses pembangunan sanatorium sudah termasuk dengan pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium Pakem diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23 Juni 1936. Peresmian dihadiri oleh residen Yogyakarta, J. Bijleveld, dan direktur Petronella Hospitaal, Dr. K.P Groot. Untuk menghidupi sanatorium ini, S.C.V.T (Stichting Centrale Vereeniging tot bestrijding der Tuberculose/Asosiasi Pusat untuk Pemberantasan Tuberculosis) memberi bantuan keuangan sebesar 1.200 gulden per tahun. Sementara dari pihak Kesultanan Yogyakarta memberi bantuan sebanyak 1.500 gulden per tahun. Setelah pembukaan sanatorium, jumlah pasien meningkat dengan cepat. Pada akhir tahun 1936, bangsal perawatan untuk laki-laki sudah terisi hingga sembilan puluh persen dari kapasitas. Untuk mengatasi masalah kekurangan ruang, maka diputuskan untuk membangun bangsal perawatan laki-laki baru yang sekarang dikenal sebagai paviliun C dan ruang isolasi untuk perawatan pasien tuberculosis yang sudah parah. Bangunan dibangun dalam gaya yang sama dengan dua bangunan bangsal perawatan yang sudah ada. Setelah selesai dibangun, kapasitas sanatorium bertambah dari yang semula ada 48 ranjang menjadi 94 ranjang. Bangunan paviliun C dirancang oleh biro arsitek Sindoetomo dan mulai beroperasi pada 1 Juli 1937. Penemuan antibiotik dan vaksin ini menyebabkan banyak sanatorium yang ditutup atau diubah menjadi rumah sakit umum sejak dasawarsa 1950an, termasuk di antaranya adalah sanatorium Pakem. Setelah kemerdekaan, kompleks ini tetap digunakan sebagai sanatorium. Salah satu pasien yang dirawat pada periode ini ialah Cornel Simanjuntak, pengarang lagu-lagu perjuangan seperti Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlwan, dan Indonesia Tetap Merdeka. Cornel Simanjuntak meninggal pada 15 September 1946 di Ruang Isolasi, Sanatorium Pakem akibat penyakit TBC. Kendati setelah kemerdekaan sempat menjadi rumah sakit paru-paru, namun sanatorium Pakem akhirnya ditutup pada tahun 1967. Pada 15 Desember 1967, kompleks Sanatorium Pakem secara resmi dialihfungsikan menjadi tempat perawatan, pelatihan, dan pendidikan untuk tuna grahita yang dikelola oleh Yayasan Kristen Panti Asih Pakem. |