Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Tokoh | : | Panembahan Senopati |
Peristiwa Sejarah | : | Bangunan masjid (termasuk keberadaan makam di halaman belakang/barat) merupakan satu kesatuan yang menjadi ciri khas kelengkapan dari komponen tata kota masa pengaruh kebudayaan Islam di Jawa yang selalu terletak di sisi barat alun-alun. Pada awalnya Bangunan Masjid Gedhe Mataram Kotagede berupa bangunan kecil, berupa langgar yang dibangun oleh Ki Pemanahan (Ki Gede Mataram) Kemudian pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, bangunan langgar tersebut dipindahkan dan dialihfungsikan sebagai bangunan cungkup (beratap tajuk) untuk makam Ki Pemanahan yang berada di sebelah barat masjid. Pada lokasi yang sama tempat berdirinya langgar didirikan bangunan masjid. Dalam Serat Babad Momana (salinan oleh KPH Suryanagara pada tahun 1865) disebutkan bahwa “masjid ageng” sebagai masjid kerajaan di ibukota Kutha Gêdhé ini waktu pendiriannya bersamaan dengan pembangunan kompleks makam yaitu pada tahun 1511 (tercantum: “1511, taun dal, adegipun masjid ageng, sareng mangun antaka-pura”). Keterangan “tahun Dal” menunjukkan tahun Jawa, namun sistem kalender tahun Jawa baru muncul pada masa Sultan Agung (dimulai pada 1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633). Jika angka 1511 tersebut dimaksudkan sebagai tahun Saka. maka berarti angka yang dimaksud adalah tahun 1589 Masehi. Disebutkan juga bahwa bangunan Cungkup Tajug sebagai salah satu bangunan cungkup di pelataran makam merupakan bagian dari komponen utama bangunan langgar yang merupakan cikal bakal bangunan Masjid Mataram Kotagede. Pada awalnya, bangunan Masjid didirikan oleh Ki Pemanahan (Ki Gede Mataram) yang saat itu berupa langgar. Kemudian pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, bangunan langgar tersebut dipindahkan dan dialihfungsikan sebagai bangunan cungkup (beratap tajuk) untuk makam yang berada di sebelah barat masjid. Di lokasi ini terdapat 9 (sembilan) prasasti, 8 (delapan) inskripsi pendek yang tiga di antaranya tidak berada di tempat, dan 5 (lima) sengkalan yang dua di antaranya tidak berada di tempat. Prasasti, inskripsi dan sengkalan tersebut berisi informasi angka tahun yang menunjukkan pendirian dan renovasi komponen-komponen bangunan di lokasi ini. Prasasti: 1) Tembok kelir halaman pertama pada permukaan sisi utara dari kayu, berisi tentang naik takhta Panembahan Senopati pada tahun 1579 M dan wafatnya pada tahun 1601 M. 2) Tembok kelir halaman pertama pada ujung sisi timur permukaan tebal tembok. Prasasti berbahan batu putih berisi tentang kenaikan takhta Penembahan Senopati dan selesainya pembangunan makam serta renovasinya. Terdapat angka tahun 1284 H, 1509 Saka (1587 M) tahun kenaikan takhta, 1528 S (1606 M) penyelesaian pembangunan makam, dan angka tahun 1796 Jawa (1867 M) renovasi makam. 3) Pada bilah kayu yang ditempelkan di belandar Bangsal Dhudha, berisi tentang pendirian bangunan bangsal ini pada 1556 Jawa (1634 M). 4) Prasasti berbahan batu, di atas ambang pintu Gapura Paduraksa menuju makam. Berisi tentang renovasi kelir serambi masjid dalam bentuk tembang Dhandanggula terdiri atas 8 baris. Terdapat angka tahun 1796 Jawa (1867 M). Prasasti semula berada di atas pintu makam, kemudian di pindah ke belakang mihrab masjid. 5) Batu marmer di depan cungkup Prabayaksa, berisi informasi penggantian batu nisan dari bahan batu hitam menjadi marmer pada tahun 1853 Jawa (1923 M). 