Gereja Santa Theresia Lisieux Boro berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 40 m x 35 m dengan luas bangunan 32 m x 29 m. Memiliki arah hadap ke barat, bangunan ini beratap limas berjajar tiga dari utara ke selatan membentuk denah salib dengan bagian bawah pendek. Pada bagian fasad terdapat menara lonceng. Tinggi menara 20 m sampai pada tugu salib, sedangkan tinggi dari permukaan tanah sampai batas antara badan menara dengan atap berbentuk piramid adalah 17 m. Pada badan menara lonceng terdapat relief berupa ikan dan mangkuk, serta gelas dengan lingkaran yang menyerupai matahari di atas bibir gelas. Di samping itu, terdapat relung dengan patung Santa Theresia yang ditutup dengan kaca. Menara tersebut ditopang oleh konstruksi batu alam yang disusun dan direkatkan dengan disemen. Setengah bagian badan gereja juga menggunakan batu alam tempel sebagai hiasan dan setengahnya menggunakan konstruksi bata.
Pintu utama gereja terletak di ruang bagian bawah menara lonceng dengan lebar 1,5 m. Pintu memiliki dua daun pintu dengan badan pintu terbagi menjadi dua bagian. Daun pintu pada bagian atas berukuran lebih kecil daripada badan pintu.
Gereja dilengkapi jendela kaca yang berderet pada dinding sisi selatan dengan jumlah 14. Jendela tersebut berdaun satu dan dengan bukaan ke arah atas, serta dihiasi dengan ornamen geometris berupa garis-garis dan persegi. Pada bagian fasad juga terdapat jendela yang masing-masing berjajar di atas dan bawah. Jendela tersebut berbentuk segi enam yang saling berhadapan pada bagian sisi yang terpanjang. Jendela juga terdapat pada bagian belakang bangunan atau sisi timur bangunan gereja dengan dua jenis yaitu berdaun satu dan berdaun dua. Secara keseluruhan terdapat 19 jendela. Pada atap bagian panti imam, terdapat hiasan kemuncak berupa ayam jago. Bentuk semacam ini umum digunakan sebagai penunjuk arah mata angin yang disebut dengan windwijer atau windvaan.
Bagian dalam Gereja Boro berbentuk basilika dengan denah ruang utama berupa persegi panjang yang terdiri atas ruang depan (narthex), panti umat (nave), dan panti imam (apse).
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Fungsi Bangunan | : | Religi/Keagamaan |
Komponen Pelengkap | : |
|
Fungsi Situs | : | Religi/Keagamaan |
Fungsi | : | Religi/Keagamaan |
Peristiwa Sejarah | : | Gereja Boro didirikan setahun setelah perencanaan pendirian Pastoran (Juni-Juli 1928). Perencanaan pembangunan gereja dimulai sejak tahun 1929 dengan melibatkan tokoh perintis pembangunan Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, yaitu Dr. Schmutzer dan seorang arsitek bernama Maclaine Pont. Dr. Schmutzer menyampaikan gagasan mengenai arsitektur Gereja Boro yang cenderung merujuk pada arsitektur gereja di Eropa. Gagasan tersebut ditolak oleh Romo J. Prennthaler, S.J., oleh karena dipandang mencerminkan kondisi masyarakat di Boro. Tahun 1929, tepat dengan perayaan Hari Paskah, Dr. Schumtzer bersedia menerima gagasan mengenai penerapan corak arsitektur Jawa dalam gereja Katolik seperti penggunaan atap joglo. Setelah itu, Dr. Schmutzer meminta bantuan dari Maclaine Pont untuk melakukan studi arsitektur tradisional Jawa (Hardawiryana, S.J. 2002, 124). Pada April 1929, Maclaine Pont mengemukakan gagasannya mengenai rancangan bentuk Gereja Boro, yaitu atap gereja akan berbentuk sedikit bundar atau konveks tidak seperti joglo yang bentuk atapnya simetris