Satuan Ruang Geografis Kompleks Misi Boro merupakan kompleks misi penyebaran agama Katholik yang berada di Boro Kalibawang. Data keberadaan kompleks tersebut didasarkan pada Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, Congregatio Fratrum Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis (Bruder FIC), dan Kongregasi Suster-Suster Santo Fransiskus (Tarekat OSF), dan dalam menjalankan misi penyebaran agama Katolik di Boro, Kalibawang. Data kesejarahan tersebut didukung dengan Peta Topografische Dienst 1944 yang menyebutkan keberadaan kompleks zendingsziekenhuis di Boro
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Tokoh | : | Pastur J. Prennthaler (Imam pertama di Kalibawang Tahun 1924)Sr. M. Aufrida Smulders, O.S.F. (Suster yang datang dari Santo Fransiskus Semarang Tahun 1930)Sr. M. Florida v.d. Kalauw, O.S.F. (Suster yang datang dari Santo Fransiskus Semarang Tahun 1930)Sr. Bernolda Segerink, O.S.F. (Suster yang datang dari Santo Fransiskus Semarang Tahun 1930)Sr. M. Petrona v. Kuik, O.S.F. (Suster yang datang dari Santo Fransiskus Semarang Tahun 1930)Sr. M. Coletta Rubiyah, O.S.F. (Suster yang datang dari Santo Fransiskus Semarang Tahun 1930) |
Peristiwa Sejarah | : | Ajaran Katolik mulai dikenal oleh masyarakat Kalibawang pada tahun 1904. Pada tahun tersebut, Pastur van Lith S.J. di Sendangsono membaptis 174 orang penduduk Kalibawang (Haryono dalam Saryanto, 2011: 13). Dari waktu ke waktu perkembangan Agama Katolik di Kalibawang menjadi semakin pesat. Oleh karena itu, Pastur L. Gronewegen S.J. diutus pemimpin misi untuk bertugas di Boro, Kalibawang. Pada tahun 1918, Pastur L. Gronewegen S.J. mendirikan sekolah rakyat di Plasa. Sekolah tersebut dijadikan tempat belajar masyarakat serta berfungsi sebagai gereja (Paroki Santa Lisieux Boro, 2007: 1). Pada saat itu hingga tahun 1920-an, misi di Kalibawang masih terintegrasi dalam Stasi Mendut (Statistiek Godsdierstig Leven dalam Haryono, 2000: 8). Penyebaran agama Katolik di Kalibawang juga tidak terlepas dari peran misionaris lokal yang bernama Barnabas Sarikromo. Dia menganut agama Katolik setelah sakit kakinya disembuhkan oleh Bruder Th. Kersten S.J. di Muntilan. Setelahnya, Barnabas memeluk agama Katolik dan menjadi misionaris Katolik di Kalibawang. Barnabas Sarikromo mendapat anugerah Bintang Jasa Salib Emas Kehormatan (Pro Ecciesa et Pontiffice” dari Paus pada tahun 1929. (Soeradjiman dalam Saryanto, 2011: 13-14). Setelah masa tugas Pastur L. Groenewagen S.J. berakhir, ia digantikan oleh Pastur J. Prennthaler yang kemudian menjadi imam di Kalibawang mulai tahun 1924. Pada awal pengabdiannya kepada masyarakat (karya), dia memberikan misa di rumah penduduk. Pada saat itu belum terdapat gereja di Boro. Salah satu rumah yang sering digunakan untuk tempat misa adalah rumah milik Wongsorejo di Dusun Jurang. Di sebelah rumah Wongsorejo terdapat tanah kosong. Di lokasi itulah kemudian dibangun sebuah gereja oleh Pastur Prennthaler (Winarno, 1988: 36). Setelah kedatangan Romo J. Prennthaler, S.J., di Boro, mulai didirikan bangunan-bangunan Hardawiryana, S.J., 2002: 122). Proses pembangunan Kompleks Misi Boro berlangsung dari tahun 1928 hingga tahun 1938. Pembangunan Kompleks Misi Boro memerlukan banyak biaya. Sumber dana sangat bergantung terhadap subsidi dari Belanda. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut, Romo J. Prennthaler, S.J. membentuk perkumpulan untuk menggalang dana dari para donatur, yaitu Serikat St. Klaver, Rooms Katholieke Meisjes Hogere Burger School (Sekolah Tinggi Katolik Roma untuk para pemudi) di Amsterdam, Belanda, penerbit Herder, Pustet, Rektor di Nijmegen, Belanda, dan Pater Molat.