6) Pada bilah kayu yang ditempelkan di belandar bangunan Sendang Seliran Putra di sisi selatan, berisi tentang perbaikan bangunan sendang pada tahun 1284 H (1796 Jawa/1867 M). 7) Pada bilah kayu yang ditempelkan di tiang bangunan Sendang Seliran Putri di bagian barat, berisi tentang perbaikan bangunan sendang pada tahun 1284 H/1796 Jw (1867 M). 8) Pada bilah kayu yang ditempelkan di tiang bangunan Sendang Seliran Putri di bagian timur, berisi tentang peristiwa kenaikan takhta Panembahan Senopati (angka tahun 1509 S =1587 M), selesainya pembangunan makam (angka tahun 1528 S =1606 M), dan perbaikan makam (angka tahun 1867 Jw =1869 M). 9) Pada bilah kayu yang ditempelkan di belandar Bangsal Kencur Sendang Seliran Putri, berisi tentang larangan membasuh semua barang kecuali untuk membasuh pakaian, terdapat angka tahun 1830 Jw dan 1900 M. Inskripsi 1) Pada Kelir halaman kedua (halaman Kawedanan) berisi angka tahun 1867 Jw (1936 M), saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 2) Lokasi di Sendang Seliran Putri berisi angka tahun 1858 Jw, saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 3) Pada kelir halaman kedua (halaman Kawedanan) di sisi ujung selatan tembok kelir, berisi sengkalan angka tahun 1796 Jw (1867 M). 4) Pada Gapura Paduraksa makam, berisi sengkalan angka tahun 1566 Jw (1644 M). 5) Lokasi di Sendang Seliran Putra berisi angka tahun 1284 H (1867 M), saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 6) Lokasi di Sendang Seliran Putri berisi angka tahun 1928 M, saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 7) Pada Bangsal Kawedanan utara, berisi sengkalan lamba angka tahun 1870 Jw (1939 M). 8) Pada Bangsal Kawedanan selatan, berbahan kayu hitam terdiri atas lima baris berisi tentang: (a) renovasi bangunan pada tahun 1566 Jw, (b) angka tahun 1829 Jw (1900 M), (c) angka tahun 1829 Jw dan 1900 M, (d) angka tahun 1832 Jw dan 1902 M, (e) angka tahun 1887 Jw dan 1957 M. Sengkalan 1) Pada kelir halaman kedua (halaman Kawedanan) di sisi ujung utara tembok kelir, berisi sengkalan memet gambar jambu mete, gapura, dan huruf Jawa “La” yang semuanya berada di dalam bentuk perisai, mengandung arti angka tahun 1796 Jw (1867 M). 2) Lokasi di tembok Sendang Seliran Putri berupa sengkalan memet berupa gambar pisang mas-katak-angsa-merpati yang berarti angka tahun 1796 Jw (1867 M), saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 3) Lokasi di tembok Sendang Seliran Putri berupa sengkalan memet berupa figur orang menaiki kuda yang berarti angka tahun 1796 Jw (1867 M), saat ini inskripsi tidak berada di tempat. 4) Pada tembok Sendang Seliran Putri berupa sengkalan memet berupa gambar figur orang bertutup kepala dan bersayap, dengan posisi duduk bersila, di bagian dada terdapat gambar bentuk hati yang berarti angka tahun 1752 Jw (1824 M), sengkalan ini diartikan juga sebagai angka tahun 1796 Jw. 5) Pada tembok Sendang Seliran Putri berupa sengkalan memet berupa gambar gajah bermahkota dengan daun telinga lebar dengan bentuk pelana dan ekor tergambar jelas yang berarti angka tahun 1871 Jw. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, pembangunan masjid disempurnakan dengan menambah bagian serambi. Perluasan bagian tersebut telah dikerjakan beberapa kali oleh beberapa generasi. Pada tahun 1796, dilakukan perluasan serambi oleh pihak Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1926 terdapat penambahan komponen emperan, pawudhon putra (tempat berwudu untuk laki-laki) serta penggantian bahan atap. Pagar keliling bangunan masjid ditambahkan untuk membatasi area sakral dan profan oleh Sunan Paku Buwono X berikut dengan pendirian tugu jam sebagai tugu peringatan yang berada di halaman masjid. Sebagai masjid kerajaan yang telah berdiri sejak masa awal kerajaan Mataram-Islam kepengurusan masjid dilakukan oleh abdi dalem dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai akibat peristiwa Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) tahun 1755. Situs Cagar Budaya Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak. Kerajaan Pajang sebagai kerajaan kedua setelah Demak tidak meninggalkan bangunan masjid. Nilai kesejarahan situs kompleks Masjid Gedhe Kotahede ini dapat dibuktikan dengan keberadaan sumber daya budaya yang berkaitan dengan kehidupan masa lampau, tokoh-tokoh sejarah, perkembangan penting dalam bidang tertentu atau peristiwa tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Nilai penting kesejarahan yang dimaksud antara lain: Titik Awal Berdirinya Kerajaan Mataram-Islam Secara tidak langsung kerajaan Mataram-Islam dimulai pada saat penyerahan wilayah Mataram di area hutan Mentaok oleh Sultan Pajang (raja Demak) kepada Ki Ageng Pemanahan, yang selanjutnya dikenal sebagai Ki Ageng Mataram sebagai cikal bakal dinasti Mataram-Islam. Pemberian wilayah Mataram ini sebagai hadiah atas kemenangannya dalam mengatasi pertikaian antara Sultan Pajang dengan Adipati Jipang yaitu Arya Penangsang. Kemudian Ki Ageng Pemanahan menjadi penguasa (tidak mendeklarasikan diri sebagai raja) atas tanah kewenangannya ini dan membuka permukiman baru. Pada akhir abad ke-16 M keturunan Ki Ageng Pemanahan sebagai penerus penguasa di Kota Gede yaitu Senopati (1584–1601) memperoleh hak takhta kerajaan Pajang dari Sultan Benawa pada tahun 1587. Peristiwa ini menandai beralihnya hegemoni Pajang kepada Panembahan Senopati serta beralihnya pusat pemerintahan sepenuhnya ke wilayah huniannya di Mataram yang dikenal dengan nama Kota Gede. Kerajaan ini dinamakan Mataram-Islam karena untuk membedakannya dengan kerajaan Mataram sebelumnya yang berada di kawasan ini yang ditandai dengan banyaknya sebaran tinggalan situs candi. Selama kerajaan Mataram-Islam berkuasa sekitar 170 tahun, kerajaan ini mengalami pergantian kekuasaan di bawah 10 orang penguasa (Adrisijanti, 1997: 49). Kotagede sebagai ibukota kerajaan Mataram-Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Sultan Agung, cucu dan pengganti kedua dari Panembahan Senopati. Para pendiri kerajaan Mataram-Islam dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kotagede. Cikal Bakal Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta Kota Gede menjadi awal dari rangkaian lokasi ibukota kerajaan Mataram-Islam yang diawali pemindahan ibukota dari Kota Gede ke Kerta pada tahun 1618 oleh Sultan Agung. Ibukota di Kerta kemudian berpindah ke Plered pada tahun 1648 masa Amangkurat I. Pada tahun 1677 ibukota di Plered berpindah ke Kartasura masa Amangkurat II. Berikutnya pada tahun 1745 ibukota di Kartasura berpindah ke Surakarta oleh Paku Buwana II. Kemudian peristiwa perjanjian Giyanti tahun 1755, kerajaan Mataram-Islam dipecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kawasan yang merupakan cikal bakal leluhur dari raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, kawasan Kota gede memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Di kawasan ini pula bersemayam leluhur raja-raja yang dimakamkan di kompleks permakaman di belakang masjid Gedhe Kotagede . Konsep Tata Ruang pada Masa Kerajaan Islam di Jawa Kota Gede sebagai ibukota kerajaan meneruskan tradisi tata ruang perkotaan kerajaan di Jawa yang khas yaitu hubungan keletakan antar elemen kota yaitu keberadaan ruang terbuka untuk publik (alun-alun) yang dikelilingi Pusat pemerintahan (keraton/istana) di sisi selatan, pusat peribadatan (masjid agung) di sisi barat, dan pasar di sisi utara. Situs Cagar Budaya Kompleks Masjid Kotagede merupakan satu-satunya komponen tata kota ini yang masih utuh, berfungsi, dan terpelihara dengan baik lebih dari 3,5 abad. |
Konteks | : |
Riwayat Pemugaran | : | 1) Tahun 1796 perluasan serambi bagian sisi timur oleh Kasunanan Surakarta. 2) Tahun 1867 perbaikan pasca kerusakan akibat letusan gunung merapi. 3) Tahun 1926 penggantian bahan atap dari sirap menjadi genting oleh organisasi Muhammadiyah pasca kerusakan akibat peristiwa kebakaran pada tahun 1919. 4) Tahun 1926 pembangunan tugu dan pagar masjid oleh Paku Buwono X. 5) Tahun 1995 pembuatan lengkung atas dari logam oleh takmir masjid pada setiap jalan masuk ke serambi dari pelataran melewati kolam depan dan samping serambi. 6) Tahun 1997 pemasangan lantai teraso pada ruang utama (liwan) masjid. |
Riwayat Rehabilitasi | : | 1) Tahun 2002 rehabilitasi oleh Dinas Kebudayaan DIY, meliputi: penggantian lantai dari bahan teraso menjadi marmer untuk ruangan induk (liwan), pawestren, serambi, emper serambi dan bagian kuncungan, bangsal kanan dan bangsal kiri, serta pelapisan dinding dan dasar parit/kolam dengan bahan terakota, penggantian dinding dan alas bak wudu bagian putra, dan perbaikan gapura, dinding pagar masjid. 2) Kegiatan rehabilitasi dilakukan juga penggantian lantai teraso menjadi marmer pada Bangsal Pecaosan utara dan selatan, serta penambahan beberapa bangunan baru seperti ruang takmir di sebelah utara pawudlon (tempat berwudu) laki-laki, bangunan gudang dan kamar mandi di sebelah selatan bangunan masjid, ground tank di bawah tanah untuk fasilitas pemadam kebakaran, dan ruang genset (mesin generator listrik) di sebelah utara masjid. Selain itu, dilakukan penggantian atap genting kodok menjadi berbahan metal aluminium pada bangunan utama, pawestren, serambi utara, serambi dan emper serambi, serta bangsal kanan dan kiri. 3) Tahun 2003 penambahan menara pengeras suara oleh Dinas Kebudayaan DIY. 4) Tahun 2004 Perbaikan bangunan masjid beserta bangsal-bangsal di kompleks masjid dan makam,? 5) Tahun 2007 rehabilitasi dan konsolidasi bangunan pasca kerusakan gempa 27 Mei 2006 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. 6) Tahun 2015 rehabilitasi pada bangunan utama, pawestren, gudang sisi selatan masjid dan emper kiwo, pawudhon putra, kantor sekretariat masjid oleh Dinas Kebudayaan DIY. |
Nilai Budaya | : | Situs Cagar Budaya Kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede sebagai satu-satunya tinggalan budaya materi kerajaan Mataram-Islam periode ibukota di Kutha Gêdhé merupakan masjid kerajaan yang pertama di Mataram-Islam sekaligus masjid kerajaan tertua kedua di Indonesia setelah masjid Kerajaan Demak. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat |
Alamat Pemilik | : | Jl. Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyaka |
Nama Pengelola | : | Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningr |