Loading

Deskripsi Singkat

Kompleks Masjid Wonokromo dikelilingi oleh pagar tembok dan memiliki tiga pintu gerbang berbentuk bentar. Pintu gerbang utama berada di sebelah utara, sementara pintu gerbang di sebelah timur tepat berhadapan dengan pertemuan antara Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Pintu gerbang di sebelah selatan berhubungan dengan jalan kampung. Di sebelah barat masjid terdapat kompleks makam yang dipercaya merupakan makam para tokoh yang sezaman dengan Pangeran Diponegoro.


Pada awal berdirinya, bangunan induk Masjid Wonokromo sangat sederhana. Serambi masjid berbentuk limasan, sedangkan bangunan masjid berbentuk tajuk dengan mustoko dari kuwali yang dibuat dari tanah liat. Semula bahan bangunannya dari bambu, dindingnya dari gedhek (anyaman bambu), dan atapnya terbuat dari welit (anyaman daun tebu, alang-alang, atau daun kelapa). Tempat wudlu semula dari padasan terletak di depan serambi masjid.

Tradisi yang masih dipertahankan adalah saat tanda waktu masuk salat, selain azan juga dari bunyi kentongan dan bedug. Suara dan irama bedug di hari-hari biasa berbeda dengan saat tanda masuk salat ashar di hari Kamis. Suara irama bedug disebut dengan sarwo lemah, asar dowo malem jemuah. Bila tiba waktu ashar di hari Kamis, bedug dipukul dengan nada dan irama yang khas dan panjang, sebagai tanda bahwa nanti malam adalah malam Jumat.

Di hari Jumat, setengah jam sebelum tiba waktu salat bedug ditabuh bertalu-talu. Di akhir pemukulan bedug disisipi pemukulan kentongan yang menandakan bahwa pelaksanaan ibadah Jumat sudah akan dimulai. Pada saat salat Jumat, pelaksanaan azan dilakukan dua kali. Azan pertama dilakukan sebagai tanda saat masuknya waktu salat Jumat. Pada saat azan pertama, baik petugas untuk azan subuh, duhur, asar, magrib, isya berjajar-jajar di depan mimbar, mengumandangkan azan bersama-sama. Hal ini dimaksudkan supaya ada keadilan, bersatu dan bertemunya para muadzin dari masing-masing waktu, maka di sini dikenal dengan istilah azan lima. Tradisi lain yang masih dipertahankan adalah bada kupatan, yaitu tradisi saling memaafkan setelah melaksanakan enam hari puasa sunah di bulan Syawal.

(Sumber: SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya)


Status : Bangunan Not Set
Periodesasi : Islam
Alamat : Jalan Wonokromo I RT 02, Wonokromo, Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.8591744° S, 110.384199° E

