Loading

Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul Kraton Yogyakarta

Status : Struktur Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Alun-Alun Utara atau yang dikenal dengan nama Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Selatan atau yang dikenal dengan nama Alun-alun Pungkuran atau Alun-Alun Kidul merupakan salah satu komponen utama kelengkapan tata ruang ibukota/kuthanegara Kraton Yogyakarta. Lokasi sepasang Alun-Alun berada di sebelah utara dan selatan kompleks keraton. Bentuk Alun-Alun Lor berupa lapangan memiliki denah menyerupai bujur sangkar berukuran ± 236 m x 225 m, sedangkan Alun-Alun Kidul berukuran 125 m x 123 m, kedua Alun-Alun tersebut memiliki hamparan pasir di atas permukaan tanahnya. 

Alun-Alun Lor memiliki dua buah pohon beringin berpagar (waringin kurung/waringin sengkeran) yang berada di tengah lapangan. Pohon beringin di sebelah barat bernama Kyai Déwadaru dan di sebelah timur bernama Kyai Janadaru /Wijayadaru.   

Ruang di antara kedua beringin kurung ini digunakan untuk tindakan laku pépé yaitu aksi rakyat yang akan mohon pengadilan langsung kepada sultan dengan cara duduk di antara dua ringin kurung serta berpakaian mori putih. Tindakan ini juga mempunyai makna bahwa yang bersangkutan tidak terima dengan keputusan pengadilan sebelumnya. 

Alun-Alun Kidul memiliki dua buah pohon beringin berpagar (waringin kurung/waringin sengkeran) yang berada di tengah lapangan bernama supit urang (terdapat dua pohon beringin lainnya yang berada di sisi selatan alun-alun yang tepat berada di ujung utara jalan menuju Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading) bernama Wok (Bréwok). 

Tepat di tengah sisi selatan Alun-Alun Kidul, satu garis lurus dengan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan lurus ke arah selatan, melewati Plengkung Nirbaya terus ke arah selatan hingga ke bangunan Panggung Krapyak. Sementara di sisi timur dan barat bidang Alun-Alun Kidul ini terdapat masing-masing dua ruas jalan. Jumlah lima jalan di ketiga sisi Alun-Alun Kidul ini melambangkan pancaindra manusia. 

Status : Struktur Cagar Budaya
Periodesasi : Tradisional Jawa
Tahun : 1756
Bagian dari : Kraton Yogyakarta
Kawasan : Kawasan Cagar Budaya Kraton
Alamat : Alun-alun Kidul, Patehan, Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.81234° S, 110.362601° E

SK Gubernur : Nomor 219/KEP/2020


Lokasi Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul Kraton Yogyakarta di Peta

Bahan Pendamping : Pasir, pagar besi (ALun-ALun Lor)
Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Bahan Utama : Batu, Tanah, Lain-lain
Bahan Pendamping : Pasir, pagar besi (ALun-ALun Lor)
Jenis Struktur : Lain-lain
Materi Spesifik (Bahan presentase terbesar) : Pasir pantai
Pola : persegi
Dimensi Struktur
Panjang : Alun-Alun Lor: 236 m; Alun-Alun Kidul 125 m
Lebar : Alun-Alun Lor: 225 m; Alun-Alun Kidul 123 m
Jenis Bangunan : Lain-lain
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Peristiwa Sejarah : Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul yang merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta berupa komponen yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I bersamaan dengan pendirian kompleks Kraton Yogyakarta. Pembangunan keraton selesai pada tahun Jawa 1682 yang dikenal dengan kronogram (sengkalan memet): Dwi Naga Rasa Tunggal atau tahun 1756 Masehi.  Pada awalnya kedua alun-alun tersebut digunakan untuk tempat upacara kerajaan, ritual keagamaan, upacara tradisi, tempat bertemunya rakyat dan sultan, serta tempat untuk menggelar latihan militer prajurit keraton. Khusus di Alun-Alun Kidul pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877--1921) digunakan sebagai tempat lomba panahan pada setiap hari Senin dan Kamis. Sultan pada saat acara tersebut duduk Lenggah Dalem di atas Gilang Tratag Siti Hinggil Kidul. Turunnya otoritas politik dan militer kesultanan di abad ke-20 menyebabkan beberapa perubahan dalam penggunaan dan fungsi alun-alun. Alun-Alun Lor sekarang berfungsi hanya sebagai ruang upacara dan tidak lagi menjadi tempat untuk menampilkan simbol kekuasaan politik keraton (Gladhen Watangan dan adu harimau dengan kerbau/ Rampogan Sima).  Selama periode Sultan Hamengku Buwono IX, terdapat perubahan pada area Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul. Jalan beraspal ditambah dengan trotoar dibangun mengelilingi alun-alun. Hal ini memberi lebih banyak akses bagi penduduk untuk memasuki kawasan keraton dan beberapa kampung di dalam tembok kota.  Pada periode peralihan pemerintahan kolonial dan awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, Alun-Alun Lor digunakan sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan mobilisasi massa dalam rangka peningkatan usaha nasionalisme Indonesia. Alun-Alun Lor menjadi ruang nasional dan tempat untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan bangsa. Beberapa kegiatan tersebut adalah parade militer pada 5 Oktober 1946 untuk merayakan ulang tahun pertama Tentara Nasional Indonesia dan tempat Presiden Sukarno memberikan orasi politik selama perayaan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 1948. Peristiwa-peristiwa tersebut dimaksudkan untuk menampilkan otoritas negara yang baru terbentuk sekaligus upaya dalam menghadapi isu politik berupa niat Pemerintah Belanda untuk menduduki kembali Indonesia. Setelah berakhir masa revolusi Indonesia dan kepindahan kembali ibu kota Indonesia ke Jakarta, keraton mulai mengadakan kembali upacara-upacara ritual di area alun-alun. Tradisi Garebeg bersama dengan prosesi festival dan Sekaten mulai diadakan kembali di Alun-Alun Lor sejak tahun 1950.
Konteks : Alun-Alun Lor yang telah menjadi ruang budaya sekaligus berfungsi menjadi ruang sarana kegiatan politik baik untuk lingkup Yogyakarta maupun lingkup nasional dengan mewadahi kegiatan-kegiatan gerakan moral yang berkontribusi signifikan terhadap perkembangan politik di tingkat lokal dan nasional. Tempat ini menjadi lokasi perkumpulan massa dalam peristiwa orasi politik Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 dalam rangka mengumumkan Trikora untuk menggabungkan Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Indonesia dari kekuasaan Pemerintah Belanda. Area Alun-Alun Lor juga menjadi tempat bagi peran Kraton Yogyakarta pada peristiwa Gerakan Reformasi sejak tahun 1998 yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari pemerintahan. Pada tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum berakhirnya rezim Orde Baru, sekitar ratusan ribu warga Yogyakarta berkumpul di Alun-Alun Lor untuk menghadiri kegiatan "Pisowanan Ageng" yang menjadi bagian gerakan menuntut reformasi politik di Indonesia. Dalam peristiwa itu, Sri Sultan Hamengku Buwana X menyampaikan orasi politik yang mendukung Gerakan Reformasi. Peristiwa ini mengilustrasikan pengakuan masyarakat luas terhadap Kraton Yogyakarta sebagal benteng kultural dan moral, sekaligus membuktikan kepedulian yang besar pihak kraton pada masalah bangsa. 
Nilai Sejarah : Alun-Alun Lor menjadi tempat untuk kegiatan-kegiatan mobilisasi massa dalam rangka peningkatan usaha nasionalisme pada periode awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, seperti: tempat perayaan ulang tahun pertama Tentara Nasional Indonesia pada 5 Oktober 1946; tempat Presiden Sukarno memberikan orasi politik dalam perayaan Hari Buruh internasional pada 1 Mei 1948; tempat peristiwa orasi politik pengumuman pelaksanaan Trikora oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961; dan tempat peristiwa "Pisowanan Ageng" dalam Gerakan Reformasi Politik Indonesia pada 20 Mei 1998.
Nilai Agama : Menjadi tempat terselenggaranya upacara periodik keagamaan.
Nilai Budaya : Alun-alun menjadi tempat bagi perwujudan nilai-nilai budaya untuk membangun dan memperkuat eksistensi rasa persatuan, kebangsaan, dan nasionalisme.Menjadi tempat berlangsungnya upacara adat dan tradisi keraton.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Pengelolaan
Nama Pengelola : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Catatan Khusus : Ukuran Luas: Alun-Alun Lor: 4,96 ha; Alun-Alun Kidul: 1,57 ha.