Keterawatan | : | / |
Dimensi Benda | : |
Panjang - Lebar - Tinggi - Tebal - Diameter - Berat - |
Peristiwa Sejarah | : | A. Sejarah Wayang Beber Wayang menurut JLA. Brandes merupakan salah satu dari sepuluh unsur kebudayaan asli Nusantara. Istilah wayang seperti yang dijelaskan oleh Edy Sedyawati dalam buku Sejarah Kebudayaan Indonesia memiliki arti bayangan atau diasosiakan sebagai pertunjukan bayangan. Indonesia dikenal memiliki berbagai jeniswayang, diantaranya wayang kulit, wayang golek, danwayang beber. Pertunjukan wayang paling kuno yang tertulis di dalam prasasti berasal dari era Balitung yakni pada abad IV Masehi, atau pada masa Mataram Kuno. Pada era kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit wayang menjadi simbol kebudayaan kerajaan. Dalam penampilan seni wayang, cerita yang dibawakan seringkali mengisahkan kepahlanwanan atau epos Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari India. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum epos Mahabarata dan Ramayana masuk ke Nusantara, nenek moyang Bangsa Indonesia sudah memiliki epos sendiri yaitu Cerita Panji atau Inu Kertapati. Epos Panji mengisahkan perjalanan hidup sepasang kekasih yaitu Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji Galuhcandrakirana. Panji sebagai tokoh utama dalam epos asli Nusantara ini memiliki peran yang besar dalam perkembangan sastraJawa Kuno dan dapat dibuktikan dengan perwujudan tokoh tersebut di tujuh buah candi dari era Majapahit. Ke tujuh buah candi yang dimaksud seluruhnya berasal dari abad ke-XV Masehi. Menurut Agus Aris Munandar – arkeolog dari Universitas Indonesia, identifikasi tokoh Panji pada relief ketujuh candi di atas dapat dikenali pada bagian penutup kepala tokoh laki-laki yang memakai tekes atau penutup kepala tanpa tonjolan di belakang seperti blangkon. Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan peneliti Epos Panji yang bernama Dr. Lydia Kieven. Beliau adalah dosen dari University of Bonn Jerman. Dalam kunjungannya ke Candi Kendalisada yang terletak di lereng Gunung Penanggungan pada tahun 1996, beliau tarpukau dengan keindahan reliefyang menggambarkan tokoh bertopi atau tekes. Candi Kendalisada merupakan candi yang dibangun sekitar tahun 1450 Masehi. Relief yang terdapat pada candi tersebut, menggambarkan tentang laki-laki bertopi dengan seorang wanita. Dr. Lydia Kievan meyakini bahwa tokoh bertopi tersebut adalah Panji Asmorobangun dan tokoh perempuannya adalah Dewi Sekartaji Galuh candrakirana. Kisah Panji terpahat dengan indah di empat buah panel Candi Kandalisada. Candi Kendalisada merupakan candi berteras di pegunungan yang digunakan sebagai tempat pertapaan. Epos Panji Asmorobangun dan dewi Sekartaji semula menyebar dalam kehidupan masyarakat Nusantara kuno melalui cerita dari mulut ke mulut. Karena pengaruh Majapahit yang kuat pada masa itu, epos cerita Panji menyebar hingga ke Asia Tenggara, dan menginspirasi cerita rakyat hingga ke Vietnam. Pada masa Mataram Islam, epos cerita Panji dipertunjukkan dengan menggunakan media wayang beber sebagai media. Hal tersebut berbeda dengan kisah Ramayana dan Mahabarata yang dipertunjukkan dalam wayang kulit. Wayang beber menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah wayang berupa lukisan yang dibuat pada kertas gulung, berisikan cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang, dimainkan dengan cara membeberkannya. Gulungan kertas dalam wayang beber biasa disebut dluwang atau daluang. Beberan Daluang dalam wayang beber umumnya memiliki ukuran panjang antara 300cm sampai 400 cm dan lebar 70 cm. Untuk setiap gulungan, terdapat empat adegan atau jagong. Daluang merupakan kertas asli tradisonal yang dibuat dari kulit pohon glugu atau dalam bahasa latin dinamakan Papermulberry Broussonetia papyryfea Ven disingkat mulbery. Pohon ini serupa dengan pohon murbey - dalam masyarakat Jawa atau pohon waru / saeh - dalam masyarakat Sunda. Bahkan dalam masyarakat Sunda masih dikenal istilah pembuat daluang yang disebut sebagai tukang saeh. Dari sisi kualitas, kertas daluang diakui memiliki ketahanan yang sangat bagus dikarenakan serat kulit kayunya yang sangat kuat. Selain digunakan sebagai media wayang beber, daluang juga diketahui sudah digunakan sebagai bahan untuk menulis kitab-kitab kuno termasuk salah satu diantaranya adalah Al-qur’an. Maka tidak mengherankan jika dahulu pohon glugu banyak ditanam di sekitar halaman Pesantren. Terbukti banyak naskah kuno berbahan daluang masih awet hingga saat ini. Salah satu daerah di Indonesia yang terkenal akan produksi daluang adalah desa Tegalsari Kabupaten Ponorogo. Pada tahun 1940 – 1950 produksi daluang Tegalsari mengalami puncak keemasannya. Namun pasca tahun 1960 produksi daluang terdesak oleh hadirnya kertas modern. Produksi kertas daluang yang menggunakan cara tradisional tidak mampu bersaing dengan produksi kertas modern yang terjangkau harganya. Produksi daluang Tegalsari dapat dikatakan mati sejak tahun 1960. Tidak diketahui dengan pasti, awal mula diciptakannya wayang beber. Namun para ahli sejarah memperkirakan bahwa awal terciptanya wayang beber terjadi pada sekitar Abad ke-XIII. Pertunjukan wayang beber kemudian populer di masyarakat Nusantara dalam kurun waktu yang lama yaitu dari periode Majapahit (1293 – 1527) hingga Mataram Islam di Kartasura (1680 – 1745). Berdasarkan catatan sejarah, bukti keberadaan wayang beber pertama kali disampaikan dalam berita Cina yang berasal dari awal abad ke-XV. Isi berita Cina tersebut menyebutkan : bahwa di pesisir Pulau Jawa berkembang pertunjukan gulungan kertas bergambar yang dilakukan oleh seorang pendongeng. Secara rinci pertunjukan tersebut diilustrasikan sebagai berikut : 1. Di Jawa terdapat seorang manusia yang lukisan di atas sejumlah kertas yang digulung, kedua sisinya terdapat stick setinggi tiga chi atau sekitar satu meter, yang diangkat oleh pendongeng. Orang tersebut duduk bersila membelakangi penonton. 2. Pendongeng membakar kemenyan kemudian membuka kotak dan mengambil tiap gulungan sesuai dengan kronologi. Pendongeng lalu membeberkan gulungan kertasnynya dalam posisi berdiri dengan kedua tiang kayu penggulung menancap pada sebuah benda. 3. Pendongeng lalu menuturkan cerita dengan suara yang keras menggunakan bahasa Jawa Kuno sesuai dengan gambar supaya para penoton memahami jalannya cerita. 4. Dalam menyampaikan cerita, pendongeng tersebut berkespresi sesuai dengan jalan cerita seperti tertawa, menangis, dan sebagainya. Berdasarkan berita Cina di atas maka dapat diidentifikasi bahwa yang dimaksud dengan pertunjukan lukisan kertas yang digulung adalah wayang beber. Sementara istilah pendongeng menunjuk pada dalang wayang beber. Informasi ini cukup menjadi bukti bahwa wayang beber sudah populer pada abad ke-XV atau pada masa berkuasanya kerajaan Majapahit (1293 – 1527). Pada masa Mataram Islam, budaya pertunjukan wayang beber mengalami adaptasi konten penyajiannya dikarenakan akulturasi nilai-nilai Agama Islam dengan budaya yang telah eksis sebelumnya. Meskipun demikian dari sisi pementasan, wayang beber tetaplah sama. Perubahan paling nyata terdapat pada penghapusan gambar dan tokoh yang tidak relevan dengan budaya Islam. Gaya melukis yang menampilkan visualisasi bercorak budaya Hindu yang semula memenuhi dekorasi wayang beber mulai dihilangkan, Sebagai contohnya adalah gambar binatang. Diperkirakan pada kurun waktu inilah muncul untuk pertama kalinya wayang beber yang menampilkan cerita Panji. Wayang beber dengan cerita Panji tumbuh berkembang hingga pada Masa Kerajaan Mataram Islam beribukota di Kartasura (1680 – 1745). Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika terjadi kekacauan di Keraton Kartasura yang diakibatkan oleh Geger Pecinan (1742) terdapat sejumlah gulungan wayang beber yang dilarikan ke Pacitan dan Gelaran.Dan semenjak kejadian ini, pentas wayang beber di Pulau Jawa mengalami kemunduran bahkan nyaris punah. Hingga hari ini di seluruh dunia tinggal menyisakan tiga buah wayang beber tertua dari Jawa, yaitu Wayang Beber Joko Kembang Kuning di Desa Gedompol Pacitan, Wayang Beber Remeng Mangunjaya dari Padukuhan Gelaran 2 Bejiharjo Gunungkidul, dan Wayang Beber yang berada di Leiden Belanda. B. Sejarah Pelestarian Wayang Beber Sejak jaman dahulu wayang beber di Jawa telah menarik perhatian orang asing. Berawal dari abad ke-XV, dalam perjalanan ekspedisi Cheng Ho yang legendaris, terdapat seorang sarjana Cina yang menjadi penterjemah bernama Ma Huan. Ma Huan yang mengikuti Ekspedisi Cheng Ho di Nusantara, mencatat seluruh hasil perjalanan tersebut yang di kemudian hari diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul The Overall Survey of The Oceans Shores(1433). Ma Huan dalam buku tersebut menjelaskan rasa tertariknya dengan sebuah pertunjukan lukisan kertas bergulung oleh seorang pendongeng yang menurutnya mirip dengan di Cina. Berdasarkan catatan Ma Huan, pertunjukan tersebut berlangsung di Pulau Jawa dan terjadi pada tahun 1413. Meskipun Ma Huan tidak menyebut nama pertunjukan tersebut, namun beliau melaporkan kejadian itu dengan sangat rinci. Sehingga dapat dipastikan bahwa pertenjukuan tersebut adalahwayang beber. Berita dari Cina ini sesungguhnya merupakan data otentik yang sangat penting dalam menelusuri riwayat pelestarian wayang beber di kemudian hari. Karena hingga sejauh ini tidak ditemukan lagi informasi lain yang lebih tua dari berita Cina di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setidaknya enam ratus tahun yang lalu wayang beber sudah eksis di Jawa. Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial rupanya menaruh minat yang besar terhadap wayang beber. Hal itu terbukti dengan ditemukannya sejumlah gulungan wayang beber dari Jawa yang saat ini masih disimpan di negeri tersebut. Pada tahun 2018 dua orang antropolog dari Kroasia yang bernama Tea Skrinjaric dan Marina Pretkovic berhasil mengidentifikasi wayang beber yang terdapat di National Ethnographic Museum Leiden. Kedua ilmuwan ini sangat tertarik untuk meneliti wayang beber. Bahkan dua tahun sebelum mengunjungi Leiden tepatnya pada tahun 2016, keduanya telah mengunjungi lokasi penyimpanan wayang beber di Gelaran Gunungkidul dan Kedompol Pacitan. Hasil investigasi Tea dan Marina terhadap wayang beber dari Leiden dapat dirangkum sebagai berikut :1. Wayang beber dari Jawa sudah berada di Belanda antara tahun 1846 - 1847. Benda tersebut diketahui pernah dijual kepada Museum of Antiquities Leiden lalu pindah lagi ke Royal Cabinet of Rarities di Hague pada tahun 1852 sebelum akhirnya dipindahkan ke National Ethnographic Museum di Leiden sejak tahun 1883. 2. Wayang beber merupakan satu set yang terdiri dari enam gulungan dengan jumlah 24 jagong atau adegan. Cerita yang ditampilkan dalam gulungan tersebut menggambarkan kisah panji yang belum diketahui jalan ceritanya secara pasti. 3. Wayang beber dilukis dengan tangan dan memiliki ukuran rata-rata : panjang 300 cm x tinggi 70 cm. Komposisi warna dan gaya lukisannya mirip dengan wayang beber dari Gelaran, yaitu memiliki garis pada bagian atas dan bawah dengan bentuk gambar seperti gambar yang belum selesai. Meskipun banyak tokoh yang mudah dikenali karakternya, tetap saja ada beberapa karakter yang belum diketahui identitasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada awal abad ke-XIX Pemerintah Kolonial Belanda memiliki ketertarikan dengan wayang beber dan berupaya “menyelamatkan” benda tersebut. Meskipun tidak diketahui asal usul wayang beber Leiden di atas, namun berdasarkan kesamaan bentuk, bahan, gaya menggambar, dan ukurannya maka diduga wayang beber Leiden dan Gelaran dibuat oleh orang yang sama. Pada periode sesudah “penyelamatan” wayang beber di Leiden, tepatnya pada tahun 1880 ditemukan dua fotoyang menunjukkan empat buah gulungan wayang beber dari Pacitan, hasil jepretan Fotografer Belanda yang bernama Kurkdjian Ohannes (1851 – 1903). Sayang sekali tidak banyak informasi yang bisa digali dari foto milik KITLV bernomor 3958 dan 3959 tersebut. Berdasarkan perbandingan desain gambar yang dilukisoleh penciptanya bisa diketahui bahwa wayang beber Pacitan memiliki ornamen yang lebih kaya dibandingkan wayang beber Gelaran dan wayang beber Leiden. Secara umum kondisi wayang beber Pacitan berada dalam tingkat kerusakan yang lebih parah. Pada awal abad ke-XX ditemukan lagi empat foto koleksi KITLV bernomor 3953, 3954, 3955, dan 3956, yang mengabadikan peristiwa pertunjukan wayang beber. Keempat foto ini cukup menarik, karena terdapat caption di bawah foto yang menjadi informasi berharga dikemudian hari. Penjelasan atas keempat foto tersebut adalah sebagai berikut : - Foto 3953 Menunjukkan seorang dalang yang sedang mbeber gulungan wayang, disaksikan oleh satu orang berkebangsaan Belanda dan satu laki-laki berpakaianJawa. Disekeliling mereka terdapat penonton pertunjukan yang terdiri atas anak-anak dan orang dewasa. Semua orang tersebut duduk bersila, sebagian di atas lantai sebagian di atas tikar. Dalang wayang tersebut adalah Ki Gunakarya dari Gelaran Gunungkidul. Orang Belanda dalam foto ini adalah DR. GAJ, Hazeu – seorang Dosen Universitas Leiden yang tertarik dengan Sastra Jawa. Seorang laki-laki yang bersebelahan dengan DR. GAJ, Hazeu adalah dr. Wahidin Sudirohusodo (1852 – 1917). - Foto 3954 Menunjukkan sebuah wayang beber yang dibeber secara utuh. Berbeda dengan tiga foto yang lain, latar belakang pada foto ini menunjukkan posisi wayang tanpa manusia. Pada bagian depan wayang terdapat sesajen atau uba rampe yang diadakan pada saat menggelar wayang. Tampak berbagai jenis makanan yangdisiapkan disini beserta sebuah tempat yang digunakan untuk menyalakan dupa. - Foto 3955 Menunjukkan dr, Wahidin Sudirohusodo yang sedang mengamati atau mungkin sedang mengadakan pembicaraan dengan Ki Gunakarya. Sang dalang tidak memegang gulungan wayang, sementara di sebelah kanan dalang terdapat setumpuk gulungan wayang beber. Di foto ini juga terlihat berbagai jenis masakan sebagai sesajen wayang. Hal yang paling menarik di sini adalah : tampak sejumlah bulu merak yang diletakkan di dalam kotak penyimpan wayang. - Foto 3956 Foto ini sangat ikonik karena dr Wahidin tampak sedang duduk menghadap kamera, sementara dalang sedang memainkan wayang beber. Dari foto ini terlihat gaya sang dalang yang sedang memainkan Wayang Beber Remeng Mangunjaya adegan 15 (gulungan ke4). Foto ini menjadi alat bukti sejarah bahwa dalam pertunjukan ini sang dalang sedang menggunakan benda yang sama dengan wayang beber yang saat ini masih tersimpan di rumah Wisto Utomo. Seluruh foto merupakan jepretan dari fotografer Indonesia keturunan Belanda yang bernama Kessian Chepas (1845 – 1912). Pertunjukan di atas terjadi pada tahun 1902 di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo yang berlokasi di Yogykarta. Selain menjadi alat bukti keaslian wayang beber Gelaran, foto ini juga menunjukkan upaya pelestarian wayang beber yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hal ini dilakukan oleh DR. GAJ. Hazeu. Pada masa pasca kemerdekaan upaya untuk melestarikan wayang beber terus dilakukan di berbagai daerah seperti di Pacitan, Yogyakarta, dan Malang. Banyak bermunculan komunitas pecinta wayang beber dan pelestari cerita Panji. Pada periode tahun 1980 hingga hari ini wayang beber mendapatkan perhatian dari sejumlah peneliti yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri. Mereka melakukan kajian dari berbagai disiplin ilmu diantaranya adalah bahasa, sastra, antropologi, etnoarkeologi, seni pertunjukan, hingga teknologi kertas daluang sebagai media gambar. Keawetan kertas daluang sebagai bahan utama wayang beber, telah menarik minat dua orang pelestari budaya untuk meneliti kemudian membudidayakan pohon gelugu atau mulbery. Mereka adalah Mufid Saruri dari Bandung Jawa Barat dan Indra dari Bambanglipuro Bantul Yogyakarta. Setelahupaya konservasi kertas daluang berhasil dilakukan, maka sejak tahun 2015 hasil produksinya bisa ditemukan lagi di pasaran. Pada tahun 2016 kertas daluang juga telah ditetapkan sebagai produk asli hasil kreasi budaya lokal dengan nomor penetapan 153977/MPK.A/DO/2014 oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Atas upaya tersebut di atas Sustainability naskah kuno dan wayang beber dalam kegiatan konservasi benda cagar budaya berbahan kertas lebihterakomodasi. Pada tahun 2017 Cerita Panji secara resmi telah ditetapkan sebagai Memory of The World (MoW) oleh United Nations Educational, Scientific and CulturalOrganisations atau UNESCO. Cerita Panji yang merupakan cerita asli dari Jawa Timur menjadi karyasastra yang diakui dunia dan mempengaruhi berbagai negara di Asia Tenggara. Pengakuan ini menjadi prestasi yang membanggakan bagi Bangsa Indonesia. Dengan demikian, wayang beber yang notabene merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari epos Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji Galuhcandrakirana akan tetap lestari. Berdasarkan wawancara dengan Wisto Utomo yang berlangsung pada bulan Januari tahun 2024, diperoleh keterangan bahwa Wayang Beber Remeng Mangunjaya selama ini disimpan dan dirawat dengan baik karena merupakan benda yang dikeramatkan. Oleh pihak pewaris, wayang beber diupayakan untuk tidak rusak dengan cara meletakkan bulu-bulu merak di dalam kotak wayang beber. Upaya yang dilakukan secara tradisional tersebut telah dilakukan secara terus menerus dan merupakan pengetahuan yang diturunkan dari leluhur keluarga. Dengan meletakkan bulu merak diantara gulungan wayang, maka daluang terlindung dari serangan serangga pemakan kertas. Cara kerjanya adalah : dengan adanya bulu merak maka serangga akan menyerang bulu merak daripada daluangnya. Demikian penjelasan dari Wisto Utomo. |
Nilai Sejarah | : | Wayang beber pernah populer di masyarakat Jawa di masa lalu. Dari sisi kebendaan, wayang beber mengandung nilai kearifan lokal yaitu material daluang yang berguna bagi ilmu pengetahuan. Cerita Panji sebagai tokoh utama wayang beber merupakan epos protagonis yang menginspirasi kehidupan |
Nilai Budaya | : | Wayang Beber Remeng Mangunjaya merupakan hasil budaya asli bangsa Indonesia yang didalamnya terdapat kearifan lokal yang menjadi kebanggaan Bangsa. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Milik perseorangan |
Nama Pengelola | : | Sanggar Seni Remeng Mangunjaya |
Catatan Khusus | : | Wayang Beber Remeng Mangunjaya menjadi benda pusaka keluarga dan sangat dikeramatkan. Benda disimpan dengan baik oleh pewarisnya. Ukuran:Panjang Daluang : 334 cmLebar Daluang : 70 cmTinggi Garis Tepi : 48 cmTinggi Rotan : 92 cm |