dan bersudut. Selain itu, gereja akan dibangun dalam teras-teras dengan bagian tertinggi sebagai altar, kerangka dari bahan besi, dengan tinggi fasad 16-20 meter. Gereja tidak akan menggunakan penutup berupa dinding, tetapi cenderung terbuka seperti pendopo (Hardawiryana, S.J. 2002: 125). Dikarenakan pihak-pihak yang bekerjasama dalam pembangunan gereja di Boro berada di tempat yang terpisah-pisah, Dr. Schmutzer berada di Bogor, Maclaine Pont berada di Trowulan, maka pembangunan tidak berjalanlancar. Hingga pada akhirnya pembangunan gereja dilanjutkan oleh Darmstater yang bertugas sebagai pengawas. Rencana pembangunan berubah dari bentuk gereja yang terbuka berupa pendopo berubah menjadi bangunan gereja yang tertutup. Namun demikian, tugas pengawasan yang diserahkan kepada Darmstater juga tidak berjalan sesuai rencana. Ia sering tidak hadir dalam proses pembangunan gereja (Hardawiryana, S.J. 2002: 126). Perencanaan pembangunan gereja kemudian dilimpahkan ke seorang pemborong bangunan yaitu Kleiverda dan diarsiteki oleh Baumgartner yang pada saat itu berprofesi sebagai kepala B.O.W. (Burgerlijke Openbare Werkeni) atau Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Tanggal 26 Maret 1930 mulai dilakukan penggalian untuk pondasi bangunan pada lahan yang berteras. Tanah yang akan dijadikan pondasi gereja berjenis tanah liat sehingga rawan longsor jika terjadi hujan. Oleh karena itu, digunakanlah tiang-tiang beton untuk menopang bangunan gereja agar tidak ikut terbawa longsor. Dalam proses pemasangan tiang beton tersebut melibatkan ahli seorang geologi yaitu Grondijs. Gambar rancang bangun gereja sendiri baru selesai pada akhir bulan April 1930. Luas gereja dalam gambar tersebut yaitu 12 x 25 m² mencakup ruang panti umat yang diperkirakan mampu menampung tujuh ratus umat Jawa termasuk tempat untuk para suster dan tamu (Hardawiryana, S.J. 2002: 127-128). Keputusan tetap mengenai rencana pembangunan gereja di Boro dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1930. Di dalam rencana tersebut disebutkan bahwa tidak akan digunakan koridor antara pastoran dan sakristi, juga antara kedua sakristi, lantai menggunakan beton bukan ubin, tidak menggunakan eternit untuk menutup konstruksi atap, tidak ditambahkan talang air, dan penambahan empat kamar untuk penerimaan tobat (Hardawiryana, 2002, 128). Gereja Boro resmi dibangun pada 9 November 1930 ditandai dengan peletakan batu pertama pada tanggal tersebut dan kemudian diberkati pada tanggal 31 Agustus 1931. Pemberkatan bangunan gereja dilakukan oleh Romo Jos Van Baal, S.J. (Weitjens, 1995: 50). Upacara peletakan batu pertama dipimpin oleh Romo van Kalken, S.J. didampingi oleh Romo Ploumen, S.J. dan Romo F.X. Satiman, S.J. Selain itu, hadir juga arsitek Gereja Boro Baumgartner, van Huut mewakili pihak pemborong, tiga suster St. Fransiskus dari Mendut, juru foto dari Firma Weers di Yogyakarta, dan wartawan koran “de Locomotief†(Hardawiryana, S.J. 2002, 129). Gereja tersebut diberkati dengan pelindung Santa Theresia Lisieux. Dalam perkembangannya Gereja Santa Theresia Lisieux Boro menjadi paroki tersendiri yang membawahi stasi-stasi Kalibawang, Samigaluh, Ploso, Nanggulan, dan stasistasi lain di sekitar Boro (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 8). |
Nama Pemilik Terakhir | : | Gereja Santa Theresia Lisieux Boro |
Nama Pengelola | : | Gereja Santa Theresia Lisieux Boro |