Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Peristiwa Sejarah | : | Setelah Sultan Agung wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mataram Islam bergeser kepada putranya, yaitu Amangkurat I atau dikenal pula dengan sebutan Amangkurat Agung. Amangkurat I menjadi naik takhta dengan gelar Susuhunan Mangkurat Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidinpanatagama. Pada masa pemerintahannya, ibu kota kerajaan yang semula berada di Kerta, dipindah ke Plered.Ketika Sultan Agung masih tinggal di Kerto, Plered merupakan calon ibu kota Kerajaan Mataram Islam yang telah direncanakannya. Pembangunan calon ibukota tersebut mengerahkan rakyat dari berbagai desa yang berada di bawah kekuasaan Mataram Islam untuk membuat bata merah. Batu bata disiapkan sebagai untuk pembangunan penting di Kerto dan Plered. Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1646 M, Kekuasaan beralih kepada Amangkurat I yang memerintah Mataram Islam pada tahun 1646 hingga 1677 M. Berdasarkan serat Babad Momana, Amangkurat I memerintahkan untuk memindahkan ibu kota Mataram Islam dari Kerto menuju Plered. Perintah pemindahan terjadi pada tahun tahun 1570 J atau 1648 M. Babad Ing Sangkala mencatat bahwa perpindahan ibu kota kerajaan ke Plered berlangsung pada tahun 1647. Sumber tertulis dari Jawa dan Belanda menyebutkan bahwa pembangunan Keraton Plered berlangsung secara berangsur-angsur pada jangka waktu yang tidak singkat. Dalam catatan Van Goens disebut bahwa Keraton Plered telah berdiri pada tahun 1648. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan mengenai perpindahan kraton dari Kerto ke Plered, bahwa Amangkurat I memerintahkan rakyatnya mencetak bata untuk keperluan pembangunan Kraton Plered.Amangkurat I juga memerintahkan pembangunan benteng keliling kraton, kemudian membangun Masjid Agung, dan memperluas Krapyak Wetan. Dalam Babad Sengkala dan Babad Momana disebutkan bahwa Masjid Agung Plered didirikan tahun 1571 Jawa atau tahun 1649. Proses pembangunan Siti Inggil yang terbuat dari batu, bata, dan kayu, serta memperbarui Bangsal Witana berlangsung pada tahun 1572–1574 Jawa atau tahun 1650-1651. Pengambilan batu untuk keradenan atau kediaman putera mahkota berlangsung pada tahun 1576 Jawa atau tahun 1653. Berdasarkan Babad Momana, bangunan prabayeksa selesai dibangun pada tahun 1572 Jawa atau tahun 1650, tetapi dalam Babad Sengkala disebut pembangunan tersebut selesai pada tahun 1577 Jawa atau tahun 1654. Dalam Daghregister (13 November 1659) disebutkan bahwa tinggi tembok keraton berukuran 5 depa dengan ketebalan 2 depa, kemudian Amangurat I minaikkan ketinggiannya hingga setinggi sebuah perisai atau kira-kira setinggi dada. Bangsal di Srimanganti didirikan pada tahun 1662 atau 1585 Jawa.Selain pembangunan yang tersebut di atas, berbagai sumber tertulis menyebutkan bahwa di Plered juga dibangun infrastruktur keairan, terutama di Keraton Plered. Satu di antara fasilitas keairan adalah bendungan dan danau buatan. Sungai-sungai yang mengitari Keraton Plered dibendung, yaitu Sungai Opak, Sungai Winanga, dan Sungai Gajahwong. Amangkurat I berkehendak memiliki bangunan indah di atas air.Selain bangunan-bangunan di atas, Amangkurat I juga mendirikan bangunan-bangunan air di dalam maupun di luar keraton. Amangkurat I ingin memiliki keraton yang berada di atas danau atau (segara). Tercatat dalam Babad Sengkala, pada tahun 1565 Jawa atau tahun 1643, ketika Sultan Agung masih bertakhta, Amangkurat I membuat sebuah danau buatan. Dalam Babad Momanadisebutkan bahwa pembangunan danau tersebut berlanjut pada tahun 1574 Jawa atau tahun 1651. Pada tahun 1659 M dibangun bendungan di sisi selatan dan timur. Pembangunan kemudian diperluas ke sebelah timur alun-alun. Dua tahun berikutnya air yang mengalir bukan hanya dari selatan dan timur, tetapi juga dari utara dan barat. Rakyat Mataram Islam setempat, rakyat pesisiran, rakyat mancanegara dan para prajurit turut serta dalam pembangunan infrastruktur keairan tersebut (Ricklefs, 1978: 71-72). Pembangunan terus berlanjut hingga makam Ratu Malang di Gunung Kelir selesai dibuat pada tahun 1668 (Adrisijanti, 2000: 63).Mataram Islam era Plered runtuh ketika kerajaan tersebut diserang oleh Trunojoyo, seorang bangsawan yang berasal dari Madura. Amangkurat I meninggalkan Plered pada tanggal 28 juni 1677 M. Beliau wafat dalam perjalanannya, kemudian dimakamkan di Tegal Arum. Sepeninggal Amangkurat I, penggantinya, yaitu Amangkurat II berhasil mengambil alih Plered dengan bantuan VOC. Selanjutnya Ibu kota kerajaan dipindah ke Kartasura. Perpindahan ibu kota dari Plered ke Kartasura menandai akhir era Mataram Islam di Plered. Setelah itu, Kraton Plered tidak berfungsi lagi. Pada tahun 1680 M merupakan awal Plered ditinggalkan dan tidak lagi berfungsi sebagai ibukota Mataram Islam.Selanjutnya, pada masa perang Diponegoro, tepatnya pada tahun 1816 bekas benteng Keraton Plered dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan oleh pasukan Diponegoro setelah wilayah Dekso di Kulonprogo diserbu Belanda. Periode setelahnya, yaitu pada masa Kolonial Belanda, bekas-bekas bangunan di Plered diambil batanya untuk membangun pabrik gula Kedaton Plered. Bangunan-bangunan di bekas ibu kota Mataram Islam yang didominasi bata dan batu putih digunakan untuk membangun pabrik gula. Kerusakan Bekas Ibu Kota Mataram Islam era Amangkurat I semakin parah ketika berkembangnya pembangunan dan permukiman di sekitar Plered. Pembangunan terjadi pasca 1940-an menggunakan komponen sisa-sisa bangunan benteng dan Kraton Plered berupa bata yang kemudian dihancurkan untuk digunakan sebagai semen merah. Situs Cagar Budaya Kedaton-Plered berada dalam satuan ruang geografis Kerta-Plered. Status Kawasan Kerta-Plered sebagai Cagar Budaya telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 211/KEP/2019. Saat ini, Situs Kedaton-Plered, dibagi ke dalam empat sektor. Dalam penyebutan selanjutnya situs-situs tersebut lebih dikenal dengan nama Kedaton I, Kedaton II, Kedaton II, dan Kedaton IV. Berdasarkan kegiatan survei kepurbakalaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional tahun 1976, indikasi tinggalan dari keraton Plered adalah susunan bata yang diyakini sebagai bagian dari bangsal manis. Selain itu, dikenal pula Sumur Gumuling. Sumur Gumuling berdiameter 1 m dengan tembok bata berukuran 2 x 2 m yang mengelilinginya. Sumur tersebut berfungsi sebagai sumber air untuk melakukan pencucian pusaka keraton. Adapun benteng sisi timur Kedaton Plered yang kondisinya sudah tidak terselamatkan. Bata merah penyusun benteng diambil untuk ditumbuk dan dijadikan bahan baku pembuatan semen. Benteng sisi selatan masih tersisa, namun sebagian strukturnya berada di bawah permukaan jalan desa (Nurhadi & Armeini, 1978, hal. 9). Penelitian tinggalan Kedaton-Plered tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Serangkaian ekskavasi untuk melacak keutuhan Kedaton-Plered telah dilakukan sejak tahun 1985, kemudian 2008, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015, 2019, 2022, dan 2023. Sebelum tahun 2019, tidak ada penyebutan Situs Kedaton-Plered dengan penomoran sektor. Sebagai hasil ekskavasi dari tahun ke tahun, Situs Kedaton-Plered dapat diidentifikasi menjadi Bangsal Sri Manganti (Situs Kedaton I), temuan saluran air (Situs Kedaton II), banteng/cepuri sisi timur (Kedaton III), dan benteng/cepuri sisi barat (Kedaton IV). Keberadaan benteng sisi barat telah diduga sejak penelitian tahun 1976. Berikutnya, serangkaian penelitian terus dilakukan pada tahun 1985, 2008, 2011, dan 2013. Selain benteng sisi barat, keberadaan benteng sisi timur Kedaton-Plered turut diteliti sejak tahun 2008. Kegiatan ekskavasi pada tahun 2010dan 20127 berturut turut mengungkap adanya bagian dari saluran air dan tembok pagar dalam (cepuri) dari Bangsal Sri Manganti atau bangunan keben keraton Plered (Riko P & Priswanto, 2013; Alifah & Priswanto, 2012) |
Nilai Sejarah | : | Sebagai adanya benteng sisi barat Kraton Plered yang didirikan oleh Amangkurat I pada tahun 1648. |
Nilai Ilmu Pengetahuan | : | Diketahui teknik pembangunan benteng untuk pertahanan pada masa pemerintahan Amangkurat I. Selain itu diketahui saluran drainase benteng Keraton Mataram Islam |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Dinas Kebudayaan DIY |