Loading

Siti Hinggil Kraton Yogyakarta

Status : Bangunan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Siti Hinggil merupakan kompleks bangunan pada halaman terletak di sisi selatan kompleks Pagelaran. Siti Hinggil ( Sitinggil) berarti “tanah yang ditinggikan” yang memiliki fungsi agar dapat terlihat dan melihat. Kata lain dari Siti Hinggil ini adalah Siti Bentar atau Siti Luhur. Ketinggian permukaan tanah di halaman Siti Hinggil di Kraton Yogyakarta berada pada 2,85 m dari tanah dasar yang dicapai melalui tangga di sisi utara dan selatan halaman. Denah halaman berbentuk segi empat dengan sisi arah utara-selatan 77 m dan sisi arah timur-barat 88m, diberi pagar keliling tinggi 2,40 m, dengan pagar sisi depan (utara) dibuat berlubang-lubang yang dinamakan ”pagar trancangan” yang berfungsi untuk dapat melihat ke kompleks Pagelaran serta Alun-Alun Lor dan sebaliknya.
Dalam halaman Siti Hinggil terdapat delapan bangunan dan sebuah struktur yang diurutkan berdasarkan hierarki fungsi bangunan, yaitu:

1. Bangsal Siti Hinggil
Bangsal Siti Hinggil berada di sisi selatan Tarub Agung menghadap utara. Fungsi Bangsal Siti Hinggil ini sebagai tempat para pangeran dan tamu-tamu sultan duduk pada saat diselenggarakan upacara-upacara kebesaran. Di tempat ini, sultan hanya hadir tiga kali dalam setahun, yakni pada saat Pisowanan Ageng, Garebeg Maulud, Garebeg Sawal, dan Garebeg Besar serta hanya digunakan pada acara yang sangat khusus seperti saat penobatan sultan dan penobatan putra mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Secara arsitektural, Bangsal Sitihinggil memiliki atap bentuk Kampung Dara Gepak, atap bangunan bersusun dua: bagian atas bentuk kampung dan bagian bawah limasan. Konstruksi atap terdiri atas balok kayu dan besi dengan bahan penutup atap terbuat dari lei. Denah bangsal persegi panjang dengan ukuran 18,61 m x 22,25 m yang diapit oleh bangsal beratap kampung dengan bahan penutup lei berukuran 39,35 m x 5,30 m di sisi timur dan
barat. Bangsal ini mengapit pula Bangsal Witana yang terletak bergandeng di selatan dengan Bangsal Siti Hinggil.
Bangsal Siti Hinggil dan kedua bangsal memanjang yang mengapit nya ini memiliki plafon etemit dan disangga oleh 34 tiang besi penampang bulat, permukaan beralur dicat hijau dengan omamen pada bagian kepala (korintia), tengah dan bawah. Lantai berupa tegel teraso 20 cm x 20 cm. Pada masing-masing sisi terluar bangsal memanjang yang mengapit Bangsal Siti Hinggil ini terdapat tambahan atap emper dengan penutup atap dari bahan seng. Atap disangga oleh 8 tiang besi dengan konsol besi berukir. Ukuran denah bagian masing- masing emper 39, 35 m x 4 m dengan permukaan lantai tegel teraso 30 cm x 30 cm.
Pada bagian spandrel (bidang yang membentuk area segitiga di sisi atas ujung struktur lengkung/ arch) fasad Bangsal dan Tratag Siti Hinggil ini terdapat omamen kronogram berupa angka tahun pemugaran bangunan oleh Sri Sultan Hamengku   Buwono   VIII. Kronogram tersebut berupa candra sangkala memet: Pandhita Cakra Naga Ward (angka tahun 1857 Jawa) pada permukaan sisi luar (utara) dan surya sangkala memet: Gana Asta Kembang Lata (angka tahun 1926 Masehi) yang terukir pada permukaan sisi dalam (selatan).
2. Bangsal Manguntur Tangkil
Di dalam bangsal Siti Hinggil terdapat bangunan sakral yaitu Bangsal Manguntur Tangkil. Bangunan ini adalah tempat singga sana sultan pada saat penobatan (upacara Jumenengan) atau pada saat kraton menyelenggarakan upacara Pisowanan, Garebeg Dal, dan sebagainya. Bentuk arsitektur adalah Limasan Apitan (di dalam naskah Kawruh Kalang bentuk Limasan Apitan disebut juga Limasan Jebengan) dengan ukuran luas 48 m2. Bentuk atap bangunan ini dapat disebut juga sebagai Joglo Jubungan karena Bangsal Manguntur Tangkil mempunyai derajat yang sangat tinggi sebagai tempat singgasana sultan pada upacara kebesaran, maka tipe atap Bangsal Manguntur Tangkil ini tidak bisa disamakan dengan bangsal- bangsal lainnya yang berbentuk Limasan Jebengan ( Limasan Apitan).
Pada bagian tiang di bangsal ini memiliki pula omamen dan ragam hias khusus berupa: Saton, Praban, Sorotan, Putri Mirong, dan Tlacapan. Khusus bentuk omamen Praban dan Putri Mirong,
hanya terdapat pada ruang-ruang tempat di mana sultan berada di bangunan tersebut. Oleh karenanya, kedua bentuk omamen tersebut merupakan omamen awisan (larangan) yang tidak boleh ditiru di bangunan-bangunan baik di luar kraton maupun di dalam kraton yang bukan merupakan tempat sultan berada. 
Bangunan ini merupakan salah satu bangunan yang penting sebagai tempat sultan melakukan meditasi. Titik pandang sultan pada saat meditasi terpusat pada puncak tugu, sehingga panda ngan sultan dari Bangsal Manguntur Tangkil hingga tugu tidak boleh terhalang.
