| Peristiwa Sejarah |
: |
Sejarah Penemuan dan Pelestarian Arca Menhir Bantal Watu Penemuan mehir dari Kapanewon Tepus merupakan penemuan yang jarang terjadi. Hingga saat ini menhir Bantal Watu menjadi penemuan menhir yang kedua dari wilayah tersebut. Penemuan menhir yang lain berasal dari Padukuhan Klepu Kalurahan Giripanggung. Jika penemuan dari Bantal Watu merupakan pecahan arca menhir, maka penemuan dari Padkuhan Klepu berupa tiga buah fragmen kaki menhir. Kegiatan untuk mengumpulkan informasi kepurbakalaan dilakukan pertama kali pada tahun 1985 oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta atau SPSP DIY (sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X). Kegiatan yang diawali dengan sosialisasi kepurbakalaan pada tahun 1985-1986, kemudian dilanjutkan dengan inventarisasi hasil sosialisasi pada tahun 1991. Catatan dari kegiatan inventarisasi menyebutkan bahwa Bantal Watu merupakan informasi yang disampaikan oleh Lurah Sumberwungu tahun 1986 yang diulang lagi informasinya pada tahun 1991 oleh Sekretaris Kalurahan yang bernama Poncowiharjo. Lebih lanjut, laporan dari SPSP menyebutkan bahwa identifikasi atas temuan Bantal Watu merupakan dua buah menhir dengan penjelasan: yang satu masih agak utuh dan arca menhir yang kedua tinggal bagian kepala. (Buku Laporan Inventarisasi Kecamatan Tepus Tahun 1986, SPSP DIY. Halaman 9) Arca menhir pertama diberi nomor inventaris D173b dan Fragmen Arca Menhir (Bagian Kepala) diberi nomor inventaris D173c. Kedua temuan kemudian didokumentasikan dalam bentuk foto kemudian dilaporkan dalam lampiran hasil Inventarisasi. Dalam laporan tersebut hanya disebutkan dua buah temuan dengan nomor inventarisasi, meskipun sebenarnya terdapat banyak fragmen arca menhir. Termasuk diantaranya adalah Fragmen Arca Menhir bagian Kepala yang tidak teridentifikasi pada waktun itu.Sejak ditemukan dan diinventarisasi oleh pemerintah pada tahun 1991, temuan menhir di Bantal Watu tetap dikelola oleh warga dan dilestarikan dalam setiap kegiatan budaya hingga sekarang. Menurut penjelasan Kepala Dukuh setempat yang bernama Evi Jayanti (38 tahun), sejak dahulu lokasi Bantal Watu dijaga dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat. Bahkan terdapat seorang juru kunci yang mengelola lokasi tersebut. Juru kunci yang bertugas saat ini bernama Edi Sarwanto (57 tahun). Baliau adalah jurukunci muda yang ditugaskan menggantikan juru kunci terdahulu. Juru kunci Bantal Watu yang lama adalah orang tuanya sendiri. Sebagai bentuk pemeliharaan menhir Bantal Watu oleh masyarakat Padukuhan Karanggebang adalah dengan pembuatan bangunan berupa cungkup dari bahan kayu. Dalam waktu yang sama di Kalurahan yang berbeda, SPSP DIY melakukan kegiatan inventarisasi di Padukuhan Klepu, Kalurahan Giripanggung, Kapanewon Tepus. Padukuhan Klepu, Kalurahan Giripanggung dan Padukuhan Karanggebang, Kalurahan Giripanggung merupakan wilayah bertetangga, meskipun tidak berdekatan. Dalam laporan yang disampaikan dari wilayah tersebut, ditemukan adanya tiga buah fragmen kaki menhir. Laporan yang cukup menarik ini menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat keterkaitan antara temuan fragmen menhir di Padukuhan Karanggebang dengan tiga buah kaki menhir di Padukuhan Klepu? Perlu penlitian lebih lanjut. Ketiga temuan kaki menhir memiliki nomor inventaris D170, D171, dan D172. |
| Konteks |
: |
Sejarah Arca Menhir di Gunungkidul Peninggalan arkeologi yang berkembang sebagai wujud Tradisi megalitik masih banyak ditemukan di wilayah Gunungkidul. Peninggalan tersebut sebagian sudah dikelompokkan dan diselamatkan di lokasi penampungan milik pemerintah, namun masih banyak pula yang berada di atas lahan milik penduduk. Dari sejumlah data yang ada, penemuan megalitik Gunungkidul sebagian besar ditemukan berada di tiga Kapanewon, yakni Playen, Wonosari, dan Karangmojo yang ketiganya termasuk ke dalam zona tengah Gunungkidul atau di zona ledok wonosari. Temuan megalitik dari wilayah tersebut dapat berupa kubur batu, menhir, arca menhir, lumpang batu, batu dakon, batu kenong, dan batu tegak. Meskipun demikian, penemuan megalitik di tempat yang lain dengan jumlah yang tidak begitu banyak ditemukan pula di wilayah Ponjong, Paliyan, Panggang, dan Tepus. Von Heine Geldern membagi penyebaran kebudayaan Megalitik di Indonesia menjadi dua gelombang : yakni megalitik tua dan megalitik muda. Megalitik tua menghasilkan menhir, punden berundak, dan arca. Kebudayaan ini berkembang pada zaman neolitik yang berlangsung dari 2500 SM hingga 1500 SM. Megalitik muda menghasilkan kubur peti batu, dolmen, waruga, sarkofagus, dan arca menhir. Kebudayaan megalitik muda berkembang pada zaman perunggu yang berlangsung pada periode 1000-100 tahun sebelum masehi. Seperti yang diketahui bahwa pada periode neolitik atau periode batu muda merupakan revolusi dalam kehidupan manusia prasejarah. Hal ini terkait dengan pemikiran mereka untuk tidak menggantungkan diri dengan alam dan mulai berusaha untuk menghasilkan makanan sendiri atau food producing dengan cara bercocok tanam. Selain bercocok tanam manusia pada masa tersebut juga mulai beternak sapi dan kuda yang diambil dagingnya untuk dikonsumsi. Pada periode ini manusia telah hidup secara menetap, berkelompok, dan mulai mengenal religi. Di Gunungkidul, penemuan dari tradisi megalitik memiliki bukti peninggalan arkeologi diantaranya berupa kubur peti batu, arca menhir, dan menhir. Pada masa neolotik kubur peti batu digunakan sebagai wadah penguburan secara primer, sementara menhir didirikan sebagai perwujudan tokoh yang telah meninggal dunia. Selain itu menhir juga didirikan dengan tujuan sebagai media pemujaan kepada roh nenek moyang. Istilah megalitik dikenal untuk menyebutkan salah satu budaya yang menggunakan batu-batu besar sebagai sarananya. Benda-benda batu tersebut dibuat dengan tujuan sakral seperti pemujaan terhadap nenek moyang. (Prasetyo B., 2015: 12) Pendukung tradisi megalitik percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal, masih hidup terus di dunia arwah. Mereka juga percaya bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang. Kemanan, kesehatan, kesuburan dan lain-lain sangat dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan mereka terhadap arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal. Dengan perlakuan yang baik, mengereka mengharapkan perlindungan sehingga selalu terhindar dari ancaman bahaya. (Sukendar, 1996: 1) Sejak jaman Belanda, eksistensi situs-situs megalitik di Gunungkidul telah menarik ahliahli arkeologi, antara lain arkeolog Belanda bernama JL. Moens pada tahun 1934, kemudian Van der Hoop ( Heekeren, 1951:51 dalam Sumiati AS, 1980: 27) . Kemudian pada tahun 1968 Haris Sukendar melakukan pengamatan kembali terhadap obyek-obyek penelitian Van Der Hoop (Sumiati AS, 1980: 27). Penelitian lebih intensif terhadap menhir dilakukan kembali oleh sejumlah arkeolog Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, diantaranya Haris Sukendar, R.P. Soejono, Sumiati AS., dan lain sebagainya. Selain melakukan kegiatan berupa ekskavasi terhadap peninggalan kubur peti batu, para arkeolog secara intensif melakukan pengamatan kembali atas hasil penelitian terdahulu oleh ahli dari Belanda. Hasil pengamatan Haris Sukendar tahun 1968 terhadap arca megalitik yang ditemukan di wilayah Playen memunculkan untuk pertama kali istilah arca menhir. Arca menhir adalah nama yang digunakan untuk menyebut arca yang bentuknya menyerupai menhir. Bagian atas berbentuk muka manusia, dengan mata, mulut, alis, hidung dan telinga, digambar kan secara sederhana. Kadang-kadang salah satu dari bagian muka tersebut tidak digambarkan, misalnya mulut atau mata. Anggota badan, misalnya kaki tidak digambarkan, sedang tangannya kadangkadang digambarkan, kadang-kadang tidak. Telapak tangan ada yang digambarkan lengkap dengan jari-jari, tetapi ada pula yang tidak jelas jari-jarinya. Bagian badan lain yang sering ditonjolkan adalah alat kelaminnya yang digambarkan seeara naturalistis, dan dalam ukuran yang besar.Istilah Arca Menhir kemudian sering ditasfirkan untuk membedakan menhir yang dipahat rupa manusia dengan menhir berupa batu tegak polos. Namun demikian para ahli arkeologi sepakat bahwa menhir dengan pahatan antropomorphic memiliki usia yang lebih muda dibandingkan dengan menhir yang tanpa pahatan rupa. Di samping berkaitan dengan pengolahan lahan, perkembangan tradisi logam di Gunungkidul tentunya juga memiliki keterkaitan fungsional dengan perkembangan tradisi megalitik. Lingkungan dengan topografi karst seperti Gunungkidul mampu menyediakan sumber batu gamping sebagai bahan pembuatan monumen-monumen megalitik. Namun tanpa teknologi yang memadai serta kondisi sosial yang tidak mendukung, tradisi megalitik tidak akan berkembang. Penemuan sejumah benda yang kemudian dipastikan bahwa benda-benda tersebut adalah menhir beserta sejumlah fragmen lainnya di Bantal Watu menunjukkan bahwa perkembangan tradisi megalitik di Gunungkidul memiliki wilayah yang luas. Penemuan di Bantal Watu menjadi bukti bahwa budaya tersebut menyebar hingga ke wilayah yang jauh di pedalaman selatan, jauh dari zona ledok wonosari atau sektor tengah Gunungkdiul. Hingga saat ini, penemuan arca Menhir Bantal Watu di Kapanewon Tepus menjadi penemuan arca menhir satu-satunya di wilayah ini. Meskipun demikian sebenarnya masih ada lagi laporan penemuan kaki menhir yang belum sempat di survey. Dari data yang ada, dapat di duga bahwa sebenarnya megalitik di Gunungkidul berkembang di wilayah yang lebih luas lagi dari penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. |