(Prabawa, 2015: 21). Dalam perkembangannya, ketika sumbangan dari para donatur mulai berkurang, Romo J. Prennthaler, S.J menutupi kekurangan tersebut melalui menulis artikel surat kabar di majalah Fahne Mariens, Katholische Mariens, dan majalah penanggalan Katolik, serta dari hasil jual-beli perangko. Selain itu, umat Katolik di Kalibawang juga membantu mengumpulkan dana, meskipun jumlah yang terkumpul tidak banyak. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat Katolik yang berada di Promasan, mengumpulkan dana pembangunan untuk pembangunan di Boro ketika peribadatan di hari Minggu (Hardawiryana, S.J., 2002: 123).Bangunan pastoran dibangun pada sekitar bulan Juni-Juli 1928 sesuai dengan keputusan Romo Superior Misi van Baal Hardawiryana, S.J., 2002: 122). Bangunan Gereja Santa Theresia Lisieux Boro didirikan setahun kemudian setelah bangunan pastoran. Perencanaan pembangunan dimulai sejak tahun 1929 dengan melibatkan Dr. Schmutzer dan arsitek bernama Maclaine Pont. Pembangunan tidak berjalan dengan baik. Pada akhirnya pembangunan gereja dilanjutkan oleh Darmstater yang bertugas sebagai pengawas. Tugas pengawasan tersebut juga tidak berjalan sesuai rencana karena ia sering tidak hadir dalam proses pembangunan gereja (Hardawiryana, S.J. 2002, 126). Rencana pembangunan gereja kemudian dilimpahkan ke seorang pemborong bangunan yaitu Kleiverda dan diarsiteki oleh Baumgartner yang pada saat itu berprofesi sebagai kepala B.O.W. (Burgerlijke Openbare Werken) atau Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Setelah mengalami beberapa hambatan, Gereja Theresia Lisieux Boro resmi dibangun pada 9 November 1930, ditandai dengan peletakan batu pertama pada tanggal tersebut. Pembangunan selesai pada 31 Agustus 1931 dan diberkati oleh Pastor Jos van Baal S.J. Superior Misi, dengan nama pelindung Santa Theresia Lisieux . Saat itu wilayah paroki Boro mencakup Kalibawang, Samigaluh, Plasa, dan Nanggulan. (Paroki Santa Lisieux Boro, 2007: 1, Weitjens, 1995: 50, dan Hardawiryana, S.J. 2002, 124-128).Bruderan FIC Boro mulai dibangun tahun 1937, ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Romo C. Teppema, S.J. pada 28 Desember 1937. Pada awal tahun 1938, para bruder yang akan berkarya di Bruderan FIC Boro mulai di-benum di Belanda. Para bruder tersebut yaitu Br. Celcius, Br. Jezue, dan Br. Gubertus yang datang ke Indonesia tanggal 2 Juli 1938. Kedatangan para bruder dari Belanda disusul oleh Br. Augustus sebagai overste pertama di Boro bersama dengan Br. Aloysius dan Br. Thimotheus. Mereka merupakan bruder pertama yang di-benum di Boro (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 31). Pada 11 Juli 1938 para Bruder tiba di Boro dan memulai karya mereka. Karya tersebut berupa Sekolah Schakel yang mulai beroperasi pada 1 Agustus 1938 dengan kepala sekolah Br. Aloysius. Pada 7 Agustus 1938, Bruderan FIC Boro secara resmi dibuka dengan diberkati oleh Mgr. Willekens. Acara pemberkatan dihadiri oleh wedana beserta asisten dari Nanggulan, regent Sentolo, asisten Kalibawang dan Niten (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro,1991, 31).Bruder-bruder F.I.C. mengabdikan diri dalam berbagai bidang kegiatan, antara lain panti asuhan putra, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, usaha pertenunan, konveksi, koperasi, dan mempelopori berdirinya kelompok Usaha Bersama (UB) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang sosial dan ekonomi (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 10).Kompleks Bruderan F.I.C. Boro terdiri atas Biara F.I.C., Panti Asuhan Sancta Maria, pabrik tenun, dan sekolah. Bangunan yang berdiri pertama adalah bangunan Biara F.I.C. dan Panti Asuhan Sancta Maria. Keduanya dibangun bersamaan pada tahun 1937, setelahnya menyusul bangunan-bangunan lain seperti pabrik tenun Santa Maria dan Sekolah Pangudi Luhur. Panti Asuhan Sancta Maria merupakan bagian dari Bruderan FIC Boro. Rencana pembangunan panti asuhan bermula ketika Romo J. Prennthaler yang bertugas sebagai kepala Paroki Boro mengajukan permohonan kepada pembesar umum Bruder F.I.C Maastricht di Belanda, agar para bruder datang ke Boro untuk menyelenggarakan panti asuhan (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 37). Pada tahun 1936, Br. Christinus, wakil dari pimpinan bruder di Belanda datang ke Boro untuk bertemu Romo J. Prennthaler, S.J. guna membicarakan penyelenggaraan panti asuhan di Boro. Peletakan batu pertama panti asuhan dilakukan pada November 1937 dan pembukaan secara resmi dilakukan pada 12 Juli 1938 (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 37). Dikarenakan kebutuhan akan air yang semakin meningkat, pada tahun 1939 dibangunlah sarana air di panti asuhan yang airnya diambil dari Dusun Gebiri, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang. Pada 20 Juli 1940, bangunan sarana air diresmikan lengkap dengan instalasinya. (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 38). Lingkup kegiatan Panti Asuhan Sancta Maria meliputi pendidikan sekolah dan pendidikan di luar sekolah, pendidikan musik, dan olahraga. Anak asuh yang ingin menempuh pendidikan formal disekolahkan di SD Pangudi Luhur dan SMP Pangudi Luhur (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 38). Pastor J.B. Prennthaler S.J. selama bertugas di Boro juga mengajak para Suster Fransiskanes untuk terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat (karya misi Katolik). Awal pengabdian misi di Boro oleh Suster Fransiskanes dimulai pada 15 Desember 1930. Awal karya tersebut ditandai dengan mendirikan biara (Susteran Fransiskanes dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro. Bangunan Susteran Fransiskanes Boro mulai dibangun sekitar tahun 1930. Pembangunan Susteran bersamaan dengan pembangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro pada 15 Desember 1930. Berkaitan dengan pembangunan Susteran Fransiskanes dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro, pada tanggal 15 Desember 1930 para suster Santo Fransiskus datang ke Boro dari Semarang. Suster-suster tersebut yaitu Sr. M. Aufrida Smulders, O.S.F. sebagai pimpinan biara, ditemani oleh Sr. M. Florida v.d. Kalauw, O.S.F., Sr. Bernolda Segerink, O.S.F., Sr. M. Petrona v. Kuik, O.S.F., dan Sr. M. Coletta Rubiyah, O.S.F. (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 26). Titik berat karya yang dilakukan oleh suster-suster tersebut adalah masalah kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya wabah disentri dan malaria di Boro mulai tahun 1926 hingga 1930. Hal itulah yang melatarbelakangi dibangunnya Rumah Sakit Santo Yusup Boro (Hardawiryana, S.J. 2002, 35). Bangunan susteran pada awal berdirinya merupakan bangunan bagian bangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro. Pada tanggal 5 Maret 1931, rumah sakit tersebut dibuka dan diresmikan oleh Residen Westra, dan dihadiri oleh asisten residen, serta bupati Sentolo (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 2-10). Rumah sakit tersebut dipimpin oleh Suster Aufrida Smulders, dibantu oleh Suster Florida van der Klauw, Suster Bernolda Segerink, Suster Petrona van Vulk, dan Suster Colleta Rubiyah (Paroki Santa Lisieux Boro, 1991: 26). Pemberkatan biara OSF dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro dilakukan pada 4 Januari 1931 oleh Pastur Kalkens, S.J. dan Pastur Satiman. Pembukaan rumah sakit secara resmi dilakukan pada 5 Maret 1931 oleh Pastur van Baal. Upacara pembukaan dihadiri Residen dari Yogyakarta, Wakil Residen dari Wates, Panewu