Watu Gilang Kotagede merupakan batu pipih yang diduga berfungsi sebagai alas tempat duduk Panembahan Senapati. Benda ini dibuat dari batu andesit berwama hitam berbentuk persegi panjang. Kata “gilang†( gumilang/ gigilang) berarti “kilapâ€, hal ini mengacu pada kondisi permukaan batu yang halus dan mengkilap. Di atas permukaan batu tersebut terdapat goresan tipis beberapa tulisan (inskripsi pendek) dalam empat bahasa: Latin, Perancis, Belanda, dan Italia. Inskripsi tersebut memuat tulisan-tulisan yang berisi keluhan-keluhan bemada tenang dan setengah putus asa.
Kajian terhadap inskripsi pendek permukaan Watu Gilang dilakukan oleh filolog J.L.A. Brandes pada tahun 1900 berdasarkan hasil transkripsi S.A. Buddingh (1839). Berdasarkan transkrip tersebut terdapat tulisan, susunan frasa, dan angka tahun yang diinterpretasi oleh Brandes sebagai berikut:
Di bagian tengah terdapat garis zig-zag sembilan gores dengan sudut 60°, diinterpretasi sebagai lambang petir yaitu simbol Jupiter Tonans sebagai salah satu ikon dewa Jupiter Optimus Maximus yang menunjukkan aspek Tuhan. Di bawah garis zig-zag,
dari sisi utara terdapat huruf “I G M†yang menurut Brandes berarti Di Glori Max, diduga pula sebagai singkatan dari In Gloriam Maximan yang berarti “untuk keluhuran yang tertinggiâ€. Terdapat pula pendapat bahwa inisial tersebut tidak terdapat dalam singkatan ungkapan latin, sehingga diduga hanya berupa inisial nama atau mungkin tempat asal penulis inskripsi.
Di sekitar garis zig-zag dan huruf inisial tersebut terdapat goresan frasa terdiri atas empat kata tersusun dalam bidang bujur sangkar:
(utara) AD AETERNAM,
(timur) MEMORIAM,
(selatan) SORTIS;
(barat) INFELICIS,
Rangkaian empat kata tersebut memiliki arti terjemahan "kenangan abadi akan nasib sial" (“untuk memperingati nasib yang tidakbaikâ€).
Di luar tepi susunan frasa bujur sangkar tersebut terdapat empat frasa yang disusun dalam bentuk melingkar:
(utara) AINSIVA LE MONDE (Bahasa Perancis); (timur) ZOO GAAT DE WARELD (Bahasa Belanda); (selatan) COSI VA IL MONDO (Bahasa Italia); (barat) ITA MOVETUR MUNDUS (Bahasa Latin).
Keempat frasa tersebut masing-masing memiliki arti
terjemahan serupa: “begitulah dunia berjalanâ€.
Di luar tepi lingkaran susunan frase tersebut terdapat goresan empat kalimat berbahasa Latin yang disusun dalam bentuk bujur sangkar yang lebih lebar:
(utara) IN FORTUNA CONSORTES DIGNIVALETE;
(timur) QUID STUPEARIS IN SANI)
(selatan) VIDETEIGNARIET RIDETE;
(barat) CONTEMNITE VOS CONSTEMTU VERE DIGNI.
Kalimat-kalimat tersebut berarti: “Selamat jalan kawan-kawanku. Mengapa kamu sekalian menjadi bingung dan tercengang. Lihatlah wahai orang-orang yang bodoh dan tertawalah, mengumpatlah, kamu yang pantas di caci makiâ€.
Di sisi bawah bagian kanan masing-masing kalimat
tersebut terdapat goresan kata (mulai dari baris
kalimat sisi utara): CUR - V7D - LEG dan INV. Brandes
menduga huruf tersebut berupa masing-masing singkatan dari kata bahasa latin: Currite - Videte - Legite - Invenite yang berarti: Beijalanlah - Lihatlah - Bacalah - Rasakanlah.
Di sisi bawah bagian kiri masing-masing kalimat tersebut terdapat goresan huruf dalam kondisi aus (mulai dari baris kalimat sisi barat): CID - IC - LX - IX (di depan IX terdapat tulisan seperti M). Seluruh tulisan tersebut oleh Brandes diinterpretasi sebagai angka tahun 1569 atau 1669.
Di sisi atas keempat kalimat di atas terdapat kata- kata yang diduga digoreskan pada waktu yang berbeda (mulai dari kalimat sisi utara): AMELAN dan LIE; IOVI (ditulis secara terbalik); SONG OUT P. Dalam tulisan Lekkerkerke mengutip pendapat yang menginterpretasi susunan kata tersebut berupa bahasa Inggris yang berarti: “A melan(cho)lic ...song...â€
Terdapat interpretasi mengenai keseluruhan inskripsi tersebut yang dimaknai sebagai ungkapan si penulis yang mengenang nasib diri dan kawan-kawannya yang tewas dalam perjalanan, serta menge nang nasib buruk yang menimpanya (dalam mengarungi samudera). Si penulis mengungkapkan perasaannya yang sangat kompleks: merasa bodoh, terhina, dan merasa sia-sia, namun sekaligus bersyukur dan merasa takjub karena dapat selamat.
Selain Watu Gilang Kotagede, di lokasi yang sama terdapat pula artefak lain yang tidak memiliki keterkaitan fungsi berupa: tiga buah batu bulat (diinterpretasi sebagai peluru meriam/ cannon-ball)
dari bahan batu Kalsit berwama kuning. Masing- masing ukuran diameter ketiga bola batu tersebut: 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Ketiganya diletakkan di atas “meja batu†yang diperkirakan sisa fragmen bagian lapik area (artefak masa kebudayaan Hindu-Buddha). Ketiga batu bulat ini dikenal dengan nama Watu Gatheng, yang menurut folklor setempat adalah benda yang digunakan untuk bermain " gathencf ' ( canteng/ kenteng) oleh Raden Rangga putra Panembahan Senapati saat masih berusia anak-anak. Benda lain selain Watu Gilang dan Watu Gatheng di tempat ini terdapat batu andesit penampang bulat telur, tinggi 50 cm, dan diameter 57 cm yang diduga merupakan tempayan (wadah air) dikenal dengan nama Watu Genthong.