Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Peristiwa Sejarah | : | Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul yang merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta berupa komponen yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I bersamaan dengan pendirian kompleks Kraton Yogyakarta. Pembangunan keraton selesai pada tahun Jawa 1682 yang dikenal dengan kronogram (sengkalan memet): Dwi Naga Rasa Tunggal atau tahun 1756 Masehi. Pada awalnya kedua alun-alun tersebut digunakan untuk tempat upacara kerajaan, ritual keagamaan, upacara tradisi, tempat bertemunya rakyat dan sultan, serta tempat untuk menggelar latihan militer prajurit keraton. Khusus di Alun-Alun Kidul pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877--1921) digunakan sebagai tempat lomba panahan pada setiap hari Senin dan Kamis. Sultan pada saat acara tersebut duduk Lenggah Dalem di atas Gilang Tratag Siti Hinggil Kidul. Turunnya otoritas politik dan militer kesultanan di abad ke-20 menyebabkan beberapa perubahan dalam penggunaan dan fungsi alun-alun. Alun-Alun Lor sekarang berfungsi hanya sebagai ruang upacara dan tidak lagi menjadi tempat untuk menampilkan simbol kekuasaan politik keraton (Gladhen Watangan dan adu harimau dengan kerbau/ Rampogan Sima). Selama periode Sultan Hamengku Buwono IX, terdapat perubahan pada area Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul. Jalan beraspal ditambah dengan trotoar dibangun mengelilingi alun-alun. Hal ini memberi lebih banyak akses bagi penduduk untuk memasuki kawasan keraton dan beberapa kampung di dalam tembok kota. Pada periode peralihan pemerintahan kolonial dan awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, Alun-Alun Lor digunakan sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan mobilisasi massa dalam rangka peningkatan usaha nasionalisme Indonesia. Alun-Alun Lor menjadi ruang nasional dan tempat untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan bangsa. Beberapa kegiatan tersebut adalah parade militer pada 5 Oktober 1946 untuk merayakan ulang tahun pertama Tentara Nasional Indonesia dan tempat Presiden Sukarno memberikan orasi politik selama perayaan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 1948. Peristiwa-peristiwa tersebut dimaksudkan untuk menampilkan otoritas negara yang baru terbentuk sekaligus upaya dalam menghadapi isu politik berupa niat Pemerintah Belanda untuk menduduki kembali Indonesia. Setelah berakhir masa revolusi Indonesia dan kepindahan kembali ibu kota Indonesia ke Jakarta, keraton mulai mengadakan kembali upacara-upacara ritual di area alun-alun. Tradisi Garebeg bersama dengan prosesi festival dan Sekaten mulai diadakan kembali di Alun-Alun Lor sejak tahun 1950. Alun-Alun Lor yang telah menjadi ruang budaya sekaligus berfungsi menjadi ruang sarana kegiatan politik baik untuk lingkup Yogyakarta maupun lingkup nasional dengan mewadahi kegiatan-kegiatan gerakan moral yang berkontribusi signifikan terhadap perkembangan politik di tingkat lokal dan nasional. Tempat ini menjadi lokasi perkumpulan massa dalam peristiwa orasi politik Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 dalam rangka mengumumkan Trikora untuk menggabungkan Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Indonesia dari kekuasaan Pemerintah Belanda. Area Alun-Alun Lor juga menjadi tempat bagi peran Kraton Yogyakarta pada peristiwa Gerakan Reformasi sejak tahun 1998 yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari pemerintahan. Pada tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum berakhirnya rezim Orde Baru, sekitar ratusan ribu warga Yogyakarta berkumpul di Alun-Alun Lor untuk menghadiri kegiatan "Pisowanan Ageng" yang menjadi bagian gerakan menuntut reformasi politik di Indonesia. Dalam peristiwa itu, Sri Sultan Hamengku Buwana X menyampaikan orasi politik yang mendukung Gerakan Reformasi. Peristiwa ini mengilustrasikan pengakuan masyarakat luas terhadap Kraton Yogyakarta sebagal benteng kultural dan moral, sekaligus membuktikan kepedulian yang besar pihak kraton pada masalah bangsa. |
Nilai Budaya | : | Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul Kraton Yogyakarta merupakan salah satu komponen keraton Kesultanan Yogyakarta yang memiliki nilai sosial politis kebangsaan dan nasionalisme serta memiliki makna filosofis yang menjadi elemen penting tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sumbu filosofis Kota Yogyakarta. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat |
Nama Pengelola | : | Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat |
Catatan Khusus | : | Batas - batas :a. Alun-Alun LorUtara : Jalan Alun-Alun Lor sisi utara Timur : Jalan ALun-Alun Lor sisi timur Selatan : Pagar Bangsal Pagelaran (Kompleks Keraton)Barat : Jalan Alun-Alun Lor sisi baratb. Alun-Alun KidulUtara : Pagar sisi utara dan Kuncungan Sasana Hinggil Dwi Abad Timur : Pagar sisi timur Selatan : Pagar sisi selatan Barat Pagar sisi baratUkuran : Alun-Alun Lor = 4, 96 haAlun-Alun Kidul = 2, 62 ha |