Loading

Struktur Cagar Budaya Benteng Kraton Yogyakarta

Status : Struktur Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Benteng Kraton merupakan tembok keliling sebagai penanda batas Kraton Kesultanan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Kawasan yang berada di sisi dalam tembok ini disebut sebagai kawasan Jeron Beteng. Tembok keliling tersebut berupa benteng tebal yang di sisi luarnya terdapat jagang.  Benteng tersebut terdiri dari empat sisi berupa tembok setebal 5 meter, memutari kawasan kutaraja (kota tempat tinggal raja) dalam bentuk persegi sepanjang sekitar 5 kilometer. Secara keseluruhan, kelengkapan benteng terdiri atas komponen (1) tembok keliling, (2) struktur pojok benteng (bastion), (3) struktur pintu gerbang (plengkung), dan (4) jagang.  

Jalur benteng keraton membujur dari Pamengkang kompleks Siti Hinggil lurus ke barat hingga pojok benteng barat laut (dikenal dengan sebutan  Pojok Beteng Lor Kulon/Bya-bya), ke selatan hingga sudut benteng barat daya (Pojok Beteng Kulon/Nurwitri), ke timur hingga sudut benteng tenggara (dikenal dengan sebutan Pojok Beteng Wetan/Ganeya), ke utara hingga ujung benteng timur laut (Pojok Beteng Lor Wetan/Narasunya) belok ke barat hingga pinggir Alun-Alun utara. 

Tembok keliling terdiri atas dua lapis berupa bagian luar dan bagian dalam, yang masing-masing memiliki tebal 85 cm dan 71–82 cm. Tinggi tembok bagian luar 5,17–3,65 m, sedang tinggi tembok bagian dalam 3,47–2,05 m. Ruang antara tembok dalam dan tembok luar diisi dengan tanah dari hasil galian jagang. Bidang di antara tembok sisi luar dan sisi dalam membentuk jalan selebar 3,56 m (disebut rampart dalam konstruksi benteng, dikenal juga dengan istilah margi inggil). Dengan demikian tembok keliling Benteng Kraton ini memiliki tebal rata-rata 5 m.  Di bagian keempat sudut benteng terdapat struktur segi empat yang menonjol ke luar disebut bastion (merupakan salah satu elemen dominan pada konstruksi benteng pertahanan abad ke-16–pertengahan abad ke-19). Struktur bastion tersebut membentuk tiga sudut yang di setiap ujungnya dibangun turret (semacam sangkar berbentuk silinder sebagai tempat penjagaan/pengintaian). Pada dinding antar bastion diberi longkangan sepuluh buah sebagai tempat untuk memasang meriam (dalam istilah arsitektur benteng deretan celah pada pagar atas benteng disebut battlement). 

Benteng dilengkapi dengan pintu gerbang sebanyak lima buah yang disebut plengkung. Kelima plengkung tersebut yaitu: 

  1. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sisi utara bagian timur,
  2. Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sisi utara bagian barat,
  3. Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat,
  4. Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan, dan
  5. Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur.  

Plengkung Madyasura ini dahulu sempat ditutup sehingga dikenal pula dengan sebutan “Gapura Buntet” atau “Plengkung Buntet”. Pada tahun 1923 pintu gerbang tersebut dibuka kembali atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Pada bagian atas di semua plengkung digunakan untuk pelataran yang dinamakan “panggung” sehingga bangunan plengkung ini dikenal pula dengan sebutan “Gapura Panggung”. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga berupa turret dan empat  celah dinding untuk tempat meriam. Di depan setiap plengkung terdapat jembatan angkat yang menghubungkan bagian dalam benteng dengan bagian kawasan luar. Apabila terjadi bahaya atau pada jadwal tertentu yang telah ditetapkan maka jembatan tersebut dapat ditarik ke atas  dan pintu-pintu plengkung ditutup sehingga jalan masuk menuju kompleks keraton terputus. Di sisi luar benteng dibuat jagang lebar yang sisi luarnya dipagar bata setinggi satu meter dan sepanjang jalan di tepi pagar ditanam pohon Gayam. 

Status : Struktur Cagar Budaya
Periodesasi : Kolonial (Belanda/Cina)
Tahun : 1782
Bagian dari : Benteng Kraton Mataram Kotagede
Kawasan : Kawasan Cagar Budaya Kraton
Alamat : Plengkung Jagabaya -, Panembahan, Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.808613° S, 110.356258° E

SK Gubernur : SK Gubernur DIY No. 192/KEP/2019 Tentang Penetapan Struktur Cagar Budaya Benteng Kraton Yogyakarta


Lokasi Struktur Cagar Budaya Benteng Kraton Yogyakarta di Peta

Bahan Pendamping : perekat berupa campuran adonan bubuk kapur, bubuk batu bata merah dan pasir dengan permukaan luar ditutup plester.
Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Bahan Utama : Batu Bata
Bahan Pendamping : perekat berupa campuran adonan bubuk kapur, bubuk batu bata merah dan pasir dengan permukaan luar ditutup plester.
Jenis Struktur : Benteng
Materi Spesifik (Bahan presentase terbesar) : Tembok keliling, bastion, gerbang dan jagang
Bentuk : Memanjang
Pola : Mengelilingi Kraton Yogyakarta
Orientasi : Arbiter
Dimensi Struktur
Panjang : sisi utara : 1.71 Km sisi timur : 1.19 Km sisi selatan : 1,42 Km sisi barat : 0.96 Km
Lebar : 3,56 m
Tebal : 5 m
Tinggi : Tinggi tembok bagian luar 5,17-3,65 m Tinggi tembok bagian dalam 3,4 7-2,05 m
Jenis Bangunan : Benteng
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Sri Sultan Hamengku Buwana I, R. Rangga Prawirasentika/Rangga Prawiradirja, Sultan Hamengku Buwana II
Peristiwa Sejarah : Dari kelima plengkung sebagai pintu gerbang benteng, menurut catatan K.R.T Partahadiningrat, tiga plengkung (Madyasura, Jagabaya dan Jagasura) diruntuhkan menjadi gapura terbuka pada tanggal 23 Juli 1812 atau tepat satu bulan sesudah Geger Spei.  Pada peristiwa Geger Spei tersebut penyerangan militer Inggris dengan pasukan utama tentara Sepoy (kesatuan prajurit rekrutan Inggris yang berasal dari India) menyerang Kraton Yogyakarta. Pada 19–20 Juni 1812 pasukan Inggris berhasil menyerang dan menjarah keraton. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Geger Sepoy atau Geger Sepehi dalam sumber sejarah Jawa. Salah satu hasil dari peristiwa Geger Spei ini adalah hancurnya bastion (pojok benteng) di timur laut. Sejak saat itu benteng keraton hanya memiliki tiga bastion yaitu yang bereda di barat laut, tenggara, dan barat daya. Kerusakan parah juga terjadi pada Plengkung Madyasura yang kemudian sempat ditutup dan dikenal dengan sebutan Plengkung Buntet.
Konteks : Benteng Kraton yang merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta berupa komponen yang paling akhir dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I, yakni pada tahun Jawa 1706 (1782 M), sedangkan bangunan Kraton Yogyakarta  sendiri selesai dibangun pada tahun Jawa 1682 yang dikenal dengan kronogram (sengkalan memet): Dwi Naga Rasa Tunggal atau tahun 1756 Masehi.  Pada awalnya pembangunan benteng ini dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika/Rangga Prawiradirja, Bupati Madiun. Pembangunan ini kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwana II atau kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Sepuh). Pembangunan benteng ini sebagai reaksi atas pembangunan Benteng Rustenburg (kemudian berganti nama menjadi Vredeburg) yang terdapat tepat di utara kompleks keraton. Pembangunan benteng Vredeburg tersebut diinisiasi oleh pihak kompeni (VOC) pada tahun 1765–1787. Dengan demikian, pembangunan benteng kraton secara umum menyerupai benteng Vredeburg dengan ukuran yang lebih luas.  Selama pembangunan dalam pengawasan Pangeran Adipati Anom benteng kraton diperkuat dengan menambah ketebalan dinding menjadi 4 meter. Kemudian pada bagian sudut (pojok benteng/bastion) ketebalan tembok mencapai 6-8 m.  
Nilai Sejarah : Benteng Kraton Yogyakarta dengan seluruh komponennya berusia lebih dari 50 tahun, karena mulai dibangun pada tahun 1771–1806. Keberadaan benteng kraton merupakan sarana pertahanan pada kompleks keraton dan menjadi bukti peristiwa sejarah penyerbuan pasukan Inggris tahun 1812
Nilai Ilmu Pengetahuan : Bentuk benteng berdenah segi empat yang di setiap pojoknya terdapat struktur pojok benteng yang menjorok keluar (bastion), merupakan tipe bangunan benteng yang berkembang di Eropa pada abad ke-15 yang kemudian menjadi bentuk tipikal keberadaan benteng-benteng bangsa Eropa di Nusantara pada sebelum abad ke-19.Bentuk arsitektur benteng kraton dan seluruh komponennya sebagai bangunan pertahanan merupakan wujud arsitektur yang terinspirasi arsitektur Eropa pada keraton Jawa abad ke-18. Teknologi konstruksi benteng ini menjadi referensi sistem konstruksi sebelum dikenal sistem beton bertulang.  
Nilai Budaya : Penyerapan ide gagasan yang terinspirasi arsitektur pertahanan Eropa yang menghasilkan karya budaya dalam sistem pertahanan suatu pusat pemerintahan pada saat itu.Keberadaan Benteng Kraton berkaitan langsung dengan tradisi Mubeng Beteng, pada malam hari tanggal satu Sura. Keberadaan Plengkung Nirbaya berkaitan langsung dengan tradisi prosesi iringan jenazah sultan menuju permakaman ke Imogiri. 
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Pengelolaan
Nama Pengelola : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat