Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Tokoh | : | Kanjeng Raden Adipati Danurejo II (Patih Danurejo II) |
Peristiwa Sejarah | : | Kanjeng Raden Adipati Danurejo II menjabat sebagai patih dari 9 September 1799 hingga 28 Oktober 1811. Beliau merupakan cucu dari Kanjeng Raden Adipati Danurejo I dan menantu Sultan Hamengku Buwono II karena menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Hangger, putri dari garwa padmi, Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton. Sebelum menjabat sebagai patih, ia bergelar Raden Tumenggung Mertonegoro. Patih Danurejo II dianggap terlalu dekat dengan Belanda, sangat berbeda dari sikap yang ditunjukkan kakeknya, Patih Danurejo I. Semasa hidupnya, Patih Danurejo II menjadi sekutu bagi putra mahkota (Hamengku Buwono III) dan tidak mendapat kepercayaan dari Sultan Hamengku Buwono II. Residen kedua Yogyakarta, Van den Berg menilai Patih Danurejo “orang yang sangat ceroboh” sebagai pejabat muda dan lemah, serta merupakan contoh buruk karena memiliki kebiasaan mabuk-mabukan dalam jamuan makan di tempat residen. Selain tidak mendapat kepercayaan dari Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II juga memiliki musuh kuat di dalam keraton, yaitu Pangeran Notokusumo yang kelak menjadi Paku Alam I dan istri ketiga sultan yaitu Ratu Kencono Wulan. Pada 30 April 1810, Sultan Hamengku Buwono II mengirim surat kepada Daendels untuk meminta izin memecat Danurejo II yang dianggap masih “anak kecil” dan diganti dengan bupati wilayah timur, Mas Tumenggung Sindunegoro. Permintaan tersebut ditolak oleh Daendels. Hanya saja pada Oktober 1810, Engelhard melaporkan bahwa Patih Danurejo II sudah dibebaskan dari semua tanggung jawab pemerintahan dalam negeri dan tugas tersebut digantikan oleh Notodiningrat. Atas desakan dari Belanda, pada 12 November Sultan Hamengku Buwono II mengumumkan pemulihan kedudukan Danurejo II sebagai patih dan mengembalikan kedudukan Notodiningrat sebagai bupati jaba. Pada 28 Oktober 1811, Patih Danurejo II diminta datang dalam suatu pertemuan pagi di keraton. Ketika berada di dekat Gedhong Purworetno, ia diringkus dari belakang oleh tujuh orang pejabat tinggi yang dipimpin Raden Tumenggung Sumodiningrat. Satu jam kemudian Patih Danurejo II dicekik dengan tali putih atas perintah Sultan Hamengku Buwono II dan esok pagi, jasadnya dibawa dan dimakamkan di Banyusumurup. Patih Danurejo II meninggal pada usia 39 tahun dan dikenal sebagai patih seda kedaton karena meninggal di keraton. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI, tepatnya tanggal 11 Mei 1865 M, jasad Patih Danurejo II digali kembali dan dipindahkan ke pemakaman keluarga di Mlangi. Intrik internal dan tekanan pemerintah kolonial memuncak, hingga meletus Geger Sepehi di tahun 1812 ketika Inggris menyerbu dan menjarah Kraton Yogyakarta dan berujung pada pembuangan Hamengku Buwana II ke Pulau Penang dan Hamengku Buwana III kembali bertahta. Melihat kekacauan yang luar biasa, berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan. Pada kunjungannya ke Kraton di akhir tahun 1813, Raffles mendesak agar Hamengku Buwana menikahkan putra mahkotanya dengan putri Patih Danureja II. Pernikahan yang direncanakan tersebut baru terlaksana pada tahun 1816, ketika Hamengku Buwana IV sudah bertahta menggantikan ayahandanya. Putri Danureja II kemudian menerima gelar sebagai G.K.R. Kencana dan berputera G.R.M Gatot Menol (yang kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana V) dan G.R.M. Mustojo (yang kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana VI). Dengan demikian, Danureja II adalah menantu Hamengku Buwana II, mertua Hamengku Buwana IV dan kakek Hamengku Buwana V dan Hamengku Buwana VI. |
Nilai Sejarah | : | Lokasi Makam Patih Danurejo II di Padukuhan Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman merupakan bukti sejarah adanya konflik internal di keraton dan keberadaan seorang patih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan raja Kasultanan Yogyakarta yang semula dimakamkan di Banyusumurup kemudian dipindah ke Mlangi. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kasultanan Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Kasultanan Yogyakarta |