3. Bangsal Witana
Bangsal Witana bergandeng di sebelah selatan Bangsal Siti Hinggil. Bangsal ini berdenah bujur sangkar ukuran 18 m x 18 m, berukuran luas 295 m2 dengan bentuk arsitektur Tajug Lawakan Lambang Gantung. Bangunan ini berdenah bujur sangkar dengan keempat sudut atap bangunan bertemu pada satu titik yang menjadi letak mustaka ( makutha).
Permukaan lantai lebih tinggi 35 cm dari lantai Bangsal Siti Hinggil. Saka guru berada pada lantai yang lebih tinggi (55 cm) dari lantai di bawah penanggap. Lantai di bawah brunjung yang lebih tinggi ini disebut jrambah, sedang lantai di bawah penanggap yang lebih rendah disebut jogan. Bagian Jrambah ini merupakan permukaan lantai tertinggi di Kraton Yogyakarta.
Bangsal Witana berfungsi sebagai tempat meletakkan pusaka kraton (seperti tombak Kangjeng Kyai Ageng Plered dan Kangjeng Kyai Ageng Baru, Cambuk Kangjeng Kyai Pamuk, dan sebagainya) pada saat upacara jumenengan sultan atau pada waktu upacara Garebeg tahun DaZ(pada jaman dahulu).
Bangunan ini direnovasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1855 Jawa yang ditandai dengan candra sangkala: Tinata Pirantining Madya Witanaatau pada tahun 1925 M dengan surya sangkala: Linungit Kembar Gatraning Ron. Kedua kronogram ini tercantum di dalam dua prasasti yang dipasang berdampingan di dinding jrambah sisi selatan Bangsal Witana.
4. Tarub Agung
Bangunan Tarub Agung berada pada ujung atas tangga naik ke Siti Hinggil, berdenah persegi panjang ukuran 6 m (utara-selatan) x 6,5 m (timur-barat)   dengan   ukuran   luas   67,5 m2.
Memiliki konstruksi atap limasan dengan penutup atap berupa sirap berbahan metal disertai plafon etemit serta lisplang kayu beromamen ( rete-rete) yang disangga oleh empat tiang besi. Bangunan ini berfungsi   sebagai   tempat   para   tamu   sultan
menunggu rombongan sebelum bersamaan masuk ke kraton.
5. Bale Bang dan Bale Angun-Angun
Kedua bangunan ini mempunyai bentuk dan arsitektur yang sama, terletak berhadapan masing- masing berada di sisi timur dan barat Bangsal Siti Hinggil-Bangsal Witana. Bangunan yang terdapat
di sebelah timur Siti Hinggil ( Bale Bang) dahulu untuk menyimpan Gamelan Sekaten dengan luas bangunan 282 m2 dan bangunan sebelah barat Siti Hinggil ( Bali Angun-Angun) berukuran luas 282 m2 konon dahulu untuk menyimpan tombak pusaka Kanjeng Kyai Sura Angun-Angun (bangunan ini disebut pula sebagai Bale Mangu) .
6. Bangsal Kori barat dan timur
Di kanan-kiri ujung tangga sebelah atas terdapat dua bangunan kecil beratap Limasan Jebengan disangga tiang delapan buah. Masing-masing berdenah persegi panjang dengan ukuran 7 m x 4
m dengan luas masing-masing 34 m2 serta peninggian lantai 30 cm dari permukaan tanah. Dahulu bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk penjagaan Abdi Dalem Gandhek reh Kawedanan Gedhong Tengen dan Kawedanan Gedhong   Kiwa, kemudian berubah menjadi pacaosan (tempat untuk jaga) Abdi Dalem  Penongsong.
Abdi Dalem Kori ini mempunyai tugas untuk menyampaikan permohonan rakyat kepada Sri Sultan. Petugas ini yang selalu mengawasi ke arah alun-alun utara, apabila di sana ada seorang atau beberapa   orang   yang   akan   menyampaikan pengaduan dan mohon keadilan kepada Sri Sultan. Fungsi inilah yang menyebabkan bentuk pagar Siti Hinggil sisi utara dibuat tranca ngan.
7. Renteng Mentog Baturana
Struktur ini dikenal juga dengan nama Kelir Renteng Baturana, Gapura Buntu, atau Kori Renteng. Struktur ini berupa tembok kelir di jalan masuk menuju Siti Hinggil dari selatan. Struktur tembok kelir berada di belakang Bangsal Witana, membujur arah timur-barat yang memiliki tinggi sampai puncak pediment (bentuk bidang segitiga) 15 m. Di sebelah selatan struktur tembok ini terdapat tangga simetris arah barat dan timur. Kedua tangga tersebut bertemu di bawah pada pelataran berbentuk persegi dengan luas 6 m2 tepat di tengah-tengah Baturana. Luas seluruh komponen struktur tembok kelir serta struktur tangga 180 m2.
Pada sisi selatan tangga dibatasi dengan pagar trancangan (dinding pagar berlubang). Dari pelataran ini ke arah selatan, melalui tiga buah anak tangga menuju suatu perempatan jalan ke
arah timur-barat kemudian belok ke utara (menyerupai bentuk huruf “U”) menyusuri pagar Siti Hinggil, yang disebut Pamengkang ( SupitUrang) . Pada awalnya ujung Pamengkang ini tepat di
selatan kedua Bangsal Pamandengan. Kondisi ujung Pamengkang sisi barat saat ini tertutup oleh bangunan Pracimasana, sedang ujung sisi timur tertutup oleh bangunan garasi eks UGM.








