Lokasi Kerta merupakan lokasi bekas ibukota kerajaan Mataram Islam Abad XVII (periode pemerintahan Sultan Agung 1613-1646). Saat ini merupakan bagian dari wilayah Dusun Kerto dan Dusun Kanggotan, Desa Pleret, Kecamatan Pleret (penulisan nama “ PlerecT sebagai bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam dibeda kan dengan penulisan nama wilayah administrasi saat ini yang menggunakan nama: “Pleref ). Terdapat beberapa variasi nama yang digunakan dalam berbagai literatur untuk menyebut lokasi situs keraton ini, yaitu: Kerta, Kerta, dan Kerto.
Sedangkan dalam literatur kuna Belanda sering ditulis dengan nama “Chartaâ€. Saat ini lokasi tersebut berupa wilayah permukiman, pekarangan, dan tanah tegalan, yang memiliki beberapa tinggalan arkeologis.
Lokasi ini disebut juga sebagai Lemah Dhuwur. Penyebutan Lemah Dhuwur berasal dari toponimi kuno yang menunjukkan bahwa di lokasi tersebut terdapat sebuah gundukan tanah di Dusun Kerto, Desa Pleret. Gundukan tanah setinggi 1-1,5 meter dari permukaan tanah saat ini, diyakini sebagai bekas Siti Inggil Keraton Kerta. Kata “ Lemah Dhuwur* berasal dari tata bahasa Jawa ngoko dari kata “ Siti Inggi" (bahasa Jawa krama). Kedua frasa tersebut secara harfiah berarti “tanah tinggiâ€. Bentuk areal tanah yang ditinggikan ini pada masa kemudian menjadi salah satu komponen yang selalu terdapat pada keraton-keraton kerajaan Mataram Islam. Bahkan keberadaan
Siti Inggil tersebut pertama kali dijumpai pada Kraton Kerta ini.
Berdasarkan hasil ekskavasi Dinas Kebudayaan DIY tahun 2007, sektor Lemah Dhuvuur tersebut disimpulkan sebagai lokasi Siti Inggil Kraton Kerto. Hal ini ditunjuk kan dengan temuan permukaan berupa umpak batu andesit yang berukuran cukup besar; temuan hasil penggalian berupa struktur- struktur fragmentaris dari bata yang mengindikasikan bentuk talut, anak tangga, gapura, dan pagar cepuri; serta stratigrafi yang menunjukkan peninggian permukaan lahan. Selain itu, didukung pula dengan keberadaan toponimi di tempat ini yaitu: Lemah Dhuwur = Siti Inggil. Kompleks Kraton Kerta ini diperkirakan memiliki fasilitas yang cukup lengkap namun dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan keraton-keraton lainnya.
Keberadaan Masjid Taqqarub Kanggotan yang diduga merupakan Masjid Agung Kraton Kerta, diperkirakan terletak di sisi barat alun- alun. Meskipun di sekitar Situs Kraton Kerta tidak didapati adanya toponimi alun-alun, namun area permukiman di sisi timur Masjid ini diperkirakan merupakan bekas alun-alun Kraton Kerta. Lokasi alun-alun tersebut berbentuk persegi berukuran sekitar 200 m x 200 m dan dikelili ngi oleh jalan. Area perkiraan alun-alun ini berada di sisi utara toponimi Lemah Dhuwur. Distribusi peninggalan arkeologi di kawasan Dusun Kerto ini menunjukkan bahwa lokasi Masjid Taqorrub Kanggotan yang terletak di sebelah barat laut Situs Lemah Dhuwur sangat identik dengan lokasi masjid agung pada kraton-kraton masa Islam lainnya.
Di belakang Masjid Taqqarub ini terdapat Makam Kyai Kategan. Beberapa data tertulis menyebut keberadaan tokoh Kyai Kategan sebagai seorang ulama kerajaan pada masa Sultan Agung. Diduga nama â€Kyai Kategan†dan tokoh bemama â€Kalifagypan†dalam catatan peijalanan delegasi VOC adalah menyebut nama tokoh yang sama. Babad Sultan Agung juga menyebut tokoh Kyai Kategan, salah satunya termuat dalam tembang No. VII Megatruh bait pertama. Dalam Babad Nitik Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Agung nama Kyai Kategan beberapa kali disebut sebagai salah satu ulama Sultan Agung.
Gambaran kondisi Kraton Kerta dapat diperoleh dari deskripsi dalam beberapa babad dan catatan-catatan delegasi VOC yang dirangkum oleh sejarawan H.J. de Graaf (1986). Namun, sisa-sisa bangunan yang menampilkan bekas komponen kompleks keraton di situs Kraton Kerta sudah tidak banyak yang tersisa. Diduga praktik penggunaan kembali sisa-sisa material dari Kraton Kerta sebagai bahan bangunan untuk masa-masa sesudahnya, juga merupakan salah satu faktor penyebab minimnya tinggalan dari era tersebut yang masih tersisa hingga saat ini. Salah satu peristiwa pemanfaatan kembali material bekas Kraton Karta adalah pengambilan satu dari tiga umpak yang terdapat pada Situs Lemah Dhuwur sebagai umpak Masjid Saka Tunggal Taman Sari pada tahun 1970-an. Kondisi ini dipenga ruhi pula dengan ketidakpahaman sikap masyarakat terhadap aspek pelestarian Situs Kraton Kerta. Hal ini terlihat dengan keberadaan lubang galian sedalam 4 m pada 1/6 bagian di sudut sisi tenggara dari situs Lemah Dhuwur yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bata sejak tahun 2006. Secara keseluruhan, lokasi Kerta ini memiliki peninggalan sejarah dan warisan budaya berupa Benda Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang meliputi batu umpak; fitur area permukaan tanah yang ditinggikan; fragmen struktur bangunan berbahan bata kuno dan batu putih; dan makam kuno yang berkaitan dengan tokoh kerajaan Mataram Islam. Benda dan struktur-struktur tersebut mengindikasikan keberadaan bekas Kraton Kerta sebagai ibukota Mataram-Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung yang menampilkan gaya dan teknologi yang mewakili jamannya serta mengandung nilai- nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Benda dan struktur yang di maksud meliputi: (1) Dua buah batu umpak di Dusun Kerto, (2) Makam kuno Kyai Kategan di Dusun Kanggotan, dan (3) Fitur peninggian permukaan tanah ( Siti Inggil)
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Peristiwa Sejarah | : | Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa pada saat pemerintahan Sultan Agung, keraton Mataram-Islam dipindahkan ke daerah Kerta yang beijarak sekitar 5 km selatan dari Kota Gede. Dari kajian Adrisijanti (1997) disusun informasi dari Babad Momana dan Babad ing Sengkala yang mencatat peristiwa pembangunan fisik di Kota Mataram dan wilayah-wilayah sekitarnya, di antaranya adalah:a. Tahun 1617, penyiapan lahan di Kerta untuk calon lokasi keraton.b. Tahun 1618, raja Sultan Agung) mendiami keraton di Kerta, meskipun ibu suri masih di Kota Gede.c. Tahun 1620 mendirikan Prabayaksa di Kerta.d. Tahun 1625 Kraton Kerta diberi Siti Inggil.e. Tahun 1629, mulai membangun pemakaman di Girilaya dipimpin Panembahan Juminah.f. Tahun 1632, mulai membuka hutan di Bukit Merak untuk pemakaman kerajaan.g. Tahun 1637, mulai membangun bendungan di sungai Opak.h. Tahun 1643, mulai membuat segaran di Plered.i. Tahun 1645 pemakaman di Bukit Merak selesai dibuat dan diberi nama Imogiri.Sekitar satu tahun setelah pembangunan terakhir, Sultan Agung wafat di Kerta, kemudian digantikan oleh Sunan Amangkurat I dengan gelar Susuhunan Mangkurat Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidinpanatagama. Atas kehendak raja, kota pusat Kerajaan Mataram Islam dipindahkan dari Kerta menuju Plered. Dalam Babad ing Sangkala tercatat perpindahan sunan ke keraton yang baru terjadi pada tahun 1647.Ketika Sultan Agung pindah dari Kraton Kota Gede ke Kraton Kerta pada tahun 1618, diperkirakan Kota Gede tidak serta merta ditinggalkan oleh penduduknya. Kota Gede bahkan tetap melayani sebagian kebutuhan barang dan jasa masyarakat Mataram-Islam meskipun ibukota kerajaan telah berpindah ke Pleret. Diperkirakan antara tahun 1618-1647 meskipun raja telah berkedudukan di Kraton Kerta namun Kota Gede masih memiliki kedudukan penting sebagai kota Kerajaan Mataram-Islam. Jarak antara Kota Gede ke Kerta juga tidak lebih dari 5 km, relatif dekat karena dapat ditempuh dalam waktu kurang dari seperempat hari dengan berjalan kaki. Letak posisi keberadaan Kraton Kerta sendiri tepat berada di sebelah selatan dari Kota Gede dan sama-sama terletak tepat di tepian sebelah timur Sungai Gajahwong. Kerta berada lebih ke arah hilir tepatnya di dekat titik pertemuan Sungai Gajahwong dengan Sungai Opak.Deskripsi Kraton Kerta dapat diperoleh dari catatan Jan Vos, salah seorang utusanBelanda yang berkunjung ke Kerta pada 9 September 1624 memberikan sedikit gambaran mengenai kraton Kerta tersebut. Graaf menjelaskan secara terperinci mengenai catatan delegasi VOC yang pemah mengunjungi Kerta yang menggambar kan keberadaan alun-alun yang berupa lapangan luas datar dan bersih yang dikelilingi pagar kayu, di kedua sisinya terdapat suatu bangsal yang panjang dan terbuka, di dalamnya orang duduk di atas tanah. Terdapat vegetasi pepohonan, di dekatnya terdapat sebuah bangsal besar, tempat para pembesar menambatkan kudanya. Pada sekeliling alun- alun utara terdapat beberapa pekapalan (bangunan bangsal kecil).Catatan Jan Vos tersebut menunjukkan bahwa di Kraton Kerta terdapat alun-alun dengan beberapa bangunan di sekitarnya serta menyebutkan adanya halaman kedua. Halaman kedua ini diperkirakan memiliki fungsi yang sama dengan Srimanganti pada kraton-kraton dari era sesudahnya. Seperti pada Kraton Yogyakarta, Srimanganti adalah sebuah tempat tunggu bagi tamu-tamu kerajaan sebelum menghadap Sultan di bagian dalam kraton atau kompleks Kedaton.Sepeninggal Sultan Agung, pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Amangkurat I. Raja keempat kerajaan Mataram-Islam tersebut kemudian memerintahkan untuk membangun istana baru di Pleret yang berjarak sekitar 500 m tepat di sebelah timur dari Kraton Kerta. Babad ing Sengkala mencatat perpindahan Sunan Amangkurat I ke keraton yang baru teijadi pada tahun 1569 Jawa (1647 M). Sejak saat itu diperkirakan Kraton Kerta mulai ditinggalkan. Babad Momana menyebutkan tentang kerusakan Kraton Kerta setelah tidak lagi dijadikan keraton Kerajaan Mataram- Islam. Pada sumber sejarah yang sama, diperoleh keterangan adanya peristiwa pembakaran bangunan Prabayeksa Kraton Kerta pada tahun 1589 Jawa (1667 M). Peristiwa tersebut terjadi sekitar 20 tahun setelah kraton dipindahkan ke Pleret |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah Daerah DIY, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, dan Peroran |
Nama Pengelola | : | Pemerintah Daerah DIY, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, dan Peroran |