SK Walikota/Bupati : SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya


Lokasi Masjid Wonokromo di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Komponen Pelengkap :
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Sultan Hamengkubuwana I
Peristiwa Sejarah : Masjid Wonokromo didirikan oleh Kyai Haji Muhammad Fakih atas perintah Sultan Hamengku Buwana I. Kyai Fakih merupakan kakak ipar Sultan Hamengku Buwana I sekaligus seorang kyai yang diberi tanah perdikan di Wonokromo. Kyai Fakih adalah seorang guru agama Islam dari Desa Ketonggo. Dikenal juga dengan panggilan Kyai Welit karena kesenangannya menganyam daun alang-alang menjadi atap atau disebut welit. Welit yang dibuatnya tidak untuk dijual tapi hanya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan. Kyai Fakih diberi hadiah tanah perdikan oleh Sultan Hamengku Buwana I karena dua hal, yaitu: Tanpa sepengetahuan Kyai Fakih, Sultan Hamengku Buwana I pernah menjadi santrinya dengan cara menyamar. Saat itu, Kasultanan Yogyakarta baru saja berdiri dan Sultan Hamengku Buwana I membutuhkan sipat kandel untuk mengatasi rintangan yang menghadang. Kyai Fakih adalah kakak ipar Sultan Hamengku Buwana I karena sama-sama memperistri putri Kyai Derpoyodo. Tanah perdikan berada di sebelah selatan Ketonggo, yang masih berupa hutan yang banyak ditumbuhi pohon awar-awar, oleh karena itu disebut Alas Awar-Awar. Sebagai wujud syukur atas pemberian anugerah tanah tersebut, Kyai Fakih membuka hutan dan kemudian mendirikan sebuah masjid kecil di ujung tenggara Alas Awar-Awar. Atas amanat Sultan Hamengku Buwana I maka Alas Awar-Awar yang sudah dibuka dan didirikan masjid itu diberi nama wa anna karaamaa yang artinya supaya benar-benar mulia.(Sumber: SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya)
Riwayat Pemugaran : Tahun 1867 M, bentuk awal Masjid Wonokromo dibongkar oleh Kyai Muhammad Fakih II diganti dengan bentuk atap tumpang. Serambi tetap berbentuk limasan. Mustoko yang semula dari kuwali di puncak atap tumpang diganti dengan mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka. Kerangka bangunan yang semula terbuat dari bambu sebagian besar diganti dengan kayu nangka dan sebagian dengan glugu. Tembok anyaman bambu diganti dengan bata yang direkatkan dengan tanah liat diplester dengan bligon (adukan aci gamping dengan tumbukan bata dan pasir). Lantainya dibuat dari bata yang ditata lalu diplester dengan adonan yang sama. Ruangan di dalam masjid di sisi kiri dan kanan ditambah bangunan untuk jamaah putri yang disebut pawestren. Tempat wudhu di depan serambi, yang semula padasan diganti dengan kolam. Air untuk mengisi kolam dialirkan dari Sungai Belik. Tahun 1958, bangunan masjid kembali direnovasi. Atap tumpang tetap dipertahankan dengan ditambah komponen gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang bagian atas dan atap tumpang bagian bawah. Bangunan serambi masjid diperluas. Kolam tempat wudu diurug/ditimbun tanah dijadikan halaman masjid. Tempat wudlu dibuat bak yang berada di sisi utara dan selatan serambi masjid. Pawestren tetap dipertahankan. Bangunan masjid diganti tembok berplester. Empat tiang utama di dalam masjid diganti dengan kayu jati. Gulu melet diberi kaca bening, sehingga suasana di dalam masjid menjadi terang. Tempat pengimaman berukuran 2 x 2 m. Di bagian depan serambi terdapat beberapa tiang dari cor beton dan di dalam serambi tiang dibuat dari balok kayu jati. Di depan serambi dibuat kuncungan. Lantai di dalam ruangan masjid maupun serambi diganti dengan tegel. Tegel di dalam masjid dibuat berwarna-warni dengan motif bunga. Tahun 1976 M, mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka, diganti dengan mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari aluminium dengan ukuran yang lebih besar. Pada tahun 1986 M, Masjid Wonokromo mendapatkan bantuan program BANPRES (bantuan presiden) sebesar Rp. 25.000.000,00. Saat itu kondisi kayu penyangga bangunan masjid sudah banyak yang lapuk karena bocor setiap kali hujan. Selain itu jumlah jamaah yang semakin bertambah banyak, terutama saat salat Jumat, maka setelah mendapatkan izin tertulis atau palilah dalem dari kraton, bangunan masjid dibongkar dan diperluas. Bangunan masjid dibangun kembali dengan konstruksi beton bertulang, dengan tidak meninggalkan arsitektur masjid Jawa Yogyakarta. Hal tersebut memenuhi dhawuh dalem agar arsitektur masjid tidak meninggalkan corak kejawaannya, seperti yang tertuang di dalam surat palilah dalem. Demikian juga dengan pemilihan cat, dipilih warna komposisi hijau, kuning, merah, dan kuning emas (prodo) karena warna-warna tersebut mengandung nilai filosofis. ??Tahun 2003 masjid ini mendapat bantuan pengembangan dari Dinas Pariwisata Yogyakarta. Dana tersebut digunakan untuk membangun gedung pertemuan di sebelah utara serambi masjid. Bak untuk wudu dibuat simetris antara bak di sebelah utara serambi masjid dan di sebelah selatan serambi masjid. Ada penambahan emper di bagian kuncungan. Pada tahun tersebut dilakukan penggalian kolam untuk menampakkan kembali kolam di sekeliling serambi. Bangunan untuk dapur disempurnakan agar dapat berfungsi sebagai tempat memasak pada saat dilaksanakan hari-hari besar Islam di Masjid Wonokromo.(Sumber: SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya)
Riwayat Pemanfaatan : Selain digunakan untuk tempat beribadah, bangunan tersebut juga dimanfaatkan untuk tempat mengaji Al-Qur’an, kajian-kajian, serta beberapa perayaan hari besar Islam seperti bada kupata (tradisi untuk saling memaafkan setelah melaksanakan enam hari puasa sunnah di bulan Syawal)
Riwayat Penelitian : Hidayat, R. A. (2011). Masjid sebagai Pelestari Tradisi. Analisa: Journal of Social Science and Religion, 18(2), 228-246.Karti, G. P. (2016). Indikasi Pencitraan dalam Upacara Adat Rebo Pungkasan di Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta. INVENSI, 1(2), 13-23.KHOMARIYAH-NIM, N. U. R. (2009). TRADISI REBO PUNGKASAN, DI DESA WONOKROMO, KECAMATAN PLERET, KABUPATEN BANTUL (Doctoral dissertation, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).Munandar, S. A., Purwanti, H. F., & Barokah, L. (2020). Nilai-nilai Etos Kerja Islam pada Jamaah Majelis Doa dan Taklim At-Taqwa Wonokromo Pleret Bantul. NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam, 4(1), 43-50.SIROJUDDIN, M. A. (2015). MANAJEMEN MASJID PATHOK NEGORO STUDI MASJID TAQWA WONOKROMO PLERET BANTUL YOGYAKARTA 2014-2015 (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA).WARDATUN-NIM, E. R. N. A. (2010). PERKEMBANGAN MASJID TAQWA WONOKROMO BANTUL 1970-1997 TINJAUAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM (Doctoral dissertation, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya
Riwayat Rehabilitasi : Pada awal berdirinya, bangunan induk Masjid Wonokromo sangat sederhana. Serambi masjid berbentuk limasan, sedangkan bangunan masjid berbentuk tajuk dengan mustoko dari kuwali yang dibuat dari tanah liat. Semula bahan bangunannya dari bambu, dindingnya dari gedhek (anyaman bambu), dan atapnya terbuat dari welit (anyaman daun tebu, alang-alang, atau daun kelapa). Tempat wudlu semula dari padasan terletak di depan serambi masjid. Tahun 1867 M, bentuk awal Masjid Wonokromo dibongkar oleh Kyai Muhammad Fakih II diganti dengan bentuk atap tumpang. Serambi tetap berbentuk limasan. Mustoko yang semula dari kuwali di puncak atap tumpang diganti dengan mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka. Kerangka bangunan yang semula terbuat dari bambu sebagian besar diganti dengan kayu nangka dan sebagian dengan glugu. Tembok anyaman bambu diganti dengan bata yang direkatkan dengan tanah liat diplester dengan bligon (adukan aci gamping dengan tumbukan bata dan pasir). Lantainya dibuat dari bata yang ditata lalu diplester dengan adonan yang sama. Ruangan di dalam masjid di sisi kiri dan kanan ditambah bangunan untuk jamaah putri yang disebut pawestren. Tempat wudhu di depan serambi, yang semula padasan diganti dengan kolam. Air untuk mengisi kolam dialirkan dari Sungai Belik. Tahun 1958, bangunan masjid kembali direnovasi. Atap tumpang tetap dipertahankan dengan ditambah komponen gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang bagian atas dan atap tumpang bagian bawah. Bangunan serambi masjid diperluas. Kolam tempat wudu diurug/ditimbun tanah dijadikan halaman masjid. Tempat wudlu dibuat bak yang berada di sisi utara dan selatan serambi masjid. Pawestren tetap dipertahankan. Bangunan masjid diganti tembok berplester. Empat tiang utama di dalam masjid diganti dengan kayu jati. Gulu melet diberi kaca bening, sehingga suasana di dalam masjid menjadi terang. Tempat pengimaman berukuran 2 x 2 m. Di bagian depan serambi terdapat beberapa tiang dari cor beton dan di dalam serambi tiang dibuat dari balok kayu jati. Di depan serambi dibuat kuncungan. Lantai di dalam ruangan masjid maupun serambi diganti dengan tegel. Tegel di dalam masjid dibuat berwarna-warni dengan motif bunga. Tahun 1976 M, mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka, diganti dengan mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari aluminium dengan ukuran yang lebih besar. Pada tahun 1986 M, Masjid Wonokromo mendapatkan bantuan program BANPRES (bantuan presiden) sebesar Rp. 25.000.000,00. Saat itu kondisi kayu penyangga bangunan masjid sudah banyak yang lapuk karena bocor setiap kali hujan. Selain itu jumlah jamaah yang semakin bertambah banyak, terutama saat salat Jumat, maka setelah mendapatkan izin tertulis atau palilah dalem dari kraton, bangunan masjid dibongkar dan diperluas. Bangunan masjid dibangun kembali dengan konstruksi beton bertulang, dengan tidak meninggalkan arsitektur masjid Jawa Yogyakarta. Hal tersebut memenuhi dhawuh dalem agar arsitektur masjid tidak meninggalkan corak kejawaannya, seperti yang tertuang di dalam surat palilah dalem. Demikian juga dengan pemilihan cat, dipilih warna komposisi hijau, kuning, merah, dan kuning emas (prodo) karena warna-warna tersebut mengandung nilai filosofis. ??Tahun 2003 masjid ini mendapat bantuan pengembangan dari Dinas Pariwisata Yogyakarta. Dana tersebut digunakan untuk membangun gedung pertemuan di sebelah utara serambi masjid. Bak untuk wudu dibuat simetris antara bak di sebelah utara serambi masjid dan di sebelah selatan serambi masjid. Ada penambahan emper di bagian kuncungan. Pada tahun tersebut dilakukan penggalian kolam untuk menampakkan kembali kolam di sekeliling serambi. Bangunan untuk dapur disempurnakan agar dapat berfungsi sebagai tempat memasak pada saat dilaksanakan hari-hari besar Islam di Masjid Wonokromo.(Sumber: SK Bupati Bantul No.599 Tgl SK 12/31/2018 tentang Masjid Wonokromo Sebagai Bangunan Cagar Budaya)
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Alamat Pemilik : Jalan Rotowijayan No.6 Yogyakarta
Riwayat Kepemilikan : (0274) 376795
Pengelolaan
Nama Pengelola : Nurt Amardi (Takmir Masjid)
Nomer Kontak : +6281-8027-7108