dari Pengasih, Asisten Wedana dari Pantog, Samigaluh, Watumurah, Kenteng, dan Lurah Boro (Tarekat OSF dalam Saryanto, 2011: 17).Selain digunakan untuk merawat orang yang sakit, Rumah Sakit Santo Yusup Boro juga digunakan untuk membantu ibu-ibu yang melahirkan. Saat itu tenaga medis di Kalibawang jumlahnya terbatas, sehingga banyak ibu yang meninggal saat melahirkan. Angka kematian ibu yang tinggi menyebabkan Rumah Sakit Santo Yusup Boro dipenuhi dengan anak-anak yang tidak diambil oleh keluarganya. Hal tersebut menyebabkan pihak rumah sakit berencana mendirikan panti asuhan yang bertujuan untuk merawat anak-anak yatim-piatu. Rencana pendirian panti asuhan dimusyawarahkan pimpinan Suster Fransiskanes, yaitu Suster Fransisca Mulders Herlins Linders dengan Pastur Van Kalkens pada 18 Agustus 1934. Akhirnya pembangunan panti asuhan mulai dilakukan pada 19 Desember 1934 Bangunan panti asuhan pada awalnya sederhana, terbuat dari batu dan anyaman bambu. Setelah selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Pastor C. Tepperna, dengan 23 orang anak yatim-piatu (winarno, 1988: 57). (Sumber: Naskah Rekomendasi Penetapan dan Pemeringkatan Satuan Ruang Geografis Kompleks Misi Boro Sebagai Kawasan Cagar Budaya Nomor 1 TPCB-KP/II/2021.) |
Konteks | : | Ajaran Katolik mulai dikenal oleh masyarakat Kalibawang pada tahun 1904. Pada tahun tersebut, Pastur van Lith S.J. di Sendangsono membaptis 174 orang penduduk Kalibawang (Haryono dalam Saryanto, 2011: 13). Dari waktu ke waktu perkembangan Agama Katolik di Kalibawang menjadi semakin pesat. Oleh karena itu, Pastur L. Gronewegen S.J. diutus pemimpin misi untuk bertugas di Boro, Kalibawang. Pada tahun 1918, Pastur L. Gronewegen S.J. mendirikan sekolah rakyat di Plasa. Sekolah tersebut dijadikan tempat belajar masyarakat serta berfungsi sebagai gereja (Paroki Santa Lisieux Boro, 2007: 1). Pada saat itu hingga tahun 1920-an, misi di Kalibawang masih terintegrasi dalam Stasi Mendut (Statistiek Godsdierstig Leven dalam Haryono, 2000: 8). Penyebaran agama Katolik di Kalibawang juga tidak terlepas dari peran misionaris lokal yang bernama Barnabas Sarikromo. Dia menganut agama Katolik setelah sakit kakinya disembuhkan oleh Bruder Th. Kersten S.J. di Muntilan. Setelahnya, Barnabas memeluk agama Katolik dan menjadi misionaris Katolik di Kalibawang. Barnabas Sarikromo mendapat anugerah Bintang Jasa Salib Emas Kehormatan (Pro Ecciesa et Pontiffice†dari Paus pada tahun 1929. (Soeradjiman dalam Saryanto, 2011: 13-14).Setelah masa tugas Pastur L. Groenewagen S.J. berakhir, ia digantikan oleh Pastur J. Prennthaler yang kemudian menjadi imam di Kalibawang mulai tahun 1924. Pada awal pengabdiannya kepada masyarakat (karya), dia memberikan misa di rumah penduduk. Pada saat itu belum terdapat gereja di Boro. Salah satu rumah yang sering digunakan untuk tempat misa adalah rumah milik Wongsorejo di Dusun Jurang. Di sebelah rumah Wongsorejo terdapat tanah kosong. Di lokasi itulah kemudian dibangun sebuah gereja oleh Pastur Prennthaler (Winarno, 1988: 36).Setelah kedatangan Romo J. Prennthaler, S.J., di Boro, mulai didirikan bangunan-bangunan Hardawiryana, S.J., 2002: 122). Proses pembangunan Kompleks Misi Boro berlangsung dari tahun 1928 hingga tahun 1938. Pembangunan Kompleks Misi Boro memerlukan banyak biaya. Sumber dana sangat bergantung terhadap subsidi dari Belanda. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut, Romo J. Prennthaler, S.J. membentuk perkumpulan untuk menggalang dana dari para donatur, yaitu Serikat St. Klaver, Rooms Katholieke Meisjes Hogere Burger School (Sekolah Tinggi Katolik Roma untuk para pemudi) di Amsterdam, Belanda, penerbit Herder, Pustet, Rektor di Nijmegen, Belanda, dan Pater Molat.