Status : Bangunan Cagar Budaya
Alamat : Kompleks Kraton Yogyakarta, Panembahan, Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.8061395897303° S, 110.36413966878° E

SK Gubernur : Keputusan Gubernur DIY Nomor 2


Lokasi Siti Hinggil Kraton Yogyakarta di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : Siti Hinggil merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta berupa komponen yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I. Kompleks Siti Hinggil berada pada dua lokasi, yaitu di bagian utara di sebut Siti Hinggil Lor dan di bagan selatan disebut Siti Hinggil Kidul. Pada tahun 1956 bangunan Siti Hinggil Kidul di ganti dengan bangunan baru dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad, untuk memperingati 200 tahun berdirinya Kraton Yogyakarta.Siti Hinggil merupakan area yang sakral karena digunakan untuk prosesi Jumenengan Sultan dan Miyos Sinewaka Sultan pada Upacara Garebeg. Miyos Sinewaka merupakan Prosesi yang sarat makna filosofis dan sakral, dimana Sri Sultan berkenan keluar dari Kedhaton menuju Siti Hinggil. Prosesi Miyos Sinewaka terakhir dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana IX.Meskipun merupakan area yang sakral, Siti Hinggil pemah dibuka untuk perkuliahan UGM. Pada tanggal 20 Mei 1946 diadakan rapat Panitia Perguruan Tinggi di pendopo Kepatihan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Soetopo dan dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Dr. Prijono, Prof. Dr. Sardjito, Prof. Ir.Wreksodiningrat, Prof. Ir. Haijono, Prof. Sugardo, WakilKementerian Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan, dan sebagai ahli keuangan Slamet Soetikno S.H. Rapat tersebut menghasilkan keputusan disetujuinya pendirian Perguruan Tinggi Federal. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi bantuan yang sangat banyak untuk terlaksananya rencana pendirian Perguruan Tinggi tersebut terutama dalam hal gedung perkuliahan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi izin untuk Siti Hinggil dan Pagelaran difungsikan sebagai aula dan ruang-ruang kuliah juga kantor Fakultas Hukum, Sosial- Politik dan Ekonomi. Proses perkuliahan tersebut berlangsung sepanjang tahun 1949-1973. Salah satu bukti yang masih jelas terkait fungsi Siti Hinggil sebagaigedung perkuliahan adalah dua bangunan semi permanen yang terletak di sudut tenggara dan barat daya area Siti Hinggil.Pada Bangsal Siti Hinggil dan bangsal Manguntur Tangkil pemah digunakan untuk upacara pelantikan Ir. Soekamo menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Desember 1949. 
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Pengelolaan
Nama Pengelola : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat