| Peristiwa Sejarah |
: |
Sejarah Pelestarian Arca Kegiatan pelestarian benda purbakala di Kalurahan Pacarejo untuk pertamakalinya dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY tahun 1985 dalam bentuk sosialisasi dan dilanjutkan dengan pendataan temuan kepurbakalaan di tahun selanjutnya. Khusus di Kalurahan Pacarejo dilaporkamn adanya temuan sepuluh kepurbakalaan yang terdiri dari sembilan barang bergerak dan satu barang tidak bergerak yaitu Candi Dengok dengan kode Inventaris D.108. Temuan arca penting yang terdapat di Candi pada saat itu, tercatat Arca Nandi D.108, Arca Dewi D111, dan Arca Ganesha D.110. Ketiga arca dilaporkan ditemukan dlam keadaan yang relatif utuh. Temuan yang lain berupa fragmen arca D.112, D.113, D.114, dan D115, Dalam kegiatan Her-Inventarisasi tahun 2009 sayang sekali ketiga arca yang relatif utuh tidak ditemukan kembali. Berdasarkan wawancara yang diadakan oleh TACB Gunungkidul denga tiga orang narasumber di lokasi dapat diketahui bahwa pada tahun 2000 terdapat sejumlah orang yang mengakui dari pelestarian yang mencuri ketiga arca tersebut. Namun ketika dilacak dengan melibatkan aparat kepolisisan, ketiga arca tersebut tidak diketemukan hingga sekarang. Dalam kegiatan Her-Inventarsisasi tahun 2009 dilaporkan temuan baru berupa fragmen arca D.109a, Lingga Patok D.109b, dan batu kemuncak candi D.109b. Benda-benda tersebut sejauh ini masih bisa ditemukan di sisi tenggara reruntuhan Candi Dengok. |
| Konteks |
: |
Sejarah Candi Dengok Budaya India yang diwakili oleh keberadaan agama Hindu dan ajaran Buddha telah memberikan dampak dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa lalu. Rentang waktu mulai dari abad ke VI hingga XV Masehi dianggap sebagai masa perkembangan budaya India (Hindu-Buddha) yang melahirkan berbagai kerajaan besar Nusantara. Di wilayah Jawa Tengah, peradaban yang besar diwakili oleh kejayaan Dinasti Syailendra dan keturunannya memimpin kerajaan yang disebut sebagai Mataram. Istilah kerajaan Mataram secara otentik baru muncul setelah Sanjaya menyatakan diri berkuasa dengan menyebut dirinya Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (Prasasti Canggal 732 Masehi). Meskipun demikian sesungguhnya leluhurnya yang lebih dahulu berkuasa yaitu Syailendra telah menjadi penguasa pada abad ke-VI, meskipun tidak diketahui nama kerajaannya. Sejauh ini peninggalan besar peninggalan Dinasti Syalendra dapat ditemukan mulai di daerah Kedu hingga Prambanan dengan corak budaya Hindu dan Budha. Ditemukan banyak sekali sisa-sisa peradaban kuno seperti bangunan caṇḍi yang megah, prasasti, arca, tembikar, dan lainnya. Pengaruh kekuasaan Dinasti Syailendra yang berlangsung cukup lama, telah meninggalkan jejak kekuasaannya di berbagai daerah sekitarnya, termasuk dalam hal ini di wilayah Gunungkidul. Berbagai peninggalan dari kekuasaan Dinasti Syailendra dijadikan dasar informasi terkait dengan masa, latar belakang keagamaan, kondisi sosial-seni-budaya masyarakat, dan lainnya. Prasasti sebagai bukti otentik literasi menjadi data primer yang mampu menunjukkan periode waktu berkuasa para raja. Sementara itu candi dan arca menjadi tinggalan budaya penting bagi peradaban masa lalu karena fungsinya dalam bidang keagamaan, dalam hal ini arca sebagai perwujudan tokoh dewa atau orang suci yang dipuja oleh masyarakat. Arca ini biasa dibuat dari batu, tanah liat, dan logam serta biasa ditempatkan pada bangunan caṇḍi yang difungsikan sebagai tempat untuk melakukan prosesi keagamaan, namun, tidak menutup kemungkinan ada pula arca yang disimpan di rumah untuk dipuja secara mandiri oleh masyarakat. Di Gunungkidul terdapat sejumlah Candi yang diperkirakan merupakan peninggalan dari Dinasti Syailendra. Peninggalan candi yang relatif utuh adalah Candi Risan yang berada di Semin yang memiliki sifat Budha. Candi-candi yang lain berada di wilayah tengah Kabupaten Gunungkidul, yang dikenal sebagai cekungan Wonosari, terdiri dari Candi Genjahan di Ponjong, Candi Plembutan dan Papringan di Playen, Candi Pulutan di Wonosari, dan Candi Dengok di Ngawen. Selain candi, ditemukan pula berbagai peninggalan lain berupa arca yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut di atas. Satu candi yang lain, ditemukan di wilayah Ngawen di Kalurahan Kampung. Namun sudah tidak terdapat bekasnya. Hingga kini masih menjadi sebuah misteri, terkait sejauh mana peranan wilayah Gunungkidul yang pernah menjadi bagian dari peradaban Hindu Budha pada masa Mataram Kuno. Dari temuan yang ada di candi-candi yang disebutkan di atas, sayang sekali tidak ditemukan jejak berupa tulisan yang menyebut tahun ataupun nama yang bisa dikaitkan dengan Wangsa Syailendra. Namun dari penelusuran data prasasti menunjukkan bahwa pada abad ke VIII dan IX, terdapat prasasti yang menunjuk bahwa di Gunungkidul pernah menjadi wilayah penting dan diakui oleh kerajaan Mataram Kuno. Prasasti tersebut adalah Prasasti Kandaňan (906 M), Prasasti Wuatan Tija (880 M) yang ditemukan di Nglipar, dan dua Prasasti tanpa angka tahun yaitu Prasasti Nganjatan I serta Prasasti Nganjatan II. Secara garis besar, Prasasti yang ditemukan di Gunungkidul berisi tentang pembebasan sejumlah desa menjadi Sima. Terdapat beberapa hal spesifik yang diceritakan, yaitu: Prasasti Wuatan Tija (880 M) yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Rake Kayuwangi (855-885 M). Prasasti menceritakan tentang seseorang Dyah Bhumiwijaya (anak rakai Kayuwangi) yang melarikan diri ke arah selatan, ke arah laut dan sampai di Desa Wuatan Tija. Pejabat Desa Wuatan Tija kemudianmenyelamatkannya dan mengantarnya ke raja di Bhumi Mataram. Sebagai balasannya, Rakai Kayuwangi membebaskan desa Wuatan Tija dari kekuasaan Wintri, dan membebaskan pajak dan cukai selama Dyah Bumi berkuasa. Prasasti Kandaňan (906 M) dikeluarkan pada masa kekuasaan Rake Watukura Dyah Balitung (898-913 M). Prasasti berisi mengenai Rakryan Wungkal pu Wirakrama mengubah status sebuah desa menjadi sima untuk pemeliharaan bangunan suci dan pemeliharaan dilakukan dengan cara melakukan kerja bakti. Prasasti Nganjatan menjelaskan mengenai kerja bakti akibat bencana angin kencang yang merusak sawah. Data-data diatas setidaknya cukup menjadi alat bukti bahwa wilayah Gunungkidul merupakan wilayah yang diperhitungkan dan menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Syailendra atau Mataram. Candi Dengok sesuai dengan namanya berada di wilayah Padukuhan Dengok Lor, Kalurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu. Wilayah ini termasuk ke dalam zona cekungan Wonosari sisi timur, yang merupakan wilayah ralatif datar dan menjadi wilayah peradabanyang berkelanjutan sejak masa prasejarah. Secara khusus, tidak ditemukan data-data pendukung yang bisa menjelaskan tentang keberadaan candi Dengok. Namun data hasil penelitian menunjukkan bahwa pendirian Candi bisa terjadi pada masa lampau dikarenakan wilayah tersebut merupakan daerah yang subur dan dekat dengan sumber air. Menurut Djatiningsih (1997) Keberadaan Candi Dengok yang dekat dengan sumber air merupakan salah satu petunjuk bahwa seluruh temuan candi-candi di Gunungkidul ditemukan secara berkelompok di sekitar mata air. Salah satu yang menjadi menarik dalam analisa variabel tanah, lapisan tanah yang kurang subur di wilayah dengok Pacarojo dibuktikan dengan kandungan tanah yang banyak mengandung grumosol hitam. Menuut Hatmadi (2012) tanah yang mangandung Grumosol hitam sebenarnya tidak layak dan tidak sesuai untukdijadikan sebagai lokasi pendirian candi. Hal itu tertulis dalam kitab Silpasastra dan Silpapraksa. Cukup menarik bahwa Candi Dengok tidak didirikan diatas tanah yang subur. Dengan demikian, tanah yang tidak subur tidak dipertimbangkan dalam pendirian Candi Dengok di masa lalu. Terkait dengan pemilihan bahan batu putih, Candi Dengok memanfaatkan batu putih yang berasal dari formasi wonosari. Pemanfaatan batu putih di masa lalu merupakan indikator kearifan lokal dalam meanfaatkan sumber alam yang ada. Candi Dengok seperti halnya dengan temuan cahar budaya yang lain di cekungan wonosari memiliki karakter yang sama sebagai bentuk adaptasi dalam memanfaatkan batu putih sebagai sumber kekayaan lokal. Hingga hari ini belum pernah dilakukan penelitian secara teruji melalui ekskavasi di Candi dengok. Dari data-data yang ada, Candi Dengok sebagai peninggalan kerajaan Mataram Kuno yang bersifat Hindu, perlu dilakukan penanganan yang cukup serius untuk menyelamatkan candi tersebut dari kerusakan yang lebih lanjut. Semoga dengan penelitian yang lebih lanjut, peneliti bisa menjawab dugaaan keterkaitan sejumlah temuan prasasti Masa Syailendra dengan Candi-Candi Hindu Budha di Gunungkidul, khususnya dengan pendirian Candi Dengok sendiri. |