(Prabawa, 2015: 21). Dalam perkembangannya, ketika sumbangan dari para donatur mulai berkurang, Romo J. Prennthaler, S.J menutupi kekurangan tersebut melalui menulis artikel surat kabar di majalah Fahne Mariens, Katholische Mariens, dan majalah penanggalan Katolik, serta dari hasil jual-beli perangko. Selain itu, umat Katolik di Kalibawang juga membantu mengumpulkan dana, meskipun jumlah yang terkumpul tidak banyak. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat Katolik yang berada di Promasan, mengumpulkan dana pembangunan untuk pembangunan di Boro ketika peribadatan di hari Minggu (Hardawiryana, S.J., 2002: 123).Bangunan pastoran dibangun pada sekitar bulan Juni-Juli 1928 sesuai dengan keputusan Romo Superior Misi van Baal Hardawiryana, S.J., 2002: 122). Bangunan Gereja Santa Theresia Lisieux Boro didirikan setahun kemudian setelah bangunan pastoran. Perencanaan pembangunan dimulai sejak tahun 1929 dengan melibatkan Dr. Schmutzer dan arsitek bernama Maclaine Pont. Pembangunan tidak berjalan dengan baik. Pada akhirnya pembangunan gereja dilanjutkan oleh Darmstater yang bertugas sebagai pengawas. Tugas pengawasan tersebut juga tidak berjalan sesuai rencana karena ia sering tidak hadir dalam proses pembangunan gereja (Hardawiryana, S.J. 2002, 126). Rencana pembangunan gereja kemudian dilimpahkan ke seorang pemborong bangunan yaitu Kleiverda dan diarsiteki oleh Baumgartner yang pada saat itu berprofesi sebagai kepala B.O.W. (Burgerlijke Openbare Werken) atau Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Setelah mengalami beberapa hambatan, Gereja Theresia Lisieux Boro resmi dibangun pada 9 November 1930, ditandai dengan peletakan batu pertama pada tanggal tersebut. Pembangunan selesai pada 31 Agustus 1931 dan diberkati oleh Pastor Jos van Baal S.J. Superior Misi, dengan nama pelindung Santa Theresia Lisieux . Saat itu wilayah paroki Boro mencakup Kalibawang, Samigaluh, Plasa, dan Nanggulan. (Paroki Santa Lisieux Boro, 2007: 1, Weitjens, 1995: 50, dan Hardawiryana, S.J. 2002, 124-128).Bruderan FIC Boro mulai dibangun tahun 1937, ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Romo C. Teppema, S.J. pada 28 Desember 1937. Pada awal tahun 1938, para bruder yang akan berkarya di Bruderan FIC Boro mulai di-benum di Belanda. Para bruder tersebut yaitu Br. Celcius, Br. Jezue, dan Br. Gubertus yang datang ke Indonesia tanggal 2 Juli 1938. Kedatangan para bruder dari Belanda disusul oleh Br. Augustus sebagai overste pertama di Boro bersama dengan Br. Aloysius dan Br. Thimotheus. Mereka merupakan bruder pertama yang di-benum di Boro (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 31). Pada 11 Juli 1938 para Bruder tiba di Boro dan memulai karya mereka. Karya tersebut berupa Sekolah Schakel yang mulai beroperasi pada 1 Agustus 1938 dengan kepala sekolah Br. Aloysius. Pada 7 Agustus 1938, Bruderan FIC Boro secara resmi dibuka dengan diberkati oleh Mgr. Willekens. Acara pemberkatan dihadiri oleh wedana beserta asisten dari Nanggulan, regent Sentolo, asisten Kalibawang dan Niten (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro,1991, 31).Bruder-bruder F.I.C. mengabdikan diri dalam berbagai bidang kegiatan, antara lain panti asuhan putra, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, usaha pertenunan, konveksi, koperasi, dan mempelopori berdirinya kelompok Usaha Bersama (UB) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang sosial dan ekonomi (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 10).Kompleks Bruderan F.I.C. Boro terdiri atas Biara F.I.C., Panti Asuhan Sancta Maria, pabrik tenun, dan sekolah. Bangunan yang berdiri pertama adalah bangunan Biara F.I.C. dan Panti Asuhan Sancta Maria. Keduanya dibangun bersamaan pada tahun 1937, setelahnya menyusul bangunan-bangunan lain seperti pabrik tenun Santa Maria dan Sekolah Pangudi Luhur.Panti Asuhan Sancta Maria merupakan bagian dari Bruderan FIC Boro. Rencana pembangunan panti asuhan bermula ketika Romo J. Prennthaler yang bertugas sebagai kepala Paroki Boro mengajukan permohonan kepada pembesar umum Bruder F.I.C Maastricht di Belanda, agar para bruder datang ke Boro untuk menyelenggarakan panti asuhan (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 37). Pada tahun 1936, Br. Christinus, wakil dari pimpinan bruder di Belanda datang ke Boro untuk bertemu Romo J. Prennthaler, S.J. guna membicarakan penyelenggaraan panti asuhan di Boro. Peletakan batu pertama panti asuhan dilakukan pada November 1937 dan pembukaan secara resmi dilakukan pada 12 Juli 1938 (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 37). Dikarenakan kebutuhan akan air yang semakin meningkat, pada tahun 1939 dibangunlah sarana air di panti asuhan yang airnya diambil dari Dusun Gebiri, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang. Pada 20 Juli 1940, bangunan sarana air diresmikan lengkap dengan instalasinya. (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 38).Lingkup kegiatan Panti Asuhan Sancta Maria meliputi pendidikan sekolah dan pendidikan di luar sekolah, pendidikan musik, dan olahraga. Anak asuh yang ingin menempuh pendidikan formal disekolahkan di SD Pangudi Luhur dan SMP Pangudi Luhur (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 38).Pastor J.B. Prennthaler S.J. selama bertugas di Boro juga mengajak para Suster Fransiskanes untuk terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat (karya misi Katolik). Awal pengabdian misi di Boro oleh Suster Fransiskanes dimulai pada 15 Desember 1930. Awal karya tersebut ditandai dengan mendirikan biara (Susteran Fransiskanes dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro. Bangunan Susteran Fransiskanes Boro mulai dibangun sekitar tahun 1930. Pembangunan Susteran bersamaan dengan pembangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro pada 15 Desember 1930. Berkaitan dengan pembangunan Susteran Fransiskanes dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro, pada tanggal 15 Desember 1930 para suster Santo Fransiskus datang ke Boro dari Semarang. Suster-suster tersebut yaitu Sr. M. Aufrida Smulders, O.S.F. sebagai pimpinan biara, ditemani oleh Sr. M. Florida v.d. Kalauw, O.S.F., Sr. Bernolda Segerink, O.S.F., Sr. M. Petrona v. Kuik, O.S.F., dan Sr. M. Coletta Rubiyah, O.S.F. (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro 1991, 26). Titik berat karya yang dilakukan oleh suster-suster tersebut adalah masalah kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya wabah disentri dan malaria di Boro mulai tahun 1926 hingga 1930. Hal itulah yang melatarbelakangi dibangunnya Rumah Sakit Santo Yusup Boro (Hardawiryana, S.J. 2002, 35).Bangunan susteran pada awal berdirinya merupakan bangunan bagian bangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro. Pada tanggal 5 Maret 1931, rumah sakit tersebut dibuka dan diresmikan oleh Residen Westra, dan dihadiri oleh asisten residen, serta bupati Sentolo (Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 1991: 2-10). Rumah sakit tersebut dipimpin oleh Suster Aufrida Smulders, dibantu oleh Suster Florida van der Klauw, Suster Bernolda Segerink, Suster Petrona van Vulk, dan Suster Colleta Rubiyah (Paroki Santa Lisieux Boro, 1991: 26). Pemberkatan biara OSF dan Rumah Sakit Santo Yusup Boro dilakukan pada 4 Januari 1931 oleh Pastur Kalkens, S.J. dan Pastur Satiman. Pembukaan rumah sakit secara resmi dilakukan pada 5 Maret 1931 oleh Pastur van Baal. Upacara pembukaan dihadiri Residen dari Yogyakarta, Wakil Residen dari Wates, Panewu dari Pengasih, Asisten Wedana dari Pantog, Samigaluh, Watumurah, Kenteng, dan Lurah Boro (Tarekat OSF dalam Saryanto, 2011: 17).Selain digunakan untuk merawat orang yang sakit, Rumah Sakit Santo Yusup Boro juga digunakan untuk membantu ibu-ibu yang melahirkan. Saat itu tenaga medis di Kalibawang jumlahnya terbatas, sehingga banyak ibu yang meninggal saat melahirkan. Angka kematian ibu yang tinggi menyebabkan Rumah Sakit Santo Yusup Boro dipenuhi dengan anak-anak yang tidak diambil oleh keluarganya. Hal tersebut menyebabkan pihak rumah sakit berencana mendirikan panti asuhan yang bertujuan untuk merawat anak-anak yatim-piatu. Rencana pendirian panti asuhan dimusyawarahkan pimpinan Suster Fransiskanes, yaitu Suster Fransisca Mulders Herlins Linders dengan Pastur Van Kalkens pada 18 Agustus 1934. Akhirnya pembangunan panti asuhan mulai dilakukan pada 19 Desember 1934 Bangunan panti asuhan pada awalnya sederhana, terbuat dari batu dan anyaman bambu. Setelah selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Pastor C. Tepperna, dengan 23 orang anak yatim-piatu (winarno, 1988: 57)Secara keseluruhan, Kompleks Misi Boro terdiri atas:Bangunan PastoranBangunan Gereja Theresia Santa Lisieux BoroBangunan Bruderan FIC BoroBangunan Rumah TenunBangunan Panti Asuhan Sancta MariaBangunan Sekolah Dasar Pangudi Luhur BoroBangunan Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur BoroBangunan Susteran FransiskanesBangunan Rumah Sakit Santo Yusup BoroBangunan Panti Asuhan Brayat Pinuji BoroBangunan Taman Kanak-Kanak Marsudirini BoroBangunan Sekolah Dasar Marsudirini Boro |
Riwayat Pelestarian | : | Riwayat Pelestarian: Upaya pelestarian yang pernah dilakukan yaitu: 1. Internal: perawatan rutin oleh pemilik/pengguna. 2. Eksternal: a. Tahun 2012, Pemerintah Daerah DIY memberikan penghargaan kepada pelestari warisan budaya kepada Rumah Sakit Santo Yusup Boro di Boro, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. b. Tahun 2019, Pemerintah Daerah DIY memberikan penghargaan kepada pelestari warisan budaya kepada Bangunan Biara Bruder FIC Boro. c. Tahun 2020, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo memberikan penghargaan kepada pelestari warisan budaya kepada Susteran Fransiskanes Boro. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Tarekat O.S.F, Ordo F.I.C./Bruder F.I.C., Paroki Santa Theresia Lisie |
Nama Pengelola | : | - |
Catatan Khusus | : | Secara umum Satuan Ruang Geografis Kompleks Misi Boro masih memperlihatkan tata ruang yang terdiri atas tinggalan benda, dan bangunan yang menunjukkan keberadaan misi penyebaran agama Katolik di Kalibawang. Tinggalan berupa cagar budaya maupun warisan budaya yang berada di Satuan Ruang Geografis Kompleks Misi Boro terdiri atas dua bagian (situs) yaitu Kompleks Gereja Santa Theresia Lisieux Boro dan Kompleks Rumah Sakit Santo Yusup. Kompleks gereja Santa Theresia Lisieux Boro terdiri atas: 1. Bangunan Gereja Santa Theresia Lisieux Boro, 2. Bangunan Biara Bruder FIC Boro, 3. Bangunan Rumah Tenun Bruderan FIC Boro, dan 4. Bangunan Panti Asuhan Putra Sancta Maria. Kompleks Rumah Sakit terdiri atas: 1. Bangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro 2. Bangunan Susteran Fransiskanes Boro 3. Bangunan Eks-Panti Asuhan Brayat Pinuji Kecuali Panti Asuhan Brayat Pinuji, semua bangunan tersebut di atas masih berfungsi seperti awal pembangunannya. Panti Asuhan Brayat Pinuji saat ini pindah lokasi di sebelah utara Gereja Santa Theresia Lisieux Boro dikarenakan kebutuhan ruang dan lokasi lama yang berada berdekatan dengan rumah sakit dinilai tidak layak sebagai panti asuhan. Saat ini bekas Panti Asuhan Brayat Pinuji difungsikan sebagai Panti Werdha Santa Monika. |